Bagi masyarakat Betawi masak Pindang ya Bandeng, kalau masak Bandeng ya Dipindang. Menu pindang bandeng khas Betawi mempunyai ciri khas yang menjadikannya beda dengan pindang bandeng dari daerah lain. Perbedaan itu terletak pada penggunaan rempah serta penambahan kecap sebagai pemanis dari masakan tersebut. Kalau di daerah-daerah lain yang dimasak pindang ya bisa bermacam-macam ikan. Kalau di Betawi, Bandeng tidak boleh ditumis atau disanten. Tapi harus dibakar. Karena ikan bandeng termasuk ikan yang gampang hidup di perairan pesisir Jakarta, maka ikan ini mudah ditemui setiap saat, bukan hanya ketika Imlek saja. Tak dipungkiri bahwa ketika Imlek memang akan keluar bandeng yang besar-besar ukurannya, hal ini disebabkan karena bandeng-bandeng tersebut sengaja dipelihara selama setahun.
Makna filosofis bagi orang Tionghoa ikan bandeng dalam perayaan Imlek pada masyarakat Tionghoa di Indonesia terutama digunakan untuk beribadah yaitu, nyekar. Sebagian lagi ada yang memasaknya untuk dimakan ketika hari raya tersebut. Semakin besar ikan yang dibeli menyimbolkan semakin besar rezeki yang diharapkan akan diperoleh di tahun mendatang.
Berdasarkan kepercayaan orang Tionghoa yang mempercayai 12 shio, umumnya mereka selalu menyediakan 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili ke-12 shio tersebut. Hidangan yang disajikan biasanya adalah hidangan yang memiliki makna yang berkaitan dengan kemakmuran, panjang umur, kebahagian dan keselamatan.
Dalam tradisi orang Tionghoa yang tinggal di Indonesia, salah satu hidangan utama adalah ikan bandeng yang selalu ada pada saat perayaan imlek. Ikan bagi mereka adalah simbol kemakmuran dan rezeki, Kata “ikan” atau “Yu” dalam logat Mandarin artinya rezeki. Harapannya di tahun yang baru mereka akan memperoleh kemakmuran dan rezeki. Karenanya di banyak restoran Tionghoa biasanya selalu ada akuarium ikan mas yang melambangkan rezeki yang dilumuri dengan emas yang berlimpah.
Sementara itu duri yang banyak pada ikan bandeng menunjukkan rumitnya kehidupan. Oleh karena itu, butuh kehati-hatian dalam menyantap ikan bandeng, sama seperti kita melewati kehidupan ini harus berhati-hati supaya selamat.
Dalam tradisi jamuan makan besar ala China, hidangan ikan selalu disajikan di akhir jamuan sebagai lambang rezeki berlimpah di masa mendatang. Ikan disajikan utuh dari kepala hingga ekor. Jika ada tamu kehormatan yang hadir, maka kepala ikan akan diarahkan kepada tamu tersebut. Jika kita hadir dalam sebuah jamuan makan besar dan menemukan hal ini ditujukan kepada kita, kita tidak perlu tersinggung, sebab itu merupakan penghormatan untuk kita.
Makna filosofis dari sisi Orang Betawi, Ikan bandeng menjadi pilihan masyarakat Betawi untuk dibuat pindang dan sebagai menu sehari-hari karena ikan ini merupakan salah satu ikan yang gampang hidup di perairan pesisir Jakarta. Pada hari biasa kita dapat menemukan ikan bandeng di pasar-pasar tradisional namun dengan ukuran yang kecil, berbeda dengan ketika Imlek di mana ikan bandeng dengan ukuran besar dan super besar dijual (sekitar 2–7 kilogram beratnya), dengan harga per kilo bisa mencapai Rp. 100.000/kg.
Menurut cerita orang tua dulu, memakan ikan bandeng itu ada filosofinya tersendiri. Ikan bandeng itu terkenal durinya banyak, sehingga kalau memakan ikan bandeng diharapkan ada banyak rezeki yang tersangkut. Namun sebenarnya adalah karena ikan bandeng itu banyak lemaknya terutama ikan yang ukurannya besar, sehingga kalau ikan itu tidak habis dimakan dalam sehari, ikan itu bisa disimpan untuk keesokan harinya. Lemak pada ikan bandeng itu dapat mengawetkan dagingnya, sehingga kita bisa menghemat masakan daripada dibuang.
Selanjutnya, ikan bandeng menjadi primadona dalam sajian Imlek dan memiliki filosofi sebagai bagian dari unsur-unsur alam yang harus ada serta sebagai simbol hidup hemat dan awet muda, secara makna yang lebih mendalam adalah sebagai simbol penghormatan. Seorang anggota keluarga yang tidak membawa ikan bandeng kepada orang yang lebih tua seperti kepada orang tua dan mertua dianggap tidak mempunyai liangsim atau kesopanan.
Filosofi dari Pindang Bandeng ada yang lainnya yang lebih menarik. Menurut cerita orang tua bahwa Pindang Bandeng itu adalah masakan untuk menguji calon menantu perempuan. Pada saat Imlek, seorang calon menantu perempuan akan membawakan Pindang Bandeng kepada calon mertua laki-laki, ini adalah sebuah tanda bahwa calon menantu perempuan tersebut sangat peduli dengan mertuanya.
Bagaimana Pindang Bandeng dianggap sebagai sebuah tanda bahwa calon menantu perempuan itu layak dijadikan sebagai menantu? Simak ceritanya:
Pertama. Tes Kerajinan. Untuk mendapatkan ikan bandeng yang besar dan gemuk hanya bisa diperleh pada pagi hari. Dari sini diuji apakah calon menantu perempuan itu bangun pagi atau tidak. Jika tidak bisa bangun pagi, walhasil tidak akan mendapatkan ikan bandeng yang dimaksud.
Kedua. Tes Ketekunan. Tidak mudah memasak Pindang Bandeng untuk menghasilkan rasa yang pas dengan api kecil. Jika calon menantu perempuan tersebut dapat melakukannya dengan tekun dan sabar serta hasilnya baik, maka dia lulus tes tersebut
Kedua. Tes Sensitivitas. Rasa manis, pedas, asin dan asam dari Pindang Bandeng itu harus pas. Jika si calon menantu perempuan tersebut berhasil memasak dengan rasa yang pas berarti Sensitivitas perempuan tersebut bagus. Artinya, dia lulus tes ketiga.
Keempat. Tes Kerapihan. Setelah ketiga tes di atas berhasil dilewati, maka tes terakhir ini sangat menentukan. Setelah ikan bandeng yang didapat besar dan gemuk, memasaknya dengan tekun dan caranya benar serta rasanya pas, maka kerapihan dalam penyajian adalah hal yang sangat penting. Istilahnya, Finishing Touch dalam menyajikan hidangan Pindang Bandeng akan menentukan apakah si calon menantu perempuan tersebut adalah wanita sempurna yang layak untuk dijadikan menantu atau tidak. Jika rapih, maka dia lulus, dan sebaliknya.
Intinya, bagi warga Betawi dan sekitarnya, belum disebut Imlek jika tidak ada ang pau dan Pindang Bandeng. Pindang Bandeng merupakan simbol kemakmuran. Sedangkan cara memasak Pindang Bandeng merupakan simbol kematangan jiwa yang memasaknya.
Filosofi lainnya dalam perayaan pengantin di Betawi misalnya, budaya membawa atau “ngejot” ikan bandeng adalah sangat penting karena dimaknai sebagai “semakin besar mata bandeng yang dibawa pengantin laki-laki, maka semakin besar pula berlian yang dibawa”, karena dalam upacara perkawinan orang Tionghoa, mata bandeng melambangkan berlian.
Keterangan
Tahun :2019
Nomor Registrasi :201900910
Nama Karya Budaya :Pindang Bandeng Betawi
Provinsi :DKI Jakarta
Domain :Keterampilan dan Kemahiran Kerajinan Tradisional
Sumber: Website Warisan Budaya Takbenda