PENERIMA ANUGERAH KEBUDAYAAN KATEGORI MAESTRO SENI TRADISI: KPH PUJANINGRAT (2)

0
820
Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Maestro Seni Tradisi 2018

Kisah KPH Pujaningrat: Setia Menjaga Tari Klasik Yogyakarta

Sebagai penari tari klasik Keraton Yogyakarta, ia seorang virtuoso. Kepiawaiannya itulah yang membuatnya bisa melanglang buana baik di dalam negeri maupun di luar negeru. Ketika Irian Jaya (kini berganti nama kembali menjadi Papua) diserahkan ke pangkuan Indonesia dari Belanda, ia dan sejumlah mahasiswa dari Universitas Indonesia, Univesitas Pdjajaran dan Universitas Udayana pentas di sana.

Tari pula yang membawanya terbang ke luar negeri. Tahun 1973, misalnya, ia pentas tari sebanyak 90 kali dalam setahun di berbagai negara di dunia. Di Eropa ia tampil di Belanda, Inggris, Belgia, Jerman Barat, dan negara-negara lain. Di sana ia dan tim membawakan tari-tari klasik Yogyakarta, seperti Bedhaya, Klana Topeng, Golek Tunggal, Menak, dan Ramayana.

Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Maestro Seni Tradisi 2018

 

Ia punya pengalaman unik berkaitan dengan kegiatan menarinya di Eropa. “Sewaktu saya menari di Belanda, ada seorang fotografer yang selalu mengikuti saya. Ia mengambil gambar saya. Di waktu lain, saya ke Belanda lagi dan bertemu dengannya. Orang itu bertanya apakah saya akan menar, dan saya bilang, ‘saya tidak menari, tetapi hanya menjadi sutradara’. Ia tidak mau memotret saya”, tuturnya.

 

Ia juga punya pengalaman menarik saat tampil di Jepang tahun 1974. Saat itu ia memerankan Wisnu. Seorang penonton Jepang sampai minta doa restu kepadanya karena orang itu menganggap dirinya seperti Dewa Wisnu sesungguhnya dan memiliki kekuatan spiritual. Romo Pujan tidak menolak permintaannya, lalu mendoakannya. Ia tersenyum mengingat kembali pengalaman uniknya tersebut.

Di pentas tari ia banyak memerankan tokoh Wisnu. Ia merasa cocok dengan karakter tersebut. Dalam memerankan karakter itu, ia mengaku tidak melakukan persiapan khusus seperti berpuasa. Ia hanya berusaha menghayati karakter tokoh Wisnu dan penghayatan itulah yang kemudian ia terjemahkan dalam gerak-gerak tarinya.

Kini, sebagai Ketua Yayasan Siswa Among Beksa, ia aktif meregenerasi tari klasik Yogyakarta. Cukup banyak siswa yang belajar di sana. Ada juga siswanya berasal dari luar negeri. Dalam mengajar ia memberikan semua ilmunya kepada anak didiknya. Ia yakin tari klasik Yogyakarta tidak akan punah. Apalagi saat ini tari klasik itu menjadi program studi wajib di ISI Yogyakarta.

Tantangan bukan tidak ada dalam melestarikan tari klasik. Ada yang mengejek upaya pelestarian itu hanya mengagung-agungkan masa lalu. Namun, Romo Pujan tak pernah goyah dengan kritik seperti itu. Hal tersebut malah membuatnya kian semangat untuk mewariskan tari klasik Keraton Yogyakarta ke generasi zaman now. Menurut dia, seni tari sangat penting bagi bangsa Indonesia. Seni tari mengajarkan kearifan lokal, mendidik, mengajar kesantunan, nilai kepahlawanan dan cinta bangsa. “Harusnya itu diajarkan di sekolah lewat pendidikan kesenian”, ia berharap.

Pentas terakhir cucu Sultan Hamengku Buwana VIII ini berlangsung di Bangsal Sri Manganti, tahun 1999. Selepas kuliah dari UGM ia menjadi PNS di Bidang Kesenian, Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DI Yogyakarta. Ia sempat menjabat sebagai Kepala Bidang Kesenian yang mengurus tak hanya seni tari, tetapi juga musik dan seni rupa. Kini ia kembali ke Siswa Among Beksa dan menjadi ketua yayasannya.

Disalin dari Buku Profil Penerima Anugerah Kebudayaan Tahun 2018