Pindang Bandeng Betawi (1)

0
1680

Di Indonesia, kuliner Pindang Bandeng bukanlah merupakan menu baru. Bagi warga Betawi, kuliner berbahan dasar ikan bandeng ini sangat populer karena sudah termasuk dalam menu sehari-hari, pun demikian di beberapa daerah lain di Indonesia. Tapi mungkin Anda belum tahu jika sejarah Pindang Bandeng sangat panjang dan budaya Tiongkok konon kabarnya mempengaruhi cita rasa masakan ini.

Dalam tradisi orang Tiongkok yang tinggal di Indonesia, ikan bandeng selalu disajikan saat perayaan imlek. Ikan bagi etnis Tionghoa adalah simbol kemakmuran dan rezeki, Kata “ikan” dalam logat atau pelafalan Mandarin sama dengan “Yu” yang artinya rezeki. Harapannya mereka akan memperoleh kemakmuran dan rezeki di tahun yang baru. Sedangkan duri yang banyak pada bandeng menyimbolkan rumitnya kehidupan. Oleh karena itu, butuh kehati-hatian dalam menyantap ikan bandeng, sama seperti kita melewati kehidupan ini harus berhati-hati supaya selamat. 

Menurut Sejarawan J.J. Rizal ikan bandeng dalam hidangan Imlek hanya ada di Indonesia. Di Tiongkok tidak ada. Orang Tionghoa Jakarta justru menyerap bandeng dari kultur Betawi sejak abad ke-17. Lanjutnya, penyebutan “Lebaran Cina” sebagai nama lain dari Imlek oleh orang Betawi menunjukkan penerimaan masyarakat Betawi terhadap Imlek, bahkan mereka ikut mencari hidangan Imlek.

Untuk apa bandeng Imlek? Untuk dimasak pindang. 

Kenapa ikan bandeng dalam perayaan Imlek? karena cuma ikan bandeng yang gampang hidup di perairan sekitar pesisir Jakarta. Namun ada juga nelayan yang khusus memelihara ikan bandeng ini selama setahun dan ketika Imlek baru dikeluarkan sehingga ukurannya besar-besar, minimal 2 kilogram bahkan yang paling besar mencapai 7 kilogram.

Perjodohan/akulturasi dua budaya antara budaya Betawi dengan budaya Tionghoa sudah berlangsung cukup lama jauh sebelum kedatangan Belanda yang pada akhirnya menguasai Indonesia selama ratusan tahun. Hasil perjodohan tersebut bisa dilihat misalnya dalam bidang kuliner. Dalam perayaan Imlek, bukan hanya etnis Tionghoa yang sibuk menyambut kedatangan Tahun Baru tersebut, orang Betawi khususnya masyarakat Betawi di sekitar Kebon Jeruk, Rawabelong dan Palmerah pun tidak kalah hebohnya. Masyarakat Betawi di daerah tersebut sibuk mencari ikan bandeng yang besar-besar untuk dimasak pindang, seolah ikan bandeng menjadi barang wajib pada saat Imlek. 

Tradisi yang terjadi pada sebagian masyarakat Betawi secara turun-temurun pada saat Tahun Baru Imlek adalah mengantar atau “ngejot” ikan bandeng kepada mertua. Zaman dulu, menantu yang tidak mengirimkan ikan bandeng ketika tahun baru Imlek dapat dianggap atau dicap sebagai menantu pelit. Sebaliknya menantu yang mengirimkan mertuanya dengan ikan bandeng yang besar yang kalau ditenteng sampai “ngengser” (jatuh) buntutnya, maka menantu itu akan “disohor” alias dipuji dan dibanggakan mertua. Namun, zaman sekarang, tradisi tersebut sudah mulai pudar, ikan bandeng kebanyakan dibeli untuk dimakan bersama keluarga atau dibagi-bagi ke tetangga. 

Menurut Ibu Cucu Zulaikha, pada zaman dahulu, ikan bandeng juga digantung di pagar, sebagai pertanda bahwa di rumah itu ada anak gadis yang belum menikah. Dan jika ikan bandeng yang digantung tersebut hilang karena diambil orang berarti ada pria yang menaksir anak gadis tersebut. Namun, sekali lagi, tradisi ini sudah tidak berlaku lagi di zaman kini, karena kalau ikan bandeng digantung di pagar bukan orang yang akan mengambil ikan bandeng tersebut melainkan kucing.

Daerah yang menjadi sentra penjualan ikan bandeng menjelang perayaan Imlek adalah di Jalan Sulaiman, Rawabelong, Jakarta Barat. Penjual ikan bandeng di sini ternyata berasal dari berbagai daerah. Mereka berjualan di sepanjang trotoar Jalan Sulaiman hanya saat menjelang Imlek saja.

Menurut Yohannes, penjual ikan bandeng di Rawabelong, yang membeli ikan bandeng kebanyakan adalah warga Betawi yang bukan keturunan Tionghoa. Masih menurut Yohannes, ada perbedaan antara warga Tionghoa dengan warga Betawi mengenai ikan bandeng. Warga Tionghoa biasanya menggunakan ikan bandeng untuk beribadah seperti “nyekar” sedangkan warga Betawi membelinya untuk dimasak Pindang Bandeng dan dimakan bersama keluarga.  

Ikan bandeng yang besar-besar adalah yang paling enak untuk dipindang. Ikan bandeng yang besar-besar bagi orang Tionghoa melambangkan kemakmuran dan rezeki yang berlimpah. Bandeng yang besar ini mengandung banyak lemak yang akan menambah sedap kuah pindang.

Pada saat Tahun Baru Imlek ikan bandeng besar-besar yang segar dan berkualitas bisa dengan mudah kita dapatkan. Ikan bandeng yang dijual menjelang Imlek berbeda dengan ikan bandeng yang dijual sehari-hari. Ikan bandeng Imlek ukurannya besar-besar, karena bandeng tersebut dipelihara khusus selama setahun dan dijual menjelang Imlek. Sedangkan ikan bandeng yang dijual sehari-hari berukuran kecil sampai sedang. Pada saat seperti inilah orang Betawi banyak yang datang membeli ikan bandeng. Mereka yang memiliki uang berlebih akan membeli bandeng sebanyak-banyaknya untuk dimasak sendiri dan tentu tidak lupa mengirimkan ke orang tua dan mertua tercinta.

Sejarah tersebut di atas menunjukkan bahwa ikan bandeng ternyata memiliki sinergi dalam keberagaman etnis di Indonesia, dalam hal ini terjadi akulturasi budaya Tionghoa dan budaya Betawi. Akulturasi tersebut ditunjukkan dalam perayaan Imlek di mana tradisi menyantap ikan bandeng bukan hanya menjadi menjadi milik etnis Tionghoa, tetapi juga menjadi bagian dari tradisi etnis Betawi.