Sejarah Tradisi Adat Pukul Sapu di Negeri Morela

0
2439

Di desa Morela, tradisi adat pukul sapu digelar untuk mengenang perjuangan Achmad Leakawa, atau lebih dikenal dengan nama Kapitan/Pimpinan perang Telukabessy beserta anak buahnya ketika menghadapi tentara Belanda dalam Perang Kapahala (1643-1646 M).

Perang ini dipicu pendirian markas VOC (kongsi dagang Belanda) di Teluk Sewatelu, Ambon, tahun 1636 M. Perang semakin tak terelakkan ketika tentara Belanda hendak merebut Benteng Kapahala, milik warga Maluku dengan cara mengepungnya dari berbagai penjuru. Dalam perang ini, para pejuang terdesak akibat serangan dari darat yang didukung tembakan meriam dari kapal-kapal VOC dari laut. Karena tidak berimbang, akhirnya benteng yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Desa Morela tersebut dapat dikuasai oleh Belanda.

Pada perang itu, Kapitan Telukabessy dapat meloloskan diri. Namun anak buahnya banyak ditangkap tentara Belanda. Sebagian dari mereka dijadikan tawanan di Teluk Sawatelu dan sisanya lagi dibuang ke Batavia.

Meskipun berhasil meloloskan diri, Kapitan Telukabessy tetap dihadapkan pada situasi sulit antara menyerahkan diri atau anak buahnya dibunuh kompeni. Akhirnya, Kapitan Telukabessy memilih menyerahkan diri pada Komandan Verheijeden pad atanggal 19 Agustus 1646. Oleh Gubernur Gerard Demmer, Telukabessy dijatuhi hukuman gantung di Benteng Victoria pad atanggal 27 September 1646.

Setelah ditawan selama tiga bulan di Teluk Sawatelu, anak buah Kapitan Telukabessy dibebaskan Belanda. Sebelum berpisah dan kembali ke daerah asal masing-masing, mereka menggelar acara perpisahan yang terbilang heroik, dengan menampilkan aneka tari adat, menyanyikan lagu-lagu daerah, dan acara pukul sapu.

Tujuannya adalah agar tetesan darah dari tubuh mereka yang jatuh dan meresap ke tanah dapat mengingatkan mereka untuk berkumpul kembali di tempat tersebut suatu saat nanti.

Disadur dari Kabar Timur, ed. Sabtu 25 Juli 2015, hal. 15