Slamet Abdul Sjukur, Pelopor Musik Kontemporer Indonesia yang Diakui Dunia

Penerima Gelar Tanda Kehormatan Presiden Kelas Satyalancana Kebudayaan 2016. Slamet Abdul Sjukur pelopor musik kontemporer yang minimaks, menciptakan musik dari bahan yang sederhana dan minim. Karya-karyanya diapreasiasi di berbagai forum internasional. Peraih Officier de l’Ordre des Art et des Lettress, penghargaan tertinggi dari Pemerintah Perancis untuk musik dan sastra ini juga memberikan dedikasinya pada kemajuan musik di Tanah Air. Melalui pengajaran di beberapa Institut seni dan organisasi musik yang dilahirkannya, Slamet ingin merawat kepekaan nurani bangsa Indonesia melalui seni musik.

Slamet Abdul Sjukur lahir dari keluarga guru yang beralih profesi menjadi pedagang di kota Surabaya, Jawa Timur. Ayahnya, Abdul Sjukur, dan ibunya, Canna, melimpahi Slamet kecil dengan kasih sayang. Di masa kanak-kanak,  Slamet  sering diolok-olok temannya  karena kemampuan berbeda pada kakinya. Ia tidak dapat berjalan seperti umumnya orang berjalan. Buyuti, neneknya Slamet yang menyukai musik, menghibur Slamet kecil dengan membawanya pada dunia musik. Ia sering mengajak Slamet menikmati permainan piano yang dimainkan tetangganya yang berkebangsaan Belanda. Buyuti juga mengajak Slamet menikmati pergelaran-pergelaran musik. Saat pertunjukan berlangsung, Buyuti mengajarkan Slamet untuk diam. Diam  menghayati,  yang kemudian menjadi pijakan Slamet dalam bermusik: mendengarkan musik dengan sungguh-sungguh agar musik dapat berbicara pada pendengar.

Ketika Slamet berusia tujuh tahun, orangtuanya memberinya hadiah piano. Umur sembilan tahun Slamet mulai belajar piano secara privat. Kedatangan Jepang (1944) ke Indonesia sempat membuat Slamet dan keluarganya mengungsi, meninggalkan piano di Surabya. Tahun 1949, keluarga ini kembali ke Surabaya. Slamet memasuki pendidikan dasar (SD dan SMP) di Taman Siswa di Surabaya. Di sekolah yang mewajibkan siswanya mempelajari musik gamelan itulah Slamet memperkaya khazanah bermusiknya. Di masa itu, Slamet  juga belajar piano secara privat dari beberapa guru pribumi dan yang berkebangsaan Eropa.

Salah satu gurunya, Josep Bordmer, yang berkebangsaan Swiss, memperkenalkan padanya musik Perancis dan Spanyol, terutama untuk genre akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Perkenalan itu membawa Slamet pada khazanah karya Maurice Ravel, terutama Sonatina untuk piano solo. Proses itu juga menjadi dasar yang turut menentukan keinginan Slamet melanjutkan studi musik di Perancis, saat ia dewasa kelak.

Slamet melanjutkan belajar musik Barat pada Sekolah Musik Indonesia (SMID)—sebelum berganti nama menjadi Akademi Musik Indonesia (AMI), lalu berubah lagi menjadi Institut Seni Indonesia (ISI)—di Yogyakarya. Pilihan studinya tersebut juga atas dukungan Bordmer yang juga mengajar teori musik di sekolah musik  tersebut. Di masa itu (tahun19 50-an), pembelajaran seni musik di SMID belum dispesifikasi. Slamet dan mahasiswa lainnya menikmati pembelajaran yang menyeluruh: dari teori, psikologi, hingga penciptaan musik. Selanjutnya, ayahnya mendaftarkan Slamet pada sekolah musik di Paris. Tetapi mereka harus melakukan perjalanan ke Belanda terlebih dahulu untuk pemulihan kaki Slamet. Tahun 1960 Slamet menikah dengan Siti Soeharsini dan memiliki anak perempuan, Tiring Mayang Sari.

new-picture-1Pada usia 27 tahun (tahun 1962) Slamet menuju Paris untuk tinggal selama 14 tahun di sana. Keberangkatannya untuk menekuni musik didukung oleh Alliance Francise di Surabaya. Ia mendapatkan beasiswa dari Kedutaan Besar Perancis di Jakarta, yang kemudian dilanjutkan oleh beasiswa dari Yayasan Albert Roussel (seorang komponis Perancis). Slamet belajar analisis di Conservatoire National  Superieur de Musique dan belajar komposisi di Ecole Normale de Musique de Paris.

Perjalanan belajarnya di Paris membuat Slamet merasakan jiwa bermusik. Ia tumbuh menjadi komposer andal yang mampu menciptakan berbagai komposisi dengan bahan yang sederhana. Slamet kemudian dikenal sebagai komposer Minimaks yang menciptakan musik dengan menggunakan bahan yang sederhana dan minim. Ia mencipta musik dari desir angin, gesekan daun, gemericik air, bunyi gesekan sapu di jalanan,  bunyi ketiak yang ditutup dengan telapak tangan, dan perbincangan orang-orang di sekitarnya. Dari bahan sederhana itu, Slamet mengeksplorasi musik dan menghasilkan komposisi yang luar biasa dan unik.

Slamet yang berpengalaman sebagai difabel (berkemampuan beda) sudah lama belajar mengolah keterbatasan sebagai tantangan kreativitas. Ia pernah membuat paduan suara dari orang-orang yang bersuara sengau, dan komposisi musikal oleh 200 anak pemulung sampah yang bernyanyi sambil bermain instrumen mungil dari bambu.

Adapun karya-karya musiknya yang dikenal dunia, antara lain: “Ketut Candu”, “String Quartet I”, “Silence”, “Point Cotre”, “Parentheses I-II-III-IV-V-VI”, “Jakarta 450 Tahun”, dan “Daun Pulus”. Dari karya-karyanya itu hanya “Daun Pulus” yang tersohor di Indonesia. Inspirasi “Daun Pulus” bersumber musik dari jaipongan. Musik ini dipesan koreografer Farida Feisol untuk pementasan balet pada Desember 1983.

Saat di Paris, Slamet menikah dengan Francoise Mazureak (1978), setelah ia bercerai dengan Siti Soeharsini 10 tahun sebelumnya (1968). Pernikahannya dengan Mazureak melahirkan anak laki-laki, Svara. Tahun 1981 Slamet memutuskan bercerai dan hidup tanpa pernikahan.

Kegiatan Slamet lainnya di Paris, ia bergabung dengan Groupe de Recherches Musicales de I’ORTF (kelompok peneliti musik radio dan televisi Perancis) yang dipimpin penemu musik-elektroakustik Pierre Scaeffer. Di Groupe, Slamet mengeksplorasi aneka sumber bunyi untuk disusun menjadi musikal. Adapun untuk kebutuhan hidupnya, Slamet menjadi pemain piano pada beberapa sekolah balet.

Slamet kembali ke Tanah Air karena guru yang dihormatinya di  SMID, Sumaryo L.E. (sempat memimpin IKJ), dan Sukahardjana memintanya mengabdi di IKJ. Menjelang kepulangan ke Indonesia, Slamet memproduksi musik bertajuk “Angklung”  yang memenangi penghargaan medali tembaga (bronze medal) dari Festival de Dijon, dan piringan emas (golden record) dari Academie Charles Cros untuk musik “Anklung” (1975). Tahun 1978, Slamet mendapatkan pesanan musik dari Pemerintah Perancis. Dengan penghargaan musik (berupa uang) itulah ia membiayai kepulangannya ke Tanah Air.

Sampai di Indonesia, Slamet dititipkan pada seorang janda, Ibu Trisno Sumarjo Sastra Amidjojo. Ia tinggal di kamar sederhana yang berdekatan dengan WC. Selanjutnya ia menikmati sebagai pengajar teori musik dan komposisi di IKJ. Karier Slamet terus berjalan hingga menjabat dekan di IKJ. Tetapi, pada tahun 1987, Slamet dipecat karena pemikirannya terkait musik belum dapat diterima oleh pemerintah di masa itu (Orde Baru), terutama terkait keberanian Slamet menentang arus. Ia membuat terobosan dengan menghapus dasar teori musik dan bertumpu pada kebutuhan kreatif.

Kebebasan berkreativitas memang hal utama bagi Slamet. Kepada putrinya, Tiring, Slamet pernah berkata seandainya di Indonesia ada kebebasan beragama ia akan mengisi kolom beragama di identitas penduduk (KTP) dengan musik. Karena, menurutnya, musik mengasah kepekaan yang luar biasa.

Tahun 2000,  atas rekomendasi Dieter Mack (seorang yang menekuni pengumpulan musik-musik Indonesia agar tidak punah), Slamet mengajar di STSI Surakarta (kini ISI Surakarta).  Ia mengajar di program pascasarjana untuk subjek penciptaan. Ia juga sempat mengajar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Selain mengajar, sebelum ia memperdalam pengetahuannya tentang musik di Paris, Slamet tercatat sebagai penggagas organisasi PMS (Pertemuan Musik Surabaya) pada tahun 1957. Organisasi ini diramaikan musisi muda yang bersama-sama melakukan nonton bareng film musikal, pergelaran musik dan berdiskusi. Topiknya antara lain dirigen kondang Barenboim, Glengold, AeroSon-Arno Petesr, Beethoven dan topik lain yang menantang para musisi muda. Tahun 1994  ia menggagas berdirinya Asosiasi Komponis Indonesia (AKI), yang bertujuan untuk mempermudah penyebaran partitur dan rekaman karya terbaru ke seluruh Indonesia.

new-picture-2Saat aktif di Dewan Kesenian Jakarta (1979 – 1985), Slamet juga menggagas Pekan Komponis Muda yang bertujuan merawat pendidikan, kreativitas dan kritik dalam bermusik. Tahun 1981, Slamet menyelenggarakan pertunjukan musik kontemporer selama satu bulan, bekerja sama dengan Kedutaan Besar Perancis di Jakarta. Acara yang diselenggarakan di Bandung dan Jakarta ini membuatnya mendapatkan  penghargaan Medaile Commemorative Z. Kodaly dari Hungaria.

Slamet mencintai musik karena mencintai bangsanya dan generasinya. Kepada Tiring ia menyampaikan harapannya: bahwa,  Slamet ingin anak-anak Indonesia peka rasa. “Musik itu kepekaan rasa, generasi yang dekat dengan musik  akan menjadi orang yang tepo seliro,tutur Slamet. Menurut Tiring, ayahnya juga selalu menekankan untuk menjadi diri sendiri, tidak kebarat-baratan dan punya jiwa yang sederhana. Sementara kepada Marti, anak angkat yang menemani Slamet berkarya di masa akhir hidupnya, Slamet berpesan  orang yang penyayang tidak akan pemarah, orang yang cinta tidak perlu memiliki, dan hindarkan rasa benci, dengki, dalam hidup dan berkarya.

Adapun terkait penghargaan Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan yang diberikan Pemerintah RI, Tiring menyampaikan puji syukur. Ia bahagia ayahnya yang sering dianggap aneh, kurang dihargai media, akhirnya dimengerti oleh zamannya dan mendapatkan penghargaan dari pemerintahnya.

Biodata

Lahir: Surabaya, 30 Juni 1935

Wafat :  24 Maret 2015)

Pendidikan

  • Ecole Normale de Musique de Paris untuk komposisi musik dengan Henri Dutilleux (mendapat lincence de composition 1967, mendapat licence d’Enseignement de Piano, 1965)
  • Conservatoire National Superieur de Musique untuk analisa dengan Oliver Messiaen dan organologi dengan Chambure
  • Sekolah Musik Indonesia di Yogyakarta (1952 – 1956)
  • SMP Taman Siswa (1952)
  • SD Taman Siswa (1949)

Jabatan/Karier

  • Pediri Asosiasi Komponis Indonesia
  • Dekan di Institut Kesenian Jakarta
  • Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (1977 – 1981)
  • Pediri Alliance Francaise di Surabaya (1960)

Karya Musik

  • “Ketut Candu”
  • “String Quartet I”
  • “Silence”
  • “Point Cotre”
  • “Parentheses I-II-III-IV-V-VI”
  • “Jakarta 450 Tahun”
  • “Daun Pulus”
  • “Angklung” direkam oleh perusahaan musik Arion (1976)

Penghargaan

  • Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan yang diberikan Pemerintah RI (2016)
  • Penghargaan dari Gubernur Jawa Timur atas dedikasinya pada musik (2005)
  • Officier de l’Ordre des Art et des Lettress, penghargaan tertinggi dari Pemerintah Prancis untuk musik dan sastra (2000)
  • Penghargaan dari Majalah Gatra sebagai perintis musik alternatif (1996)
  • Millenium Hall of Fame of the American Biografical Institut (1998)
  • Penghargaan dari Institut Kodaly, Budapest, Hongaria atas usahanya menyelanggarakan pertemuan musik Surabaya bertajuk “Kujadikan Rakyatku Cinta Musik” yang sejalan dengan misi Zoltan Kodaly (1983)
  • Medaile Commemorative Z. Kodaly dari Hungaria (1981)
  • Penghargaan dari Yayasan Eduard Van Van Beinum Stichting dari Pemerintah Belanda atas prakarsanya membentuk “International Composers Workshop” (1975)
  • Medali tembaga (Bronze Medal) dari Festival de Dijon untuk musik “Angklung” (1975)
  • Piringan Emas (Golden Record) dari Academie Charles Cros untuk musik “Anklung” (1975)
Scroll to Top