Pemerintah Kabupaten Belu, Membangun Indonesia dari Kota Perbatasan

0
5289

Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Pemerintah Daerah 2016. Kabupaten Belu di Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Negara Demokratik Timor Leste, yang dulu ketika masih bergabung dengan Republik Indonesia dikenal bernama Timor Timur. Kata “Belu” menurut penuturan para ketua adat setempat bermakna “persahabatan”, yang bila diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti teman atau sobat. Ini merupakan makna simbolik yang mendeskripsikan bahwa zaman dahulu para penghuni Belu memang hidup saling memperhatikan dan bersahabat.

Belu dihuni oleh beberapa suku utama, yakni Tetun, Bunak, Kemak dan Dawan. Keempat suku ini mendiami wilayah Kabupaten Belu secara aman dan damai dengan memegang teguh nilai-nilai orang Timor. Suku-suku inilah yang hingga saat ini memberikan pengaruh sosial dan budaya terhadap perkembangan masyarakat Belu.

Di NTT, khususnya Belu, kearifan lokal masih dipegang erat sebagai penguat dan pembentuk karakter dalam menopang kehidupan bermasyarakat. Sikap kebersamaan, kerukunan, kegotongroyongan, tradisi maupun religiositas masih di junjung tinggi. Melalui nilai-nilai dan semangat di atas, Pemerintah Kabupaten Belu membuat kebijakan yang menyinergikan antara kearifan lokal, potensi wilayah, dan kekuatan budaya agar proses pembangunan dapat melahirkan harmoni antara pemerintah daerah dan masyarakat. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah daerah agar setiap hari Kamis dan Jumat  mewajibkan seluruh PNS menggunakan kain tenun tradisional adat mendapat apresiasi tidak hanya dari unsur birokrasi dan DPRD setempat, tetapi juga dari seluruh elemen masyarakat. Penggunaan kain tenun ini memberi kebanggaan pada pemakainya karena ada nilai-nilai filosofis maupun religius. Kepercayaan pada Yang Maha Kuasa dan kepada leluhur mereka manifestasikan pada cara berpakaian maupun bentuk upacara adat lainnya. Berpakaian atau berbusana mencerminkan sejauh mana setiap individu sadar akan jatidiri yang diwariskan para leluhurnya. Dengan begitu mereka tidak boleh melakukan perilaku yang menyimpang dari tatanan yang sudah ditentukan.

Komitmen dan kesungguhan pemerintahan daerah terhadap penguatan nilai-nilai adat sejalan dengan Visi Kabupaten Belu agar setiap kebijakan bermuara pada terwujudnya masyarakat yang sejahtera dengan memperhatikan kekayaan budaya dan sejarah. Sejauh ini pelestarian nilai-nilai kultural masih mengakar kuat di kalangan masyarakat, baik berupa upacara kelahiran, kematian, perkawinan, penyambutan tamu maupun upacara adat lainnya. Dahulu, acara-acara ini kerap kali dilakukan oleh para tetua suku atau raja yang dalam bahasa setempat disebut Rai. “Secara geneologis Rai memiliki kekuasaan yang lengkap, model trias politika, yang melingkupi kekuasaan memerintah, mengawasi, memberi hukuman atau sanksi terhadap masyarakat yang tidak taat terhadap aturan adat,” ujar J.T. Ose Luan, Wakil Bupati Belu.

new-picture-1Kuatnya pemikiran agar modernisasi dan proses pembangunan tidak melunturkan adat istiadat dan kearifan lokal mendorong pemerintah daerah dan DPRD setempat  mewacanakan untuk menghidupkan kembali eksistensi kampung adat. Kampung adat nantinya dikembalikan peran dan fungsinya untuk menjaga keluhuran dan kelestarian budaya setempat. Dengan begitu diharapkan akulturasi budaya bersinergi dan bergerak harmoni dalam memperkaya khasanah budaya lokal. Beberapa kampung adat yang masih ada di antaranya kampung adat Nualain yang sudah ada jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk. Pada awalnya kampung adat Nualain dihuni oleh suku Melus, sebuah suku yang diyakini adalah suku asli Pulau Timor. Selain itu, juga ada  kampung adat Kewar. Kedua kampung adat ini sudah masuk dalam objek perlindungan sesuai UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Masyarakat Timor, khususnya suku-suku yang mendiami Belu, memiliki harta kekayaan berupa kesenian dan acara-acara rakyat yang unik yang mewarnai kehidupan mereka. Kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Belu meliputi seni tenun, seni anyam, seni ukir, seni lukis, seni tari, dan seni musik. Kesenian ini begitu mengakar dalam keseharian masyarakat dan jika ditanya mengapa berbentuk seperti itu maka mereka akan langsung menjawab bahwa segala macam bentuk kesenian ini merupakan warisan dari leluhur yang bernilai sakral dan agung.

Dalam hal berpakaian, misalnya, masyarakat Belu sangat menghargai kain-kain tenunan sebagai suatu karya warisan leluhur. Tais mone (kain untuk laki-laki) dan tais pana (kain untuk perempuan) merupakan hasil karya tenun yang utama. Karya seni menenun umumnya berkaitan dengan kegiatan usaha pertanian karena semua bahan yang digunakan, mulai kapas sampai dengan pewarna, menggunakan bahan-bahan dari alam dan lingkungan sekitar. Penggunaannya dalam upacara adat pun disesuaikan dengan musim hujan dan musim kemarau maupun peristiwa tertentu. Adapun motif-motif yang dipakai pada kain tenun biasanya memiliki simbol-simbol sebagai ungkapan rasa terdalam penghormatan terhadap warisan leluhur.

Bentuk lain dalam mengekspresikan budaya leluhur, masyarakat Belu memiliki tarian likuirai dan tarian tandak. Tarian likurai merupakan tarian perang yang didendangkan ketika menyambut pahlawan yang pulang dalam perang. Tarian ini dilakukan oleh kaum perempuan yang mengapit alat genderang kecil (teberai) di ketiak kirinya dan menabuh genderang itu sambil menari berputar dalam bentuk lingkaran utuh. Beragam gerakan kaki dan irama pukulan menjadi penentu jenis tarian ini. Sementara laki-laki menari di tengah lingkaran penari perempuan. Di antara barisan penabuh genderang kecil ini ada seorang perempuan pemukul gong kecil, yang menambah gaung dan gemerincingnya bunyi teberai yang menggetarkan hati setiap pendengar. Tarian ini pernah memukau warga Ibu Kota pada tahun 1960-an. Pada saat ini tarian tersebut hanya dipentaskan pada saat menerima tamu-tamu agung atau upacara besar atau acara-acara tertentu. Adapun tarian tandak dilakukan pada malam hari, diadakan saat pesta rumah adat dan saat pesta injak padi. Tarian ini biasa dilakukan semalam suntuk dan setiap malam selama perayaan berlangsung. Pemerintah daerah akan memasukkan tarian-tarian ini  dalam muatan lokal dari tingkat SD sampai tingkat SLTA sehingga dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.

new-picture-2Di samping kekayaan budaya yang khas dan unik, Kabupaten Belu juga memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Letaknya yang strategis karena berbatasan langsung dengan  Timor Leste memberikan peluang dan potensi yang besar untuk pengembangan objek dan daya tarik  wisata, baik objek wisata bahari maupun objek wisata alam. Potensi ini akan terus digali agar dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Belu dan dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di antara objek wisata bahari yaitu pantai pasir putih. Suasana alam pantai yang tenang dan indah dengan pasir putihnya dapat dinikmati sambil berkeliling menggunakan sampan tradisional. Pengunjung juga bisa menyusuri Pantai Sukaerlaran dan Motaain sebagai tapal batas dengan  Timor Leste, yang merupakan pintu gerbang lintas darat. Ada juga objek wisata “Kolam Susuk” yang letaknya 17 kilometer arah utara Atambua, ibu kota Kabupaten Belu. Kolam ini terbentuk secara alami dan memiliki tanah yang berwarna putih, sehingga kalau terkena sinar matahari airnya memantulkan cahaya yang berwarna putih seperti susu. “Kolam Susuk” ini pernah menjadi inspirasi bagi grup musik legendaris Koes Plus pada era tahun 1970-an  untuk memasukan penggalan lirik ‘kolam susu’ dalam lagunya. Pada tahun 2009, “Kolam Susuk” juga pernah dijadikan lokasi syuting film Tanah Air Beta karya sutradara Ari Sihasale, dan tahun 2012 dijadikan lokasi syuting film Atambua 390C yang disutradarai Mira Lesmana.

Adapun objek wisata alam yang terkenal di antaranya Benteng 7 Lapis Makes yang terletak di kaki Gunung Lakaan. Benteng ini merupakan salah satu warisan sejarah budaya leluhur orang Belu yang masih bisa dinikmati hingga sekarang. Di sekitar benteng terdapat pemandangan alam yang begitu memukau, seperti padang sabana Fulan Fehan yang indah, eksotis, dengan panorama perbukitan yang. Medan perjalanan menuju ke sana sangat menantang karena harus melewati jalan yang cukup berbukit. Tempat ini cukup menarik dan sering dimanfaatkan oleh komunitas tertentu, seperti fotografer yang ingin mengambil foto lansekap, atau komunitas pencinta alam yang ingin menapaki alam Lakaan dengan vegetasi tumbuhan dan batu karang yang masih alami. Saat ini Benteng 7 Lapis Makes sedang diteliti guna mengetahui umur bebatuan penyusun benteng yang diyakini sudah berumur ribuan tahun. Lokasi lain yang menarik yakni Benteng Ranu Hitu dan Benteng Kikit, yang juga telah berumur ribuan tahun. Ada juga tempat wisata Gunung Mandeu, di mana hutannya masih lebat dari kaki gunung sampai puncaknya. Di sana juga ada Gua Kelelawar yang masih alami dan pernah dijadikan lokasi persembunyian pada zaman penjajahan.

new-picture-3Berbagai kegiatan berbasis budaya maupun kekayaan alam digagas dalam bentuk festival. Dalam beberapa tahun terakhir, Festival Timoresia telah menjadi magnet dan menjadi daya tarik tersendiri serta selalu ditunggu oleh khalayak. Festival ini memadukan beragam pentas  budaya tradisional dari dua negara sekaligus: Indonesia dan Timor Leste. Bahkan Bupati Kabupaten Belu Willybrodus Lay mencanangkan Kota Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, sebagai kota festival di NTT. Letak kota Atambua sangat strategis dan cocok untuk kegiatan festival karena berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. Di samping itu, hubungan budaya antara Belu dan Timor Leste sangat erat, baik dari sisi kultur maupun kekerabatan. Melalui even-even besar inilah maka kerja sama dua negara dengan satu budaya ini diharapkan dapat mendorong pelestarian budaya dan juga dapat mendongkrak perekonomian masyarakat.

new-picture-4KETERANGAN

Profil

  • Kabupaten Belu beribu kota Atambua berdiri tanggal 20 Desember 1958
  • Terdiri dari 12 Kecamatan, 12 Kelurahan dan 30 desa dalam 8 kecamatan perbatasan
  • Luas wilayah  289,94 km2

Penghargaan

  • Penghargaan Kebudayaan Kategori Pemerintah Daerah 2016