Profil Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia 2017 : Soedjatmoko

0
1358

Biodata:

Nama                    : Soedjatmoko

Lahir                      : Sawahlunto, 10 Januari 1922

Wafat                    : 21 Desember 1989

Penghargaan :

  • Ramon Magsaysay Award (1978)
  • Asia Society Award (1985)
  • Universities Field Staff International Award for Distinguished Service to the Advancemenet of International Understanding (1986)
  • Honorary Degree dari Yale University, Cedar Crest College and Williams College di Amerika Serikat; Kwansei Gakuin University di Jepang; Asian Institute of Technology di Thailand; dan Universitas Sains Malaysia

 

Karya :

  • An Introduction to Indonesian Historiography (1965)
  • Transforming Humanity: The Visionary Writings of Soedjatmoko (1993)
  • The Primacy of Freedom in Development (1985)
  • Economic Development as a cultural problem (1954)
  • An Approach to Indonesian History: Towards an Open Future; anAddress Before the Seminar on Indoneisan History, Gadjah Mada University (1957)

 

Dengan bibir yang sedikit bergetar, Ratmini berkisah mengenai perjumpaan dan perkenalan dirinya dengan Soedjatmoko pada sekitar 1957. Waktu itu ia masih menjadi guru sekaligus anggota olahraga layar disebuah perkumpulan yang dinamakan Pulau Seribu. Perjumpaan dan perkenalan itu sendiri dimulai ketika Ratmini beserta temannya berkumpul di rumah Ali Budiardjo, dan Soedjatmoko turut serta. Ratmini mengungkapkan, semasa hidupnya hingga sekarang, yang paling berkesan dari mendiang sang suami adalah perihal kepintarannya. “Soedjatmoko adalah sosok pembelajar, pencari dan pemikir yang mandiri,” katanya.

Pernyataan tersebut kemudian dibenarkan oleh putri sulungnya, Kamala Chandrakirana. Menurut Kamala, sekembalinya mendiang dari Jepang (sebagai rektor di Universitas PBB), ia dan teman-teman Soedjatmoko selalu menyampaikan agar ayahnya menuliskan biografi hidupnya karena hidupnya cukup menarik. Tapi memang, mendiang sulit sekali duduk untuk menulis. “Karena masih terlalu senang untuk belajar hal-hal yang baru. Itulah jawabnya ketika saya bertanya kenapa tak kunjung menulis tentang dirinya,” kata Kamala. Hal tersebut terbukti ketika mendiang diundang oleh suatu kelompok yang baru atau komunitas lain, baik di Indonesia maupun di luar negeri, Soedjatmoko tidak pernah menolak. Sebab, baginya ini adalah kesempatan untuk belajar. “Jadi, iaterus-menerus ingin belajar sampai ayah tidak punya waktu menulis tentang dirinya. Sebab, semangat belajarnya sangat tinggi,” tuturnya.

Kamala juga sempat bertanya kepada ayahnya tentang nilai dan ingatan—nanti kalau meninggal, “Apa yang paling penting diingat orang tentang sang ayah. Dengan sangat cepat mendiang menjawab: ‘Saya ingin diingat sebagai pemikir yang mandiri (independent thinker)’,” kenangnya. Demikianlah, mendiang Soedjatmoko terus-menerus mencari pengetahuan, pemahaman dari berbagai macam sumber. Bukan hanya dari buku, tapi juga dari diskusi dengan anak muda, dengan orang di jalanan. “Bahkan mendiang menyampaikan kalau kami juga harus belajar dari mana saja dan dari siapa saja, baik itu dari penjual bakso di jalanan, sekolah, buku, dan lain-lain. Intinya, semangatnya untuk belajar dan menjadi pemikir yang mandiri itu penting sekali,” papar Kamala.

Hal senada juga dinyatakan oleh putri kedua Soedjatmoko, Isna Marifa Sjadzali, bahwa sejak kecil mendiang sudah menanamkan arti penting dari pendidikan. Bagi Soedjatmoko, pendidikan adalah yang nomor satu. Hal itu kemudian tampak dalam kesehariannya, baik sebagai pembelajar maupun sebagai ayah buat anak-anaknya. “Ketika kami meminta apapun yang berkaitan dengan pendidikan, misalkan soal buku, mendiang tidak banyak tanya, langsung diberikan. Dan, hal itu selalu ditanamkan ayah kepada kami, belajar tidak pernah berhenti,” ujarnya. Itulah alasannya kenapa mendiang selalu belajar, membaca, menulis, selalu mencari informasi-informasi baru.

Ketika ia mendapat buku baru, terlebih setelah dibaca, ia selalu berbagi tentang buku baru dibacanya di mejamakan. Selain itu, ketika ia diundang ke berbagai negara untuk menjadi pembicara atau melakukan perjalanan luar negeri maupun luar kota, mendiang selalu bercerita tentang perjalanannya atau tentangapa yang diamati dan dipelajari. Ketika mengantar ibu belanja, kenang Isna, mendiang tidak ikut masuk toko karena ia bercakap-cakap alias nongkrong Bersama tukang tahu pong. Tahu pong itu makanan kesukaannya. Selain itu, semasa kecil selalu ada mahasiswa berbagai tingkatan, jurusan, juga dari berbagai generasi, yang datang ke rumah untuk diskusi. “Mereka berdiskusi bisa sampai berjam-jam. Karena ayah mengetahui bahwa mereka juga dalam proses pencarian. Maka, ayah selalu berbagi tentang pemikirannya atau hal-hal yang ke depan bisa berarti atau tentang hal-hal yang akan menjadi tantangan Indonesia atau dunia,” imbuhnya.

Cerita itu pun dibenarkan kembali oleh kakaknya, Kamala, kalau pintu rumahmereka tidak pernah tertutup. Orang tidak hentihentinya datang berdiskusi dengan mendiang, baik dari generasi sebaya saya, anak-anak muda, dari daerah, internasional, termasuk suku Baduy. “Mereka selalu diterima, pintu selalu terbuka, selalu mendengar dengan seksama dan merasa ini adalah pertukaran gagasan dan pengalaman,” ungkapnya. Soal keseharian mendiang, Ratmini bercerita kalau di dalam hidup dan kehidupannya, (alm) Soedjatmoko selalu membawa dan membaca buku ke manapun ia pergi. Yang jelas, lanjutnya, ia cukup perhatian pada saya, pada anak-anak, dan hangat pada keluarga. Soal buku-buku bacaannya, kata sang istri, itu antara lain karena mendiang merupakan anak seorang dokter yang memang punya banyak buku. “Jadi, sejak kecil ia selalu membaca buku-buku bapaknya. Artinya, saya ingin mengatakan kalau dia sejak kecil memang sudah senang membaca,” jelasnya.

Perihal penghargaan Bintang Budaya Paramadharma yang diberikan untuk Soedjatmoko (alm), Ratmini merasa terharu. Sebenarnya, mendiang sudah banyak mendapatkan penghargaan dari luar negeri. Dari dalam negeripun ia pernah mendapatkan penghargaan Bintang Maha Putra. “Untuk penghargaan ini, saya merasa terharu, di negeri sendiri beliau dihargai, meskipun sudah tidak ada,” tandasnya.

Hal serupa juga diungkapkan oleh anak pertamanya yang sangat mengapresiasi penghargaan untuk sang ayah. “Ayah sudah 28 tahun meninggal dunia. Dulu ketika masih hidup pintu rumah kami tidak pernah tertutup. Kalau dengan penghargaan ini, akan muncul perhatian dari generasi muda pada Soedjatmoko, alangkah baiknya. Mudah-mudahan lewat penghargaan ini, dari kehidupan dan perjalanan hidup orang Indonesia seperti ayah kami, bisa jadi teladan serta tempat belajar generasi muda,” ujar Kamala. Hal yang sama juga disampaikan Isna Marifa Sjadzali, yang turut terharu karena masih ada yang ingat kepada almarhum. Katanya, sebetulnya tulisan mendiang ayahnyabanyak yang sifatnya multi-generasi, terutama dalam hal peranan aspek kemanusiaan dalam pembangunan, pendidikan secara umum. “Saya berharap, cuplikan kearifan-kearifan yang ada dalam tulisan ayah bisa diadopsi serta diterbitkan kembali,” kata Isna, di akhir perbincangan.