Sate renteng merupakan rangkaian olahan daging babi yang disuusun menyerupai gunungan yang dipergunakan sebagai sarana upacara agama Hindu di Bali, khususnya di Kota Denpasar. Sate renteng ditelisik dari etimologi katanya terbentuk dari dua kata, yaitu sate dan renteng. Istilah renteng berarti rangkaian (bahasa Jawa Kuno), seperti Renteng Bonang (rangkaian bonang), renteng perkara (rangkaian perkara), gedang renteng (pohon papaya yang bunganya terangkai), tanggung renteng (materi yang terkait satu sama lainnya).
Bentuk susunan sate yang disebut dengan sate renteng ini termuat dalam beberapa karya sastra yang penyebutan namanya berbeda-beda, seperti: Tattwa Empu Kuturan, Dharma Caruban, Lontar Widhi Sastra, Nyang Durgha, dan Sukat Gayah.
Sate renteng merupakan salah satu pelengkap upakara (banten) yang dipergunakan dalam upacara Yadnya. Sate renteng adalah sebutan untuk Gayah yang memiliki kekhasan tersendiri dari sate-sate yang lain, seperti adanya ornamen atau kreatifitas dalam merangkai daging babi. Renteng adalah jenis sate yang setelah ditata dominan menunjukkan bentuk yang bergelantungan (ngelenteng/ngerenteng). Sedangkan Gayah merupakan kesatuan dengan bebangkit yang terdiri dari tulang seekor babi dan dagingnya merupakan pelengkap banten bebangkit. Gayah adalah tatanan beberapa jenis tulang-tulang hewan yang dagingnya dijadikan bahan bebangkit. Tulang-tulang hewan tersebut hampir semuanya digunakan, antara lain: tulang rawan penghubung/penyambung paha, tulang paha, tulang ekor, tulang lutut, dan lain sebagainya.
Bentuk sate renteng ataupun Gayah muncul berdasarkan latar belakang mithologi terjadinya penyerangan terhadap dewa-dewa di Kahyangan oleh raksasa yang bernama Detya Kala Dwija. Kesaktian Detya Kala Dwija, membuat para dewa berlarian untuk menyelamatkan diri. Dalam pelariannya para dewa menemui sebatang pohon yang menyerupai jaring, yaitu pohom uli kipas dan pohon itulah yang menyelamatkan para dewa dari kejaran Datya Kala Dwija. Dewa Siwa pun merasa prihatin melihat keberadaan para dewa yang ketakutan, seraya meminta semua senjata yang dimiliki oleh para dewa untuk memerangi Detya Kala Dwija. Dewa Siwa berubah wujud menjadi Sate Renteng/Gayah utuh dengan bersenjata Dewata Nawa Sanga. Akhirnya Detya Kala Dwija terbunuh oleh Dewa Siwa, tetapi beberapa pengikut Datya Kala Dwija yang masih hidup memohon agar tuannya dihidupkan kembali, Dewa Siwa menghidupkan kembali Detya Kala Dwija menjadi bah-bangun atau Sate Renteng/Gayah Pusupusan.
Masyarakat Bali memiliki kebudayaan bernilai tinggi dengan sifat religiusnya, menciptakan alat-alat upacara dan upakara khusunya sate renteng/Gayah sebagai pelengkap dalam prosesi ritual yadnya, Sate renteng/Gayah mempunyai isyarat-syarat tertentu dan memiliki kekuatan gaib serta dikaitkan dengan berbagai sarana upacara sebagai saksi dari unsur kekuatan bersifat religius yang selalu menyertai kekuatan dalam upacara yadnya di Kota Denpasar. Masyarakat Bali, khususnya masyarakat Kota Denpasar mengenal sate renteng/Gayah Durga Dewi yang ada hubungannya dengan mithologi sebagai berikut:
“tatkala Siwa bersama saktinya dalam menciptakan dunia yang sedang menari-nari (Natha Raja), maka kekuatan-kekuatan pada prinsipnya berasal daripada saktinya yaitu Dewi Uma (Dewi Kesejahteraan) yang dalam bentuk kehebatannya yang disebut Bhatari Durga (Dewi Durga). Dengan dasar ini sate renteng/Gayah Durga Dewi itu adalah perlambang penciptaan dunia oleh Bhatara Siwa beserta saktinya. Menelisik dari bentuknya, sate renteng/Gayah Durga Dewi beserta kelengkapannya adalah simbolis daripada makrokosmos karena salah satu perlengkapannya menunjukkan senjata dari Dewata Nawa Sanga. Disebut sebagai lambang makrokosmos berarti pula lambang mikrokosmos karena bahan-bahannya merupakan bagian daripada seluruh bagian binatang yang dipergunakan.
Jenis dan Bentuk Sate Renteng/Gayah Durga Dewi
a. Gayah untuk upacara dengan banten babangkit tidak dengan titi mamah kerbau.
b. Sate Renteng/Gayah Sari
Untuk membuat sate renteng/Gayah Sari menggunakan berjenis-jenis tulang yang puncaknya tidak memakai kekuwung, melainkan menggunakan Bagia, yang bentuknya seperti bunga meduri. Sate renteng/Gayah Sari dipergunakan pada bebangkit Bugem atau Bebangkit Cagak.
c. Sate renteng/Gayah Utuh
Dalam membuat sate renteng/Gayah Utuh menggunakan seekor babi, hampir semua bagian-bagian dari babi itu dipergunakan, misalnya: empedu, usus, paru-paru, ekor, keempat kakinya, kepala dan bagian-bagian lainnya.
d. Sate renteng/Gayah Agung
Sate renteng/Gayah Agung memiliki alas sebagai badan bukur memakai 33 pepalihan. Jumlah jatah pengidernya masing-masing dikalikan 11, dan masing-masing arah memakai simbar, di masing-masing sudut memakai karang paksi serta karang aksi, kepala gayah dipakai daging babi berbentuk karang boma, memakai jatah gunting sebanyak 108 katih ditancapkan di sekeliling jatah pengideran sebagai lambang hutan. Sedangkan jatah bagiannya bertumpang 11 sebagai lambang tingkatan alam sunia, Jatah ini dibuat sehubungan dengan tingkat Upacara Yadnya yang dilaksanakan.
Bahan Sate Renteng/Gayah Durga Dewi
Bahan untuk membuat sate renteng/Gayah Durga Dewi adalah daging babi, yang meliputi pepusuh (jantung), hati, ungsilan, nyali, tulang iga, dan kulit. Selain daging babi, digunakan juga bahan-bahan lain seperti: bambu, kulit kelapa,dan buah kelapa utuh.
Teknik dan Pengolahan Bahan Sate Renteng
Sate Renteng memiliki bahan dasar dari daging babi, karena daging babi sangat gampang untuk diolah dan memiliki simbol bahwa babi adalah salah satu Awatara Dewa Wisnu untuk menyelamatkan dunia ini dari kehancuran. Jenis daging babi yang digunakan adalah jantung, hati, ungsilan, nyali, tulang iga, dan kulit. Selain daging babi digunakan juga bambu, buah kelapa, dan cabai.
Segala jenis daging babi harus direbus terlebih dahulu, setelelah itu kulit dibentuk (diringgit) untuk membentuk simbar-simbar di tusuk pada sebuah bambu kecil-kecil yang ujungnya diisi potongan hati berbentuk segitiga atau menggunakan cabai. Ketika semua sudah ditusuk-tusuk pada bambu kecil, semuanya itu kemudian ditusuk menyusun menyerupai gunungan dengan media dasarnya adalah buah kelapa.
Makna dan Nilai Sate Renteng
Sate Renteng berdasarkan bentuk dan kegunaannya memiliki beberapa makna dan nilai seperti: religius, estetika, dan sosial.
a. Religius, Sate Renteng dianggap memiliki makna atau nilai religius karena dianggap sakral dan memiliki simbol-simbol tertentu dengan dibuatkan sesaji pemlaspasan pada saat akan dipajangkan serta merupakan media bagi dunia sekala dan niskala terutama pada bentuk Gayah Durga Dewi yang difungsikan sebagai simbol rasa bhakti umat ke alam niskala. Selain itu juga, Sate Renteng memiliki nilai religius karena sering digunakan sebagai media keagamaan di Bali, mulai dari upacara kecil hingga besar (karya agung), karena secara fungsi memang digunakan sebagai persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi yang dipercayai memiliki kekuatan 108 mudra.
b. Estetika, Sate Renteng memiliki nilai estetika nampak ketika pembuatnya tidak hanya termotivasi terhadap pelaksanaan Upacara Yadnya semata, tetapi juga digerakkan oleh keinginan menciptakan karya seni (estetika) dalam dirinya. Ada perasaan istimewa yang dirasakan seseorang selaku pembuat Sate Renteng ketika mampu menyelesaikan Sate Renteng yang nantinya digunakan sebagai sarana Upacara Yadnya tersebut. Nilai estetika atas keindahan Sate Renteng ini disesuaikan dengan cipta, rasa, dan karsa manusia pembuatnya yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya.
c. Sosial, Sate Renteng memiliki makna atau nilai sosial yang dapat dilihat dari keterlibatan pranata-pranata sosial dalam pelaksanaan Upacara Yadnya, yang dapat dijadikan sebagai wadah interaksi sosial oleh masyarakat pendukungnya. Pada hakikatnya pelaksanaan Upacara Yadnya yang biasa menggunakan Sate Renteng sebagai saranaa pelengkap upacaranya tidak dapat dipisahkan dari peran manusia (masyarakat) sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial selalu bersama-sama dalam melaksanakan Upacara Yadnya, dimulai dari persiapannya hingga pelaksanaannya.
Keterangan
Tahun :2019
Nomor Registrasi :201901006
Nama Karya Budaya :Sate Renteng
Provinsi :Bali
Domain :Keterampilan dan Kemahiran Kerajinan Tradisional
Sumber: Website Warisan Budaya Takbenda