RITUAL Pengantin Putri Jenggolo merupakan ritus tatacara perkawinan di Sidoarjo, yang serupa dengan yang ada di beberapa kota yang termasuk dalam wilayah sub-etnis Arek dengan nama yang berbeda-beda, yaitu Lara Pangkon atau Manten Pegon. Wilayah sub-etnis Arek meliputi kota-kota Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, sebagian Pasuruan dan Malang. Namun dalam ritual pengantin Putri Jenggala, Lara Pangkon hanya menjadi adegan atau bagian dari ritual pengantin tersebut.
Makna kata Lara Pangkon adalah lara sak durunge kelakon (sakit sebelum dijalani). Tidak diketahui asal mula tradisi ini tetapi ditilik dari unsur-unsurnya ada pengaruh budaya Arab, China, Belanda dan masyarakat pesisir. Keberadaan mayang rontek sebagai pengganti kembar mayang misalnya, mengingatkan tiang ondel-ondel Betawi.
Dinamakan “Pengantin Putri Jenggolo” dengan maksud sebagai sebuah tekad bahwa tradisi ini dilindungi, dikembangkan, dimanfaatkan dan diberdayakan oleh pemerintah kabupaten Sidoarjo, dengan motor penggerak Himpunan Ahli Tata Rias Indonesia (Harpi) Melati Cabang Sidoarjo. Hal ini karena selama ini pemerintah Kabupaten Sidoarjo mengklaim bahwa cikal bakal kabupaten Sidoarjo adalah kerajaan Jenggala.
Keunikan dari tradisi ini adalah rombongan dari keluarga mempelai pria membawa boneka ayam jago dengan berbagai pernak-pernik yang memiliki nilai-nilai filosofis. Ayam jago tersebut adalah simbol pengantin pria yang dipuji-puji memiliki sekian banyak kelebihan. Tradisi ini hanya khusus untuk mempelai laki-laki yang masih perjaka, atau belum pernah menikah. Demikian juga bagi pihak perempuan.
Biasanya pihak pengantin perempuan sudah menyiapkan wakilnya untuk menerima “ayam” jago tersebut. Proses serah terima ayam ini diawali dengan tanya jawab antara pihak mempelai laki-laki dengan wakil mempelai perempuan. Pertanyaannya seputar kelebihan ayam jago tersebut, yang dijelaskan satu persatu dengan diwarnai humor sehingga suasana tanya jawab itu menjadi hiburan tersendiri. Dialog ini mengandung makna bahwa calon pengantin laki-laki benar-benar merupakan lelaki berkualitas, bukan orang sembarangan, sebagaimana yang dilambangkan dalam boneka ayam jago tersebut. Demikian pula pesan-pesan simbolis yang terdapat dalam peralatan/perlengkaan rumahtangga yang dibawa rombongan pengantin laki-laki.
Disamping itu juga disampaikan dalam dialog tersebut pesan-pesan simbolis perihal bagaimana menjalani hidup mulia. Bahwa manusia itu wajib berhati-hati dalam menjalani kehidupan meski sudah dalam keadaan sucii, tetap harus hati-hati, agar selalu cukup rejeki yang menghidupinya. Hidup harus rajin beribadah. Juga jangan sampai lupa jasa-jasa orangtua yang telah merawat dan membesarkannya hingga akhirnya sekarang hendak berumahtangga sendiri.
Adegan dialog tersebut kemudian dilanjutkan dengan perebutan ayam jago melalui pertandingan pencak silat sebagai lambang bahwa untuk meraih sesuatu itu tidak mudah, melainkan harus didahului dengan perjuangan dan kerja keras serta pengorbanan. Bahwasanya pihak perempuan meskipun dalam posisi hanya “menerima” pihak laki-laki namun harus juga disertai perjuangan untuk mendapatkannya. Adegan dialog perihal kehebatan ayam jago dan pencak silat itulah yang sebetulnya dinamakan Lara Pangkon.
Tidak diketahui dengan pasti asal usul dan sejarah ritual pengantin Putri Jenggolo ini. Budayawan Henri Nurcahyo menduga, hal ini ada hubungannya dengan dongeng Panji Laras, dimana dikisahkan ayam jagonya Panji Laras itu tidak terkalahkan oleh ayam jago manapun, termasuk ayam jago milik raja. Ayam jago yang bernama Cinde Laras itu kemudian keluruk yang seolah-olah mengatakan: “Akulah jagonya Panji Laras, tinggal di tengah hutan. Panji Laras sedang mencari ayahnya.”
Menurut pegiat Budaya Panji tersebut, Raja yang diceritakan dalam dongeng Panji Laras itu adalah Raja Jenggala, dimana kota Sidoarjo sekarang pernah menjadi ibukota kerajaan Jenggala. Karena kehebatan ayam jago milik Panji Laras itulah yang kemudian juga dijadikan simbol kehebatan calon pengantin laki-laki, sebagaimana dipuja-puja oleh pembawanya. “Dengan demikian maka sangat tepat ketika Sidoarjo sekarang mengklaim ritual Pengantin Putri Jenggolo sebagai upacara adat perkawinan khas Sidoarjo,” tegas Henri Nurcahyo.
Dalam prakteknya, adegan dialog Lara Pangkon ini menjadi tantangan tersendiri, justru cenderung dihilangkan. Menurut pegiat budaya Jawa dari Sidoarjo, Sudirman, mereka menghilangkan adegan tersebut dengan alasan: 1. Tempat tidak luas, 2. Terlalu ribet. 3. Makan biaya banyak untuk membayar kru pencak dan jidornya. Belum lagi juga terbang jidornya. “Padahal sudah dijelaskan ke konsumen (customer) tapi masih kurang minat,” ujar ketua bidang Litbang Harpi Melati Cabang Sidoarjo itu.
Beruntunglah masih ada yang bersedia melakukan tatacara perkawinan Putri Jenggolo ini, lengkap dengan adegan perebutan jago melalui pertandingan pencak silat. Hal ini terjadi di Krian tahun 2016.
Rangkaian Ritual Pengantin Putri Jenggolo terdiri dari Upacara Pranikah, Pernikahan dan Pascapernikahan.
1. Upacara Pranikah terdiri dari: Nelisik, Nakokno, Mbalesi, Lamaran atau Peningsetan, Teges Gawe (thekthekan dina), Pasang Terob, Siraman dan Melek’an (jagongan).
a. Nelisik. Proses mencari tahu, memilih atau mencari keterangan tentang calon isteri atau suami, tentang bibit, bobot dan bebet yang akan dijadikan isteri atau suami.
b. Nakokno. Pihak orangtua calon mempelai putera didampingi sesepuh mendatangi pihak puteri untuk bersilaturahim, menanyakan kesediaan pihak puteri, sambil menyaksikan dari dekat calon menantu, sambil membawa hantaran berupa tebu wulung sekerat (tebu = antebing kalbu, ketetapan hati, kebulatan tekad), cengkir gading (kenceng ing pikir = keteguhan hati) dan gula kopi yang bermakna selaras dan sepakat.
c. Mbalesi. Pihak calon mempelai puteri gentian mendatangi calon mempelai putera, diikuti sesepuh atau pihak yang dituakan, untuk memberi jawaban atas pertanyaan yang disamaikan pihak keluarga putera dalam acara nakokno. Pada saat itu juga dibawa hantaran berupa gula, kopi, dan seperangkat bumbu kinang lengkap. Setelah ditutup doa oleh pinisepuh, rombongan calon pengantin puteri diberikan oleh-oleh berupa kue-kue basah dari bahan ketan yang bermakna agar hubungan dilaturahim dapat lengket. Kue ketan tersebut terdiri dari tetel, madumongso, lemper, jenang, ketan salak, juadah dan koci-koci.
d. Lamaran (Peningsetan). Keluarga calon pengantin putera menyerahkan sejumlah barang ke pengantin puteri.
e. Teges Gawe (thekthekan dino). Penetapan waktu perkawinan berdasarkan perhitungan hari baik.
f. Adeg Terop. Didirikan beberapa hari sebelum hajat mantu, dihiasi janur kuning, pisang raja dan batangnya, cengkir kelapa gading, tebu wulung, untaian padi Jawa, daun-daunan.
g. Siraman. Upacara mandi untuk pengantin puteri.
h. Melek’an (Jagongan). Sehari menjelang pernikahan, mengundang tetangga, diberi hidangan sego golong.
2. Upacara Pernikahan. Terdiri dari: Akad Nikah (Ijab Qobul), Prosesi Temu Pengantin (panggih manten) dan Resepsi. Pada tahapan prosesi temu pengantin inilah yang menjadi ciri khas Upacara Adat Pengantin Putri Jenggolo dimana terjadi adegan Lara Pangkon.
3. Upacara pascapernikahan. Terdiri dari Ngunduh Mantu (upacara datangnya pengantin puteri ke rumah pengantin putera) dilaksanakan H+1 dan Tinjo Manten (Tinjo Walik Ajang,Tinjo Walik Klasa) dilaksanakan H+5 yaitu meninjau dan bersilaturahim ke keluarga masing-masing sebagai perkenalan keluarga baru.
Keterangan
Tahun :2019
Nomor Registrasi :201900994
Nama Karya Budaya :Pengantin Putri Jenggolo
Provinsi :Jawa Timur
Domain :Adat istiadat Masyarakat,Ritus dan perayaan perayaan
Sumber: Website Warisan Budaya Takbenda