Sumarsam: Gamelan sebagai Ikon Seni Pertunjukan dan Peradaban Jawa

0
2077

“Usianya yang senja tak menjadi halangan untuk melemahkan semangatnya ketika bercerita tentang gamelan sebagai ikon seni pertunjukan dan peradaban Jawa. Dengan air muka yang penuh gairah, Sumarsam bercerita perihal awal mula dirinya berkecimpung dan jatuh cinta terhadap seni gamelan.”

Di sebuah desa kecil di Jawa Timur, ketika usia Sumarsam masih sekitar tujuh atau delapan tahun, ia sudah sering menonton pertunjukan seni gamelan dan wayang. Tak hanya itu, pada saat yang bersamaan ia juga mulai bermain gamelan. Adapun hal yang paling ia sukai dari gamelan adalah instrumen kendang dan gender. Sebab, katanya, pada gamelan ada ban-yak tipe gong, tipe bilah, vokal, alat gesek, suling dan sebagainya, sehingga bunyinya menjadi kompleks dan menarik. “Dari sana jelas bahwa gamelan itu merupakan ansambel besar yang memunyai ber bagai macam bentuk instrumen,” tutur Sumarsam.

Dengan kata lain ensambel gamelan memiliki tingkatan in-strumen yang mudah dan sukar untuk dimainkan. Selain itu, struk-tur komposisi gamelan tersebut lain daripada komposisi musik Barat. Komposisi gamelan sifatnya melingkar atau repetisi, sehingga gerak lingkarannya bisa dipersempit atau diperpanjang untuk memberikan ruang pada instrumen-instrumen agar bervariasi.

Dari sana pulalah kali pertama ia menyukai sekaligus jatuh cinta pada gamelan dan wayang, lalu menekuninya, baik secara formal maupun informal. Secara informal ia sudah menonton dan me-mainkan gamelan sejak kecil. Secara formal, pada 1961, Sumarsam masuk Konservatori Karawitan Indonesia, Surakarta, kemudian pada 1965 melanjutkan ke Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI, sekarang ISI Surakarta), serta melanjutkan pendidikan etnomusikolo-gi di luar negeri.

Selulus dari ASKI, pada 1970 Sumarsam bersama rombongan dikirim pemerintah ke Jepang untuk pameran. Tak berselang lama, ia ditugaskan mengajar gamelan di KBRI Canbera, Australia. Pada 1972 ia diundang Wesleyan University di Middletown, AS, untuk mengajar gamelan di sana hingga kini. Baginya, gamelan bukan sekadar alat musik. Maka, keindahan gamelan bisa dicari dan diapresiasi lewat sejarah teori dan praktik, lalu mengabarkan keindahan tersebut lewat berbagai macam pertun-jukan seni budaya dan ceramah-ceramah di beberapa negara. “Sebab, saya merasa gamelan itu ikon seni pertunjukan orang Jawa dan ikon peradaban,” ujarnya.

Tersebab gamelan ikon seni pertunjukan Jawa dan ikon per-adaban, maka topik dan isunya banyak. Oleh karena itu, Sumarsam tak pernah berhenti mendalami dan memainkan gamelan, wayang, dan hal-hal yang berkaitan dengan seni tersebut dari kecil sampai usia senja. Dalam proses terus belajar tersebut tentu ada banyak kendala, terutama terkait masalah teknis dan paradigma. Secara paradigma, baik ketika belajar maupun mengajar gamelan, misalnya, masyara-kat pada umumnya masih menganggap rendah status para penabuh gamelan. Menyikapi hal ini, Sumarsam dan para pegiat gamelan memiliki beberapa cara untuk meluruskan paradigma keliru terse-but. “Salah satunya, ketika memainkan gamelan di suatu pesta, kami memakai jas dan dasi sehingga lebih beriwibawa juga dihormati,” ujarnya.

Adapun kendala ketika mengajar gamelan di luar negeri adalah soal komunikasi (bahasa). Lebih-lebih kalua mengajar di uni-versitas yang mendasarkan pada filsafat liberal art education atau pen-didikan umum. Di sini dibutuhkan strategi bagaimana mengajar memainkan gamelan dalam konteks pendidikan umum tetapi sasaran tetap mengena. Untuk itu, Sumarsam menyiasatinya dengan selalu mencari materi yang cocok dengan umur mahasiswa, sehingga mer-eka tidak bosan dalam belajar memainkan gamelan.

Sebab, kata Sumarsam, ketika mengajar mahasiswa Amerika Serikat ada di antara mahasiswa yang tidak tahu mana Indonesia dan mana Jawa. Maka, selain mengajar memainkan gamelan, Sumarsam dan rekannya juga memberikan informasi dan pengetahuan tentang kebudayaan Jawa, terutama tentang bagaimana gamelan dalam kon-teks budayanya, dan lain sebagainya.

Mengenai minat generasi muda di Indonesia—di Jawa khu-susnya—terhadap permainkan gamelan, Sumarsam tidak terlalu khawatir, apalagi pesimistik. Sikap optimistik ini didasarkan penga-matannya di ISI Surakarta yang ada di jurusan gamelan tampak begi-tu dimintai. Perlu bukti? “Mahasiswanya ada, dan banyak,” ujarnya.

Beberapa bulan lalu, tambahnya, ada lomba wayang wong yang diikuti oleh anak-anak usia enam sampai belasan tahun. Lom-ba berlangsung selama tiga hari, dan setiap harinya ada lima grup wayang bocah yang tampil, lalu setiap grupnya ada 20 anak. “Jadi, saya kira kita tidak perlu pesimistis. Kalau dibandingkan dengan pemuda-pemudi di AS, persoalannya lain karena konteks pengena-lan gamelan di AS berbeda dengan di Indonesia,” jelasnya.

Setiap semester, Sumarsam punya 30-40 mahasiswa AS yang mengambil mata kuliah gamelan praktik, berdasarkan peningkatan. Sumarsam sendiri sudah mengajar di sana selama 40 tahun. “Maka, berarti jumlahnya sudah ribuan. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan peminat di Indonesia, maka jumlah tersebut tentu masih san-gat kecil,” tuturnya.

Terkait dengan regenerasi, Sumarsam mengaku terus berupa-ya menularkan pengetahuan atau ilmu-ilmunya kepada teman, kolega, maupun masyarakat, baik di Indonesia maupun di AS, dalam bentuk artikel dan buku. Buku-buku tersebut ada yang ditulis den-gan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Hingga kini sudah empat buku tentang gamelan dan wayang yang ia tulis: dua dalam bahasa Inggris dan dua dalam bahasa Indonesia. Belum lagi artikel-artikelnya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Indone-sia, Italia, Perancis, dan bahasa Mandari (China). Melalui buku-buku dan artikel-artikel tersebut, Sumarsam berharap pengetahuan ten-tang gamelan dan wayang bisa menjadi suatu warisan serta berman-faat bagi mahasiswa dan masyarakat Indonesia.

Pengabdian yang tak kenal lelah untuk terus menghidupi gamelan dan wayang hingga ke mancanegara tersebut berbuah an-ugerah pada Sumarsam, berupa penghargaan Satya Lencana dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Menurut Sumarsam, memang sudah selayaknya pemerintah memberikan penghargaan kepada seniman-seniman tradisi, seperti halnya juga bisa ditemukan di negara lain seperti AS dan China.

“Mudah-mudahan penghargaan seperti ini bisa dilanjutkan untuk masa depan. Hal semacam ini merupakan suatu kewajiban dari pemerintah untuk mendukung seniman, sehingga dengan penghar-gaan semacam ini mereka lebih bersemangat dalam berkarya. Den-gan demikian bisa membantu kelanggengan seni tradisional yang ditekuni,” ujarnya.