Seminar Media Massa dan Warisan Budaya (2)

Seminar berlangsung pada tanggal 1 Februari 2018 yang dimoderatori oleh Bapak Muasri, Kepala Taman Budaya Padang, Sumatera Barat. Paparan pertama Dilakukan oleh Bapak Nadjamuddin Ramly selaku Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya, sedangkan paparan kedua dipresentasikan oleh Bapak Ery Mefri dengan mengambil tema “Perlunya Kejelasan Peran Pemerintah Daerah dan Komunitas.”

Hari Pers Nasional diselenggarakan setiap tahun pada tanggal 9 Februari bertepatan dengan Hari Ulang Tahun PWI, ditetapkan dengan Keputusan Presiden RI No. 5 tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada tanggal 23 Januari 1985. Dewan Pers kemudian menetapkan Hari Pers Nasional dilaksanakan setiap tahun secara bergantian di ibukota provinsi se-Indonesia. Dalam Keppres disebutkan bahwa pers nasional Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan penting dalam melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.

Dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional, Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya akan memberikan bentuk pendukungan sebagai bagian dari Penyelenggaraan Even Diplomasi Budaya antar Daerah. Bentuk dukungan berupa seminar Kearifan Lokal dan Nilai Budaya, Sosialisi Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, dan Pameran Kearifan Lokal sebagai Warisan Budaya.

 

Paparan Ery Mefri menjelaskan bahwa di Sumatera Barat atau di Minangkabau kesenian adalah pamenan anak nagari  (permainan anak negeri). Kesenian adalah pamenan bagi pemuka adat dan Penghulu. Kesenian terus hidup dan berjalan sesuai nafas kehidupan masyarakat dalam lingkungan Adat Salingka Nagari (Adat selingkaran negeri). Nagari itu adalah komunitas mereka. Maka kata pelestari mestinya tak tepat diletakan apalagi akan menjadi beban mereka. Rasanya pada bagian ini peran pemerintah daerah diletakkan dimana dan selama ini sedang berada dimana. Ada dua keterlambatan yang dapat ditemukan dan dapat dirasakan akibatnya dalam kehidupan sampai sekarang ini yaitu:

Pertama: Kata Fasilitator dan Eksekutor. Entah Pak Dirjen terlambat lahir atau terlambat memegang sebuah kebijakan dibidang Kebudayaan yang membuat terlambatnya lahir suara kebijakan Fasilitator dan Eksekutor yang mesti dilakukan oleh orang yang tepat dan berbeda. Kalimat pemerintah Daerah sebagai Fasilitator dan Komunitas atau seniman sebagai Eksekutor yang sering di dengung-dengungkan pak Dirjen sebenarnya adalah hal yang sangat tepat dan secara sepihak itu sudah dikerjakan oleh para komunitas-komunitas kesenian dengan senimannya selama ini. Tinggal gerakan nyata dan secara sungguh-sungguh dari pemerintah Daerah sebagai Fasilitator dalam membina kerjasama dengan komunitas-komunitas yang ada untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan ke depan. Sayangnya kerjasama ini belum terlihat sama sekali untuk saat ini.

Kedua: Acuan kebijakan itu. Selama ini masih dilakukan oleh pemegang kebijakan di Daerah secara bersamaan dan satu tangan. Dibalik itu, kajian yang paling mendalam mungkin juga harus dilakukan dan mempertanyakan apakah Komunitas yang dalam pikiran kita sekarang apakah sudah siap menerima beban ini. Apakah Komunitas juga mungkin akan bertindak sebagai Eksekutor  yang merasa diri sebagai penentu. Mungkin ada yang sudah menjalankan itu tapi karena tidak sesuai karakter yang ada dan sifat serba tahu karena merasa dipihak penentu maka tujuan sebagai Pelestari untuk Melestarikan yang ada malahan jadi berantakan atau pemusnahan. Ery Mefri berharap bahwa disini akan terjadi tanya jawab serta bertukar pikiran untuk mencari solusi yang mungkin berguna kedepannya.  Kritik, Perbincangan tentu punya solusi walau ragu apa mungkin bisa dijalani. Sebaiknya sebagian dari kebijakan yang ada mungkin diharapkan sedikit kerelaannya utk semua pihak terkait mau duduk bersama agar apa yg kita tak mengerti serta akan menuai Mubazir tidak kita lakukan seperti halnya jadi Fasilitator sekaligus jadi Eksekutor.

Scroll to Top