Sawah surjan muncul sebagai respon petani Kulon Progo bagian selatan terhadap kondisi ekologi dan ekonomi. Petani daerah ini menggambarkan tanah mereka sebagai tanah yang banyak mengandung pasir dan lapisannya tipis. Sifat tanah seperti itu menyebabkan pada musim kemarau tanah sering kering. Air yang jatuh ke permukaan tanah baik dari air hujan maupun sumur sawah akan cepat merembes ke dalam tanah. Sebaliknya, pada musim hujan karena lapisannya tanahnya tipis, maka air dari dalam tanah meluap, dan air hujan ataupun air sungai tidak cepat merembes serta tertampung ke dalam tanah. Petani menjadi tidak beruntung. Pada musim kemarau mereka praktis tidak dapat menanam padi, sedangkan pada musim hujan sawah digenangi air, baik air hujan maupun air sungai, sehingga sawah mereka mirip rawa-rawa kecil yang ditumbuhi tanaman.
Awalnya, petani Bojong menyebut sistem pertanian mereka bukan dengan nama sawah surjan, tetapi sawah marengan. Orang Kulon Progo menggunakan istilah sawah surjan untuk menyebut sistem pertanian di kebanyakan tempat di daerah mereka, tetapi tampaknya tiap tempat mempunyai istilah dan sejarah perkembangannya sendiri. Dari segi etimologi, kata sawah surjan berasal dari kata sawah dan surjan, maksudnya sawah yang warnanya seperti surjan (pakaian tradisional kemeja pria Jawa). Kemeja ini umumnya terbuat dari kain lurik dengan motif warna beraneka tersusun bergaris-garis. Kalau orang melihat sawah surjan, maka akan melihat anerka warna tanaman dari berbagai jenis tanaman, mirip seperti motif warna kain surjan. Sawah surjan muncul di Bojong kira-kira pada awal tahun 1950-an, meskipun dasar-dasar dari sistem pertanian ini sudah muncul sebelumnya. Sebelum tahun 1950-an, umunya sawah tadah hujan di Bojong hanya dapat ditanami sekali setiap tahunnya, yaitu pada musim hujan. Pada masa peralihan
musim hujan ke kemarau (masa mareng atau masa gadhu) sawah ditanami tanaman semusim lainnya, dan sawah disebut sawah marengan. Pada masa itu pula terdapat sawah yang tidak ditanami padi pada musim hujan karena tergenang air, tetapi hanya dapat ditanami non padi sewaktu masa mareng, disebut sawah marengan. Pada musim kemarau petani praktis tidak bercocok tanam, kecuali menanam umbi-umbian, suatu tanaman yang mudah tumbuh meskipun tanah dalam keadaan kering.
Tujuan dari penerapan multiple cropping antara tanaman padi dan jagung dengan sistem surjan adalah sebagai berikut : (1)Untuk diversifikasi tanaman, (2) Menjaga agar tanah tidak menjadi asam, (3) Mengurangi bahaya kekeringan, (4) Mengurangi keracunan akibat genangan, (5) Mengurangi resiko kegagalan dalam budidaya, dan (6) Meningkatkan pendapatan petani melalui penanaman secara multiple cropping. Berdasarkan cara pembuatan, surjan dapat dibagi menjadi dua cara pembuatan, yaitu: (1) dibuat sekaligus dan (2) dibuat secara bertahap. Arah surjan disarankan memanjang timur-barat agar tanaman (padi) pada bagian tabukan mendapat penyinaran matahari yang cukup. Surjan setiap musim atau setiap tahun dilibur (disiram lumpur) yang diambil dari sekitarnya untuk mempertahankan bentuk dan produktivitasnya. Peningkatan daya guna lahan pasang surut sulfat masam dapat dikembangkan dengan tanaman padi dan non padi, dimana tanaman padi dapat ditanam di lahan sawah, sedangkan tanaman selain padi dapat ditanam di lahan kering. Kombinasi cara pengelolaan demikian disebut dengan sistem surjan.
Sejumlah petani di kawasan Kabupaten Kulonprogo masih setia menerapkan sistem pertanian tradisional model Surjan hingga saat ini. Sistem Surjan merupakan sistem pertanian yang dilakukan secara selang-seling antara tanaman padi dan palawija. Sistem ini diterapkan oleh para petani Kulonprogo secara turun-temurun selama puluhan tahun guna mengantisipasi kondisi lahan pertanian yang ada. Salah satu daerah yang masih menerapkan sistem pertanian Surjan, hingga saat ini adalah kawasan Hargorejo, Kokap, Kulonprogo serta beberapa wilayah lain yang tersebar di Kabupaten Kulonprogo.
Sawah Surjan dikenal masyarakat Kulonprogo sebagai pola cocok tanam yang diturunkan dari leluhur dan nenek moyang mereka. Sawah surjan memiliki makna bahwa hidup harus memiliki keseimbangan dan keselarasan dengan alam dan dengan manusia. Bentuk barisan yang dilarik-larik hingga menyerupai surjan memberikan pembelajaran untuk perlahan-lahan membangun sebuah hubungan sosial dengan kesabaran dan ketekunan. Alam Kulonprogo yang memang kurang bersahabat dengan persawahan pun menjadi seimbang dengan sistem pertanian surjan. Masyarakat Kulonprogo menjelaskan sistem pertanian surjan menaikkan nilai tambah produksi pertanian mereka sehingga laba yang diperoleh petani semakin bertambah.
Keterangan
Tahun :2019
Nomor Registrasi :201900959
Nama Karya Budaya :Sawah Surjan
Provinsi :DI Yogyakarta
Domain :Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta
Sumber: Website Warisan Budaya Takbenda