Pemenang Lomba Penulisan Cerita Rakyat 2015, KATEGORI UMUM/DEWASA, Penulis: Liza Yuvita Sikku.
~ Lelaki sebatang kara itu selalu percaya pada hukum tabur-tuai yang selalu ia dengar dari pemangku aluk (Agama dalam bahasa Toraja.). Itu dulu, sebelum buah kaise‘ (Semacam buah pinang yang berwarna merah.) di kebun miliknya sering raib. Setahunya, tidak ada satu pun hewan yang gemar menyantap kaise‘. Nah, mulai dari sinilah cerita ini akan bermula. Kau hanya perlu diam sambil sesekali berpikir.
Kau bisa memanggil lelaki sebatang kara itu Polopadang. Badannya kurus, kulitnya agak gelap, wajahnya tirus, dan seperti pemuda di daerah Gantanan pada umumnya, dia tergila-gila pada anak gadis pemangku aluk yang paling bungsu.
Raibnya buah kaise’, membuat Polopadang nekat bermalam di kebun. Maka, pada malam purnama itu, ia berangkat. Sewaktu ia masih kecil, ia sering mendengar cerita tentang hantu yang suka memakan anak nakal dan orang jahat. Tentu saja, sekarang ia tahu bahwa cerita itu hanya bohong. Jika orang jahat dimakan hantu, mana mungkin kaise‘-nya masih sering raib?
Bulan purnama berpendar di langit. Malam itu, udara dingin menyengat seperti malam-malam yang lain. Polopadang duduk bersila menghadap ke deretan pohon kaise’ yang mengelilingi kolam di tengah kebunnya dengan tubuh terbungkus sarung hitam. Percaya atau tidak, malam itu ada cahaya berbentuk pelangi datang dari langit sebelah utara yang berujung ke kolam di tengah kebun milik Polopadang.
“Ondo’ e (Ungkapan yang digunakan sebagai penegas ketakjuban atau keterkejutan.)..., ada pelangi? Malam-malam begini? Jangan-jangan…, hantu!” Polopadang ketakutan setengah mati. Ia takut, apa yang diceritakan orangorang tua zaman dahulu ternyata benar adanya. “Eh, tunggu dulu!” ia bergumam lagi. “Mana ada hantu tinggal di langit?”
Seingat Polopadang, Pong (Pak/ Bapak; Sapaan untuk menyebut laki-laki yang sudah menikah.) Sa’ba’ pernah bercerita, bahwa yang ada di langit adalah Puang Matua (Tuhan dalam ajaran Aluk Todolo, namun kini diadopsi oleh umat Kristiani Toraja untuk menyebut Tuhan.), dewa-dewi, dan penduduk langit. Bukan hantu! Pelan-pelan Polopadang berjalan mendekati cahaya pelangi itu. Baru beberapa langkah, ia mendengar suara beberapa perempuan sedang tertawa dan suara kecipak air. Diintipnya suara itu dari balik semak. Ternyata ada beberapa bidadari sedang mandi di kolam yang berada di tengah kebun Polopadang, dan beberapa di antaranya tengah mengunyah kaise’ yang tak lain adalah milik Polopadang. “Hmm…, jadi mereka pencurinya?” gumam Polopadang. Ia begitu kagum pada kecantikan para bidadari yang tentunya lebih cantik dari anak bungsu pemangku aluk. Pelan-pelan diambilnya salah satu selendang yang tergeletak di bebatuan sekitar kolam, lalu ia bersembunyi di belakang pohon besar sambil menunggu fajar tiba. Ayam hutan berkokok tiga kali, saat para bidadari buru-buru memakai baju dan selendangnya, lalu bergegas kembali ke langit dengan cara meniti pelangi.
Satu bidadari tertinggal, karena selendangnya dicuri oleh Polopadang.
“Sekarang mengaku, Lai’(Sebutan untuk gadis atau anak perempuan dalam bahasa Toraja.), mengapa kau mencuri buah kaise‘ di kebunku?” suara Polopadang yang tiba-tiba muncul, mengagetkan bidadari itu. “Kau siapa?” bidadari itu tergagap. “Aku Polopadang. Pemilik kebun ini beserta buah yang kau makan tadi. Lalu, kau?”
“Aku Deatanna. Hmm…, begini, Polopadang. Maaf, aku tidak tahu kaise‘ itu milikmu. Aku menyukai buah itu, maka kuambil begitu saja. Jadi, kumohon maafkan aku dan tolong kembalikan selendangku.” “O…, begitu. Jadi, jika aku menyukai selendangmu, lalu kuambil begitu saja, apa itu baik?” Polopadang balik bertanya.
Suasana hening sejenak, sampai akhirnya Polopadang mengajukan sebuah permintaan. “Baiklah, aku akan mengembalikan selendangmu, namun kau harus mau menjadi istriku. Bagaimana?” “Apa? Hei, tidak tahukah kau, manusia langit dan bumi tidak boleh bersatu dalam pernikahan?” sergah Deatanna. “Apakah kau juga tidak tahu bahwa nenek moyang kami, penduduk bumi, berasal dari langit?” balas Polopadang.
Deatanna terdiam cukup lama. Ia berpikir keras agar bisa kembali ke langit tanpa menikah dengan Polopadang. Setahunya, penduduk bumi sangat suka berbicara kasar, berjudi, dan mabuk-mabukan. Apa jadinya jika ia menikah dengan Polopadang, lalu laki-laki itu berbuat semena-mena padanya? “Baiklah,” kata Deatanna pasrah. “Namun, ada syaratnya.” “Apa itu?” “Kau tidak boleh berkata kasar, mabuk-mabukan, dan berjudi. Jika kau melanggar, maka aku akan kembali ke langit.”
“Baiklah. Aku berjanji.”
***
Puluhan babi dan ayam disembelih dalam rangka pernikahan Deatanna dan Polopadang yang berlangsung sangat meriah beberapa hari setelah perjanjian itu. Orang-orang kini memanggil bidadari itu dengan sebutan Indo‘ (Ibu kandung; sebutan untuk perempuan yang sudah menikah.) Deatanna. Tongkonan (Rumah adat suku Toraja) dihias sedemikian rupa dengan dominasi warna merah. Di alang (Tempat menyimpan padi yang berbentuk seperti tongkonan), para tamu yang berasal dari berbagai dusun di daerah Gantanan, duduk sesuai kasta. Beberapa orang lain duduk di lantang (Tempat duduk tamu dalam suatu acara. Biasanya berbentuk seperti panggung yang terbuat dari susunan bambu.) sambil meminum ballo’ (Tuak) dan bercengkerama hingga mabuk. Sebagian lagi, sibuk berjudi di arena sabung ayam.
***
Tahun demi tahun berlalu dengan cepat. Pernikahan Indo‘ Deatanna dan Polopadang dikaruniai seorang putra yang diberi nama Paerunan. Indo‘ Deatanna setiap hari menenun kain, sedangkan Polopadang masih tetap berkebun dan mencari kayu bakar.
Pagi itu, Polopadang sedang membelah kayu memakai kapak sembari menjaga Paerunan yang sedang asyik bermain gasing emas. Tiba-tiba mata kaki Polopadang terkena gasing Paerunan.
“Aduh! Pepayu (Sialan; kata serapah dalam bahasa Toraja.)! Lihat ini, gasingmu melukai kaki Ambe‘(Ayah kandung.)! Apa kau piker kaki Ambe‘ ini sekeras batu?”Polopadang mengaduh marah sambil mengelus kakinya yang sakit.
Paerunan hanya bisa menangis karena selama ini ia tidak pernah mendengar kata-kata kasar keluar dari mulut ayahnya. Indo‘ Deatanna yang mendengar ucapan Polopadang langsung berhenti menenun, mengambil selendangnya, lalu pergi ke langit sambil membawa Paerunan dengan cara meniti pelangi.
***
Inilah bagian paling menyedihkan dalam hidup seorang lelaki seperti Polopadang. Dua orang kesayangannya pergi karena janji yang tidak tertepati. Nah, sampai di sini, kau bisa menerka bagaimana perasaan Polopadang, bukan?
Deatana…, Deatana…. Kau adalah bidadari dari langit, datang malam-malam buta ke bumi hanya agar tidak terlihat siapa-siapa. Manusia di bumi selalu menganggapmu tokoh dongeng yang cantik, baik hati, dan tanpa cela. Deatanna…, Deatanna…, sebagai bidadari, mengapa kau datang sebagai pencuri? Apakah di langit begitu membosankan? Apakah kau tidak tahu, bahwa penduduk langit selalu dianggap suci oleh orang-orang di bumi?
***
Malam ini, Polopadang kembali berteman dengan sepi sembari memandang langit yang tak mungkin dicapainya dengan cara meniti pelangi. Kau tahu, jauh sebelum Polopadang dilahirkan, ada sebuah tangga yang menghubungkan langit dengan bumi. Semua orang bisa datang menemui Puang Matua kapan saja untuk meminta petunjuk. Hingga akhirnya, semua dihancurkan Puang Matua karena ulah manusia, dan kini yang bisa kau lihat hanya bukit-bukit batu sisa reruntuhan tangga itu. “Mengapa Puang Matua tidak mengutuk satu orang serakah itu saja? Mengapa Puang Matua harus menghancurkan tangga menuju langit itu hanya karena ulah beberapa orang yang serakah? Andai saja tangga itu masih ada…,”
Polopadang bergumam sendirian. Nada suaranya terdengar marah bercampur kecewa.
Ah, bukankah ia sama saja? Ia juga tidak bisa memenangkan pertarungan melawan nafsunya sendiri? Ia begitu serakah ingin menikahi bidadari yang seharusnya bisa bersanding dengan laki-laki dari langit yang lebih baik dari dirinya? Benar, tidak? Polopadang kini mengerti mengapa tongkonan dan alang diciptakan berbeda arah, namun berpasangan. Ia dan Indo‘ Deatanna adalah tongkonan dan alang. Saling melengkapi sesuai tugasnya masing-masing, dan tidak akan sempurna jika tidak ada salah satunya.
Ada sekawanan tikus mencicit dari bawah alang. Tikus itu berusaha memanjat tiang alang yang terbuat dari pohon palem agar bisa menjamah padi di dalam alang. Selamanya tikus tak akan bisa naik, sebab terhalang tiang alang yang licin. Mungkin bisa, jika Puang Matua memang menghendaki. Serasa mendapat semangat baru, Polopadang pun bangkit. “Semuanya mungkin bisa, jika Puang Matua menghendaki,” gumamnya.
***
Ketika ayam jantan baru saja berkokok, Polopadang berangkat menuju tepi laut dengan berjalan kaki dan bekal seadanya. Tekadnya sudah bulat, apapun yang terjadi, ia tetap akan menyusul istri dan anaknya ke langit. Waktu terus bergerak. Sudah begitu jauh ia berjalan kaki, namun tepi laut tak juga tampak. Padahal, dari atas bukit, tepi laut terlihat begitu dekat. Ia pun menangis, “Puang Matua, sudah lama hamba berjalan, mengapa tepi laut tak kunjung tampak?” Ketika Polopadang hampir putus asa, datanglah seekor kerbau putih bernama Tedong Bulan menghampiri Polopadang. “Ada yang bisa kubantu? Kelihatannya kau sangat kesusahan?” tanya si kerbau. “Tedong Bulan, aku ingin pergi ke tepi laut agar aku bisa ke langit. Aku sudah berjalan begitu jauh, tapi tepi laut tak kunjung tampak.” “Untuk apa kau ke langit?” “Aku ingin bertemu anak dan istriku.” Tedong Bulan berpikir sejenak, lalu berkata, “Begini saja, aku akan mengantarmu sampai ke tepi laut. Namun, berjanjilah padaku, kelak keturunanmu tidak boleh memakan daging keturunanku. Jika kau melanggar, maka keturunanmu yang memakan dagingku akan menderita penyakit kudis.” “Baiklah, aku setuju!” Polopadang berujar mantap, lalu pergi bersama Tedong Bulan menuju tepi laut. Sesampainya tepi laut, sekali lagi Tedong Bulan mengingatkan akan perjanjian mereka. Sekali lagi pula Polopadang berjanji untuk tidak melanggar perjanjian.
***
Aneh! Baru sejenak ada di tepi laut, tiba-tiba ada seekor buaya putih mendekat. Polopadang mundur beberapa langkah, berusaha menjaga jarak dengan buaya putih itu. Sayangnya, semakin ia menjauh, semakin buaya itu mengikutinya.
Sejenak, dalam ketakutannya Polopadang berpikir, mana ada buaya yang hidup di laut? Selama ini ia hanya tahu tempat hidup buaya ada di sungai atau rawa. Bukan di laut! Lagi pula, baru kali ini ia melihat buaya berwarna putih. “Hei, Manusia, kau sedang apa di sini? Bukankah kau tahu hari ini ombak sedang pasang, dan kau tak boleh melaut?” tegur buaya putih itu. Polopadang pun menceritakan tujuannya, sama persis dengan apa yang dikisahkannya pada Tedong Bulan. “Aku bisa membantumu, namun ada syarat yang harus kau penuhi,” kata buaya.
“Katakanlah, Buaya.” “Kau dan keturunanmu tidak boleh mengganggu bahkan membunuh keturunanku.”
Polopadang pun protes, “Bagaimana mungkin aku sanggup? Kalian para buaya sering memangsa ternak milik manusia! Selain itu, kalian juga menyerang anak-anak manusia yang sedang mandi di sungai!” Buaya putih itu pun akhirnya mengambil keputusan yang adil bagi mereka berdua. “Baiklah, kalau begitu, kita bagi saja daerah kekuasaan. Aku dan keturunanku tidak akan tinggal di dekat pemukiman manusia. Lalu, kau dan keturunanmu, tidak boleh mencari-cari atau memburu keturunanku, sehingga kita tidak saling mengganggu. Bagaimana?” “Baiklah, aku setuju!”
***
Matahari sudah hampir tenggelam. Polopadang kebingungan mencari pertolongan agar bisa sampai di langit. Ia pun bertanya pada matahari, “Matahari, bagaimanakah caranya agar aku bisa sampai ke langit?”
“Ada perlu apa kau, sampai-sampai hendak pergi ke langit?” Polopadang pun menceritakan masalahnya pada matahari, persis seperti yang ia ceritakan pada buaya putih dan Tedong Bulan. “Jadi, siapa yang bisa membantuku?” tanya Polopadang setelah ceritanya selesai. “Sebenarnya, aku bisa mengantarmu ke langit esok pagi, namun kau tidak akan tahan dengan hawa panas tubuhku. Kau pasti akan meleleh.” “Apa tidak ada cara lain?”
Matahari berpikir sejenak, lalu menemukan sebuah ide, “Begini saja, tunggulah malam tiba. Nanti ketika bulan sudah muncul, mintalah bantuan padanya. Ia pasti bersedia menolongmu.” Benar saja, tidak lama kemudian bulan muncul setelah matahari terbenam. Polopadang langsung mengutarakan niatnya seperti yang ia lakukan pada matahari.
“Apakah kau tahu, malam ini aku akan menjelma menjadi bosi bulan (Peristiwa gerhana bulan; bulan busuk.)? Tubuhku akan sangat busuk. Apakah kau kuat menahan bau tubuhku?” tanya bulan. “Apa pun akan aku lakukan asalkan aku bisa sampai ke langit untuk bertemu anak dan istriku,” jawab Polopadang.
“Baiklah, aku akan membantumu, tapi saat bosi bulan terjadi, kau harus menepuk punggungku. Lalu, jika kau telah berhasil bertemu anak dan istrimu, kau wajib menyuruh manusia untuk memukul lesung setiap bosi bulan tiba. Apa kau setuju?” “Baiklah.”
***
Ketika sampai di langit, Polopadang seperti orang yang tersesat. Ia tidak kenal siapa-siapa dan tidak tahu arah jalan. Sementara itu, beberapa perempuan lalu lalang sembari membawa bumbung dari bambu berisi air. Polopadang bertanya pada salah satu dari mereka tentang Indo‘ Deatanna dan Paerunan. “Apa kamu tidak tahu bahwa Indo‘ Deatanna dan Paerunan telah kembali dari bumi? Air yang kubawa ini akan dipergunakan untuk memandikan Paerunan,” jawab salah satu perempuan yang ditanyai oleh Polopadang. “Ada perlu apa kau mencari mereka?” “Aku Polopadang. Ayah Paerunan.”
***
Kedatangan Polopadang yang mengaku sebagai ayah Paerunan, tersiar begitu cepat hingga sampai ke telinga Indo‘ Deatanna. Mendengar berita itu, Indo‘ Deatanna tidak tinggal diam. Dia tidak ingin Polopadang mengambil Paerunan darinya. Maka, Paerunan disembunyikan dalam kamar, yang pintunya tak bisa terlihat oleh manusia bumi. Sesudah memastikan Paerunan berada di tempat yang aman, Indo‘ Deatanna meminta tolong pada pemangku adat penduduk langit untuk menghalang-halangi Polopadang. Indo‘ Deatanna pun bercerita bahwa Polopadang adalah laki-laki yang suka berbicara kasar dan melanggar janji yang mereka buat. Polopadang sampai di depan tongkonan besar tempat kediaman Indo‘ Deatanna. Sepintas, bentuk tongkonan di langit sama dengan tongkonan di bumi. Ada ukiran berbagai motif pada dindingnya dan deretan tanduk kerbau pada tiang utama bagian depan. Deretan rahang kerbau berada di tiang sebelah barat, sedangkan rahang babi disusun pada tiang sebelah timur. Hanya saja, setelah Polopadang memerhatikan dengan seksama, ternyata tongkonan itu tidak berpintu!
“Tabe‘(Permisi.), saya adalah Ayah dari Paerunan. Bisakah saya bertemu dengannya?” tanya Polopadang pada seorang laki-laki berkumis baplang yang berdiri di depan tongkonan Indo’ Deatanna. Polopadang yakin, laki-laki itu pasti pemangku adat. Sebab, hanya pemangku adat yang selalu memakai jubah putih dan ikat kepala senada. “Sebelum kau menemui Paerunan, kau harus memenuhi air di tempayan ini menggunakan buria’(Wadah yang terbuat dari anyaman bambu.).” Awalnya, Polopadang mengira tugas tersebut sangat mudah. Ternyata, air yang diambilnya selalu habis karena menetes dari sela lubang anyaman buria’. Ajaibnya, saat ia hampir putus asa, ia mendapati seekor ikan massapi‘(Ikan moa; Sejenis ikan yang bentuknya menyerupai belut.). “Aku tahu apa yang terjadi padamu, Polopadang. Apakah kau sungguh-sungguh ingin bertemu dengan putramu?” tanya ikan itu. “Tentu. Maka dari itu aku datang ke langit.”
Ikan massapi’ itu melepas lendir yang menempel di tubuhnya untuk menutupi lubang buria’, agar Polopadang bisa mengisi tempayan sampai penuh. Penduduk langit terkejut dengan keberhasilan Polopadang. Celakanya, mereka malah menganggap Polopadang adalah seorang dewa. Sebab, tidak pernah ada penduduk langit yang berhasil mengisi air dalam tempayan menggunakan buria’, kecuali para titisan dewa.
“Apakah saya sudah bisa bertemu dengan Paerunan dan Indo’ Deatanna?” tanya Polopadang. “Belum! Kau harus berhasil menebang pohon beringin yang besar itu, menggunakan pisau kecil!”
Polopadang sudah merasa dipermainkan oleh para penduduk langit. Ia ingin menolak, namun risikonya ia tak dapat bertemu Paerunan dan Indo’ Deatanna. Ia pun pasrah, dan menganggap hal itu sebagai hukuman.
Sial! Pohon beringin yang harus ditebang sangat besar. Pisau kecil di tangan Polopadang tak mampu untuk membuat pohon itu tergores sedikit pun. Padahal, keringat sudah membasahi sekujur tubuhnya. Dari arah utara, datang seekor kumbang kayu menghampiri, tepat setelah Polopadang selesai memohon pertolongan pada Puang Matua. “Tunggulah di sini, akan kupanggil beberapa kumbang lagi agar pekerjaanmu cepat selesai,” pesan kumbang itu pada Polopadang. Benar saja, tak berapa lama ada sekawanan kumbang kayu yang langsung menggerogoti pohon beringin itu sampai tumbang. Setelah itu, sebelum Polopadang sempat mengucapkan terima kasih, mereka sudah pergi. Polopadang kembali menghadap pemangku adat karena pohon beringin yang besar itu telah tumbang. Ia pikir, sudah tidak ada alasan lagi bagi pemangku adat untuk menghalanginya bertemu dengan Paerunan. Ternyata, ia salah…. “Kau belum boleh bertemu Paerunan sebelum kau makan semua buah pinang yang telah kusebar di lembah,” perintah pemangku adat sebelum pergi. Sebuah hal yang sangat mustahil menghabiskan buah pinang sebanyak satu lembah. Jangankan satu lembah, baru menghabiskan satu buah pinang saja, badan Polopadang sudah gatal-gatal. “Puang Matua, apakah aku ditakdirkan untuk tidak pernah bertemu lagi dengan anak dan istriku?” Polopadang berucap lirih dalam keputusasaannya. Semilir angin mengantarkan aroma tidak sedap yang makin lama makin pekat, diiringi bunyi derap langkah yang tak teratur. Polopadang yakin itu bukan suara derap kaki kuda. Sebab, aroma kuda tidak sebusuk ini. Ternyata, sekumpulan babi hutan datang, lalu berpencar untuk menyantap buah pinang yang berserak seluas lembah. Dalam sekejap, buah pinang itu habis dimakan para babi hutan. Babi-babi itu kemudian berleha-leha karena terlalu kenyang. Pemandangan tersebut membuat Polopadang bersyukur pada Puang Matua yang memberikan pertolongan.
***
Deatanna makin gusar ketika Polopadang datang menghadap pemangku adat. Ia mendengar percakapan mereka berdua dari balik pintu rumah yang tak akan terlihat oleh Polopadang. “Apakah saya sudah bisa bertemu dengan Paerunan dan ibunya?” tanya Polopadang. Sekali pun ia tahu bahwa suasana tidak bersahabat, ia tetap menjaga nada suaranya agar tetap terdengar sopan. “Belum!” kata pemangku adat itu. “Kau harus melakukan satu tugas lagi, jika kau berhasil, baru kau boleh menemui anak dan istrimu.” “Apa lagi tugas yang harus saya kerjakan?”
Pemangku adat itu memanggil tujuh orang pelayan yang masing-masing membawa sebakul biji wijen. Setelah itu, ke tujuh pelayan tersebut menyebarkan biji-biji itu ke lapangan tempat biasa diadakannya adu kerbau. “Ingat, kau harus mengumpulkan kembali biji-biji ini tepat tujuh bakul penuh. Jika kurang, maka kau harus kembali ke bumi dan jangan pernah datang lagi ke sini!” pesan pemangku adat. Menangislah Polopadang melihat biji wijen itu. Mana mungkin ia bisa mengumpulkan kembali biji-biji kecil itu? Belum lagi, lapangan tempat adu kerbau ini becek, berbau, dan dipenuhi rumput. Sekali lagi Polopadang meminta tolong pada Puang Matua agar diberikan pertolongan. Ia benar-benar ingin bertemu anak dan istrinya. Seekor burung pipit datang menawarkan bantuan. Polopadang langsung saja mengiyakan. Ia sudah tidak sabar untuk segera menyelesaikan tugas ini.
Pelan tapi pasti, bakul demi bakul telah terisi. Hingga pada bakul yang ke tujuh, bijinya menjadi tidak penuh. Polopadang langsung menuduh burung pipit telah memakan biji tersebut. “Bukan aku, Polopadang! Bukan aku!” jawab burung pipit ketika Polopadang menuduhnya. “Aku bersumpah, jika aku pelakunya, maka perutku akan pindah ke leher! Begitu pula keturunanku!” Polopadang tidak percaya pada sumpah burung pipit. Ia menyentil perut burung pipit hingga keluarlah semua biji wijen yang dimakan burung itu. Perlahan, leher burung pipit membesar seperti perut yang membuncit karena termakan sumpahnya sendiri.
***
Penduduk langit semakin mendewakan Polopadang, sebab keberhasilannya dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan di luar nalar. Pemangku adatsudah kehabisan akal dan akhirnya menyerah.
“Baiklah, sesuai janjiku, kau boleh bertemu dengan anak dan istrimu. Mereka ada di dalam tongkonan. Carilah mereka dengan caramu sendiri.” Polopadang kebingungan, ketika tidak dilihatnya sebuah pintu masuk pun di tongkonan tersebut. Ia sudah berkeliling beberapa kali, namun hasilnya nihil. Lelah berkeliling, ia pun duduk di alang. Ada beberapa tikus di sana sedang berusaha memanjat tiang alang. Diambilnya seekor yang paling kurus, lalu digenggamnya erat agar tidak lepas. “Tikus, apa kau bisa menunjukkan padaku jalan masuk ke tongkonan itu?” tanya Polopadang pada tikus yang ditangkapnya. “Tentu saja! Asalkan kau mau melepaskan aku,” jawab tikus itu.
“Nanti kau kulepaskan setelah aku berhasil bertemu anak dan istriku.” Atas bantuan tikus, Polopadang berhasil sampai di sebuah ruangan yang gelap. “Inilah kamar anak dan istrimu. Sekarang, lepaskan aku,” kata tikus itu sembari meronta di genggaman Polopadang. “Bagaimana aku bisa percaya? Ruangan ini begitu gelap, aku tidak melihat apa-apa.” Tiba-tiba ada beberapa kunang-kunang melintas. Saat itu pula Polopadang dapat melihat istri dan anaknya. Tikus pun dilepaskan, dan Polopadang langsung memeluk Paerunan.
“Maafkan Ambe‘, Paerunan. Ambe‘ telah berbicara kasar padamu,” kata Polopadang penuh penyesalan. “Begitu juga denganmu, Indo‘ , aku minta maaf karena telah melanggar janjiku. Marilah kembali ke bumi dan hidup bersama lagi seperti dulu. Aku berjanji tidak akan mengulangi kesalahanku.”
***
Malam gerhana bulan telah datang, suara alu yang beradu dengan lesung riuh terdengar. “Bosi bulan! Bosi bulan!” teriak anak-anak yang berkumpul di halaman untuk melihat kejadian malam itu. Polopadang tersenyum dari balik jendela tongkonan, ketika melihat Indo’ Deatanna begitu bersemangat memukul lesung diiringi Paerunan yang menari sambil berteriak-teriak kegirangan menghadap langit. Ada rasa hangat dalam hatinya yang membuat ia tak henti bersyukur dan berterimakasih karena keluarganya telah utuh kembali. “Kurre sumanga, Puang Matua (Terima kasih, Tuhan.)….”