Biodata:
Lahir : Solo, 19 September 1919
Wafat : Yogyakarta, 1 Januari 1996
Istri : (alm) Bibi Fatima
Anak : Sawarno
Pendidikan :
- Tweede Inlandsche school (sekolah dasar)
- Taman Siswa Solo
Keahlian :
Melukis corak realisme dan mendokumentasikan revolusi bangsa melalui lukisan
Karier :
- Pelukis Istana masa Presiden Sukarno
- Pendiri Himpunan Budaya Surakarta (HBS).
- Pendiri sanggar Pejeng di Bali.
Karya Lukis, antara lain :
- Pertempuran di Surabaya
- Bunga Jambu Air
- Sebuah Kampung di Bali
- Kakek Bawa Tongkat Caping
- Isteriku Bibi Fatima
- Gunung Lawu Jawa Tengah
- Halimah Gadis Aceh
- Hutan di Gunung Merapi, Jawa Tengah
- Kebun Sayur
- Landscape Ngarai
- Ngarai Minangkabau Sumatara Utara
- Pemandangan di Kintamani
Pameran :
- Pameran pertama di Gedung Agung Yogyakarta
- Pameran kedua di Jakarta dibuka Wakil Presiden Adam Malik
Penghargaan :
- Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma (2017)
- Didirikannya Museum Dullah di Surakarta
- Pelukis istana selama 10 tahun sejak awal tahun 1950-an, dengan tugas merestorasi lukisan (memperbaiki lukisan-lukisan yang rusak) dan menjadi bagian dalam penyusunan buku koleksi lukisan Presiden Sukarno
Lukisan perempuan bersanggul, mengenakan kebaya dan kain, anggun tercapak di dinding museum. Tatapannya bijak. Ia duduk dengan latar gedhek, dinding rumah yang terbuat dari bambu. Lukisan bertajuk “Ibu Kati” adalah lukisan seorang perempuan yang telah melahirkan Dullah.
Pelukis realis ini lahir di Solo pada 19 September 1919. Ayahnya, Sudarso, seorang pengusaha batik. Dullah tumbuh di lingkungan yang dekat dengan seni rupa. Matanya akrab dengan para pengrajin batik yang menyungging dan mendesain aneka corak batik.
Ketika duduk di sekolah dasar, anak sulung dari lima bersaudara ini mulai menunjukan bakat melukisnya. Ia melukis bintang Hollywood yang sedang trend di masa itu. Lukisannya mulai dikenal di kalangan keluarga dan teman-temannya. Di masa pertumbuhannya itu, Ibu Kati sering mendongengkan mitologi Jawa yang mengajarkan untuk hidup bersahaja dan tidak memandang ke atas.
Dullah adalah remaja yang hidup di era revolusi tergerak untuk melibatkan diri dalam perjuangan mengusir penjajah. Ia menggambar poster-poster yang mengobarkan perlawanan dan menggangkat senjata. Karena itu, pelukis berbakat ini juga diburu Belanda dan keluar-masuk sel Hoofd Bureau van Politie. Diakui, Dullah belajar melukis dari S Sudjojono dan Affandi, akan tetapi karyanya memiliki ciri tersendiri yang berbeda dari gurunya. Ia banyak melukis potret, pemandangan, kehidupan di desa, dan peristiwa revolusi dalam corak realis.
Tahun 1949, saat Belanda melakukan Agresi Militer II di Yogyakarta, ia bersama beberapa anak didiknya, antara lain Mohamad Toha, melukis langsung peristiwa tersebut. Karya revolusi Dullah antara lain “Jumpa di Tengah Kota” dan “Gadis Kurir”. Tak kurang dari 100 lukisan dihasilkan anak didiknya yang menggambarkan berbagai peristiwa saat Yogyakarta menjadi ibu kota RI di masa pendudukan Belanda itu. Melalui lukisan mereka, bangsa ini memiliki rekaman peristiwa bersejarah tersebut. Kiprahnya ini membuat ia dikenal sebagai pelukis revolusi. Beberapa tahun kemudin Dullah mendokumentasikan karya-karya mereka dalam buku Karya Dalam Peperangan dan Revolusi (1982).
Dalam gairah melukis dan nyala revolusi, Dullah jatuh hati dengan Bibi Fatima. Lukisan perempuan cantik ini kini banyak menghiasi museum yang didirikannya. Mereka mengangkat anak dari putra adiknya Bibi Fatima yang diberi nama Sawarno. Putra kesayangan mereka ini yang hingga saat ini merawat karya-karya Dullah.
Tahun 1950, Presiden RI Sukarno meminta Dullah menjadi pelukisk Istana. Di masa itu, selain melukis, Dullah juga merestorasi lukisan koleksi Istana yang rusak dan menjadi bagian tim penyusun buku koleksi lukisan Presiden Sukarno. Setelah 10 tahun menjadi pelukis Istana, Dullah yang sudah dianggap adik oleh Sukarno meminta persetujuan Presiden RI itu untuk meninggalkan Istana. Kemudian Dullah sempat bermukin di Bali. Alam, budaya, dan kehidupan masyarakat Bali menjadi polesan besar dalam koleksi lukisannya, antara lain “Jati Penari Cilik”, “Rangda”, “Gunung Batur di Kintamani”, dan “Warung di Desa Pejeng Bali”. Di Pulau Dewata ini ia mendirikan Sanggar Pajeng (1974).
Selain berkarya, Dullah juga seorang guru lukis yang menumbukan pelukis-pelukis piawai. Kecintaannya mengajar tidak mengganggu kreativitas dan mutu kepelukisannya. Karya-karya Dullah semakin dikenal dan reputasi komersial lukisannya meroket. Banyak kolektor seni dan pejabat negara di dalam dan luar negeri mengoleksi lukisan Dullah, antara lain Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Adam Malik, Presiden Amerika Serikat Eisenhower, Wakil Presiden Amerika Serikat Walter Mondale, Perdana Menteri Australia Rudolf Menzies, dan museum seni lukis di Ceko.
Dari hasil penjulan karyanya itu Dullah mendirikan Museum Dullah di Jalan Cipto Mangunkusumo 15, Solo, Jawa Tengah. Ia mendesain sendiri arsitektur museumnya dengan semangat ramah lingkungan, sehingga bila siang hari pencahayaan untuk ruangan tidak memerlukan lampu. Atap bangunan museum didesiain sedemikian rupa, memungkinkan cahaya matahari jatuh pada lukisan yang di tata di dinding museum. Di dalam museum seluas 500 meter persegi ini terpajang 500 karya Dullah. Ia juga menampilkan koleksi karya anak didiknya dan karya pelukis lain, seperti Raden Saleh, Abdullah Suriosubroto, S Sudjojono, Basoeki Abdullah, Ernest Dezenthe dan Lee Man-fong. Sebagian juga karya pelukis negara lain seperti karya pelukis Argentina, Mexico, Belanda, Mesir, India, China dan Filipina. Yang menarik di museum ini juga pengunjung dapat menikmati lukisan karya Presiden Sukarno. Di dalam museum terdapat ruang tersendiri yang memuat koleksi lukisan klasik Jawa dan Bali, patung klasik Bali, bernagai ukiran, topeng dan karya berbahan perunggu.
Selain melukis, Dullah juga menulis puisi. Karya puisinya dimuat dalam Bunga Rampai Sastra Indonesia yang di himpun oleh HB Jassin. Sebagian puisi Dullah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit dalam sebuah kumpulan di Pakistan. Pelukis yang dikenal “maestro potrait” ini meninggal dunia di Yogyakarta pada 1 Januari 1996. Tetapi karya-karyanya dapat terus kita nikmati di Istana negara dan Musium Dullah. Masih banyak lukisan Dullah yang menjadi koleksi keluarga. Sawarno, putra kesayangnya, saat ini sedang menyiapkan untuk membuka Museum Dullah yang ke-2 di Surabaya, Jawa Timur, untuk mempertemukan lebih banyak karya Dullah dengan masyarakat penyuka lukisan dan sejarah bangsa