REOG PONOROGO

0
6985

Reog Ponorogo merupakan kesenian tradisional yang berasal dari Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Menurut cerita rakyat kesenian Reog Ponorogo sudah ada sejak zaman kerajaan Kediri sekitar abad XI. Diceritakan di wilayah Ponorogo waktu itu bernama Wengker, berdirilah kerajaan yang bernama Bantarangin. Kerajaan Bantarangin diperintah oleh seorang raja yang adil bijaksana dan masih muda; bernama Prabu Klana Sewandono. Raja Bantarangin mempunyai seorang patih yang pandai dan sakti bernama Pujangga Anom (dalam pertunjukan reog disebut Bujangganong).
Suatu hari Prabu Klana Sewandono bermimpi berjumpa seorang putri cantik yang bernama Putri Songgolangit dari Kerajaan Kediri. Seketika Prabu Klana Sewandono jatuh cinta. Ia kemudian mengutus Patih Pujangga Anom untuk melamar Putri Songgolangit. Putri Kerajaan Kediri itu bersedia menerima lamaran Prabu Klana Sewandono asalkan Sang Prabu mampu mempersembahkan pertunjukan yang belum pernah ada.
Patih Pujangga Anom yang pandai akhirnya menemukan ide pertunjukan yang diminta Sang Prabu yaitu dengan memanfaatkan Raja Singo Barong yang dikalahkan oleh Prabu Klana Sewandono.
Menurut cerita, Raja Singo Barong konon berkepala harimau dan diatasnya bertengger burung merak. Dengan ditambah bunyi-bunyian maka jadilah iring-iringan Prabu Klana Sewandono dan Prabu Singo Barong itu menjadi pertunjukan seperti yang dikehendaki oleh Putri Songgolangit. Iring-iringan itulah yang kemudian disebut kesenian reog seperti yang kita saksikan sekarang ini.
Melihat gerak yang ditampilkan para pelaku jenis kesenian khas Ponorogo, Jawa Timur, Reog Ponorogo, terlintas kesan mistis di dalamnya. Reog, sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan. Minuman keras dan juga kendalanya. Tak lepas pula kekuatan supra natural. Barongan mempertontonkan keperkasaan dalam mengangkat dadak berat seberat sekitar 40 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung.
Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis, aneh, eksotis sekaligus membangkitkan gairah.

Gambar 2. Tokoh Singa Barong

SUmber : BPNB Yogyakarta, 2013

Biasanya satu group Reog terdiri dari seorang Warok Tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlahnya berkisar antara 20 hingga 30-an orang, peran sentral berada pada tangan warok dan pembarongnya.
Banyak hal yang terkesan mistis dibalik kesenian Reog Ponorogo. Warok misalnya, adalah tokoh sentral dalam kesenian ini yang hingga kini menyimpan banyak hal yang cukup kontroversial. Tidak sedikit orang yang menganggap profil warok telah menimbulkan citra kurang baik atas kesenian ini. Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara yang baik dan jahat dalam cerita kesenian Reog. Warok Tua, adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Kendati demikian, kehidupan warok sangat bertolak belakang dengan peran yang mereka mainkan di pentas.
Warok Tua, sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Petuah yang disitir seorang warok tua sebenarnya sudah sering didengar namun kata-kata yang keluar dari mulutnya seolah bertenaga. Dulunya warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yakni lelaki belasan tahun yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya.
Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman Reog. Seolah menjadi kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Apalagi ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan bahkan dengan istri sendiri, bisa menjadi pemicu lunturnya seluruh kesaktian. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan adalah ciri khas relaksi khusus antara gemblak dan waroknya.Kesenian Reog Ponorogo dalam pementasannya pada waktu pertunjukan tidak memerlukan panggung. Pertunjukan dilakukan di sebuah halaman atau lapangan yang relatif luas. Ciri khas pada pertunjukan Reog Ponorogo selalu diawali dengan arak-arakan lebih dahulu sebelum menuju ke tempat pementasannya.
Warok Tua, sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Petuah yang disitir seorang warok tua sebenarnya sudah sering didengar namun kata-kata yang keluar dari mulutnya seolah bertenaga.
Dulunya warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yakni lelaki belasan tahun yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman Reog. Seolah menjadi kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Apalagi ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan bahkan dengan istri sendiri, bisa menjadi pemicu lunturnya seluruh kesaktian. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan adalah ciri khas relaksi khusus antara gemblak dan waroknya.
Pertunjukan Reog Ponorogo yang lengkap tersaji dalam beberapa babak. Pada babak pertama, jenis tarian yang muncul adalah jaranan atau jatilan. Pada babak ini kadang-kadang muncul tokoh Penthul-Tembem yang ikut menari dengan gerakan dan melucu. Kemudian muncul prajurit yang menggambarkan latihan perang.
Pada babak kedua, adegan dimonopoli tokoh Singo Barong menari-nari dan memperlihatkan gerakan-gerakan pantomin, menirukan secara verbal tingkah laku harimau. Gerakan tersebut kemudian dilanjutkan dengan terjadinya perang antara prajurit dan Singo Barong. Pada adegan ini Singo Barong tampak agresif, demontratif, atraktif dan melompat serta mengangkat penari dan sebagainya.
Adegan ini selanjutnya diteruskan dengan Thetek Melek yang sudah menempatkan diri, mendampingi Singo Barong dengan kegiatan antara lain seperti memegang baju Singo Barong dan mengusir penonton yang masuk area. Adegan tersebut dikisahkan tentang kekalahan prajurit berkuda.
Pada babak ketiga Bujangganong tampil menari serta menunjukkan ketrampilannya. Pada babak ini mengisahkan perang antara Bujangganong dengan Singo Barong. Dalam perang ini Singo Barong kalah yang kemudian menjadi pengikut Bujangganong.
Pada babak keempat sebagai babak terakhir mempertunjukkan Klana Sewandono menari tunggal dan dilanjutkan dengan datangnya Bujangganong mempersembahkan Singo Barong. Sebagai tambahan sering kali ditampilkan Tledhek Jepre atau Tandok Bisu yaitu pemain laki-laki dengan dandanan dan tingkah laku seperti wanita yang berfungsi sebagai penutup cerita.
Kesenian Reog Ponorogo diiringi seperangkat gamelan yaitu sebuah kendang, sebuah ketipung, ketuk satu bernada dua , sebuah kenong bernada lima, sebuah kempul bernada lima, sepasang angklung bernada enam dan lima, masing-masing bertangga nada/laras slendro, sebuah slompret sebagai melodi lagunya cenderung bernada ke laras pelog.
Adapun lagu-lagu yang dipergunakan dalam kesenian Reog Ponorogo antara lain Ptrajaya, Ponoragan, Sampak, Obyok, Kebo Giro. Semua lagu tersebut merupakan lagu pokoknya. Sedangkan lagu selingan yang sering dipergunakan antara lain lagu Ijo-ijo dan Walangkekek.