Pinisi dikenal juga dengan nama Phinisi atau Pinisiq merupakan seni pembuatan perahu yang dilakukan oleh masyarakat di Sulawesi Selatan. Seni pembuatan perahu ini merupakan pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Bugis-Makassar yang berpusat di Kabupaten Bulukumba, yang terdiri dari 3 desa yaitu Ara, Tanah Beru dan Lemo-lemo. Seni pembuatan perahu semacam ini juga ditemukan di daerah Batu Licin, Pulau Laut Kalimantan Selatan dan di Pallengu, Jeneponto, Galesong, Takalar, Sulawesi Selatan dengan pengrajin yang berasal dari Kabupaten Bulukumba.

Secara harafiah, “Pinisi” merupakan penamaan untuk tali-temali, tiang, dan layar perahu sekunar Sulawesi, akan tetapi bagi masyarakat Indonesia dan bahkan secara internasional kata itu telah menjadi sebutan popular bagi kebanyakan tipe perahu Nusantara.

Meskipun demikian, di Sulawesi Selatan, daerah asal “Pinisi”, konstruksi kapal barang yang terbuat dari kayu masih menggunakan teknik pembuatan perahu tradsional yang selama berabad-abad telah dikembangkan mulai dari kapal-kapal kecil dengan tiang sampai kapal besar yang dibawa oleh orang-orang Eropa yang masuk ke Kepulauan Malaya. Seperti teknik pembuatan perahu tradisional yang lain, teknik yang digunakan dalam “Pinisi” mencakup konsep-konsep canggih dan cetak biru yang menggambarkan bentuk tiga dimensi dari sebuah perahu beserta berbagai macam komponennya. Dalam pembuatan perahu di Sulawesi Selatan, teknik ini dikonsepkan dalam penyusunan papan (Tatta), contohnya rangkaian dan susunan kulit perahu dan pasak yang menjadi penyambung papan kulit perahu. Kearifan lokal dalam membangun perahu dengan teknik semacam ini dimiliki oleh Panrita Lopi, ahli pembuat perahu yang berasal dari etnis Konjo.

Kapal Pinisi dibuat secara bertahap dengan berbagai ritual yang melambangkan makna tertentu. Pembuatan pinisi dilakukan di galangan kapal yang disebut bantilang, yang umumnya dibuat oleh masyarakat Bulukumba, dengan melibatkan puluhan orang. Mereka terdiri dari punggawa (tukang ahli), sawi (tukang-tukang lain yang membantu punggawa), serta calon-calon sawi.

Pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan “Pinisi” ditransmisikan oleh orang tua kepada anak-anaknya melalui pembiasaan, pemberian contoh, dan pengulangan. Dimulai dari masa kecil, anak-anak dibiasakan bermain di sekitar bantilang, menyaksikan para Sawi mengerjakan pembuatan perahu, dan sekali-sekali terlibat membantu Sawi melakukan hal-hal sederhana seperti mengambil benda-benda atau peralatan terkait pembuatan perahu. Saat beranjak remaja, anak masih terlibat dalam proses pembuatan perahu dengan pekerjaan yang lebih besar tanggung jawabnya seperti menjaga api (yang digunakan untuk membengkokkan kayu) atau mengambil air. Kegiatan ini dilakukan setelah mereka pulang sekolah. Dengan cara ini diharapkan dalam diri anak tersebut tumbuh kecintaan dan keingintahuan tentang tata cara pembuatan perahu.

Dalam pengetahuan yang diturunkan ini, juga terdapat sistem pembagian kerja dan jenjang karir. Seseorang yang baru mulai bekerja menjadi pengrajin perahu akan memulai karirnya sebagai tukang masak. Setelah itu dia akan naik menjadi tukang bor dan akan naik lagi menjadi pemasang baut dan pasak. Semakin meningkat kemampuan pengrajin, dia akan mulai bekerja menjadi tukang potong kayu. Setelah itu, dia akan menjadi perakit papan. Jika semua sudah dijalani, dengan kemampuannya itu, tidak tertutup kemungkinan menjadi Panrita Lopi. Seorang Panrita Lopi akan mengajarkan kepada keturunannya dan pekerja yang potensial tentang pengetahuan dan keahliannya terkait dengan hal teknis pembuatan perahu maupun mantra-mantra dan ritual.

Fungsi sosial untuk masyarakat saat ini adalah sebagai perekat sosial antar masyarakat dalam desa maupun masyarakat antar desa. Masing-masing kelompok masyarakat memiliki keahlian khusus yang membuat mereka saling melengkapi dalam proses pembuatan perahu yang dilakukan secara bersama-sama dalam sistem gotong royong. Kelompok masyarakat Ara dikenal sebagai Sawi yang handal dan kelompok masyarakat Lemo-lemo dominan sebagai Panrita Lopi.

“Pinisi” juga mempunyai fungsi budaya untuk masyarakat yaitu sebagai penjaga keberlangsungan adat istiadat. Setiap tahap pembuatan perahu selalu terkait dengan kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat setempat. Hal ini terlihat dari upacara-upacara yang dilakukan dalam proses pembuatan perahu, seperti pada saat pemilihan kayu, pemasangan lunas, dan pada saat penentuan pusat perahu sebagai pengharapan atas keselamatan perahu dan manusia di dalamnya. Ritual-ritual ini juga memperlihatkan adanya keharmonisan antara manusia dengan manusia.

Proses pembuatan perahu merupakan representasi proses kelahiran seorang anak. Diawali dengan pemasangan lunas yang melambangkan bersatunya laki-laki dan perempuan dan diakhiri dengan ritual peluncuran perahu yang melambangkan proses kelahiran anak. Persiapan untuk melakukan pelayaran dan mengarungi samudera bagi perahu ini diibaratkan sebagai orang tua yang mempersiapkan anaknya untuk mengarungi kehidupan.

“Pinisi” memiliki teknologi yang sejajar dengan sistem perkapalan modern. Pencantuman “Pinisi” pada Daftar Representatif UNESCO memberi kebanggaan kepada para pemangku kepentingan dan masyarakat pecinta “Pinisi”. Inskrispi “Pinisi” meningkatkan kesadaran mengenai nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Indonesia serta meningkatkan upaya pelestarian pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional, hal ini juga terjadi pada mata budaya lain yang diinskripsi oleh UNESCO. Komunitas dan perajin akan termotivasi untuk lebih giat melestarikan “Pinisi” melalui berbagai program seperti pameran, promosi, dan workshop. Inskripsi ini juga akan meningkatkan kesadaran masyarakat umum dan pemerintah tentang pelestarian warisan budaya takbenda sesuai dengan konvensi UNESCO.

“Pinisi” mempererat hubungan masyarakat Bulukumba pada umumnya dan Bonto Bahari pada khususnya. Di tingkat nasional “Pinisi” merupakan kebanggaan bangsa Indonesia. Ketangguhan pelayaran “Pinisi” telah teruji dengan keberhasilan beberapa misi pelayaran Internasional, antara lain “Pinisi” Nusantara dan “Pinisi” Ammana Gappa yang membawa misi kebudayaan dan perdamaian. Hal ini telah mengangkat citra dan martabat Indonesia di mata dunia. Oleh kerena itu Pinisi kemudian diusulkan untuk menjadi Warisan Dunia Takbenda UNESCO untuk tahun 2017 agar teknologi pembuatan perahu tradisional dengan segala tahapan dan ritual yang tak ada duanya  di dunia akan tetap lestari.