PEMBARU DENGAN KEKHASAN MANUSIA INDONESIA

0
872

Sitor Situmorang
Sitor Situmorang

Sitor Situmorang (1924–2014) berkontribusi pada sastra Indonesia karena keluasan hamparan karyanya. Karya-karyanya lahir dari keluasan jangkauan geografi, pengamatan terhadap perkembangan di tanah asalnya, dan pembentukan bangsa Indonesia dan dunia.

Sitor melalui masa kecilnya di Harianboho, sebuah lembah yang menghadap Danau Toba, di Kaki Gunung Pusuk Buhit, Sumatera Utara. Desa ini dalam tradisi Batak merupakan satu dari tritunggal “tanah leluhur.” Ayah Sitor, Ompu Babiat, bergerilya bersama Si Singamangaraja XII melawan penjajah Belanda. Saat Sisingamangaraja dibunuh Belanda, kemudian perang gerilya dihentikansaat para pejuang menyetujui margondang, yaitu upacara perdamaian dengan Belanda, 1908. Status Harianboho menjadi setengah merdeka. Ayah Sitor yang berperan sebagai pemangku adat menjadi kawula Ratu Belanda. Sitor lahir dalam suasana krisis dan konflik antikolonialisme.

Masa kecilnya disebut Sitor sebagai masa “revolusi kebudayaan,” yang ditandai masuknya kolonialisme dan Kristen. Pengamatan atas perubahan sosial dan lingkungan akibat “revolusi kebudayaan” itu, kelak ia tuangkan antara lain pada karya antropologisnya, yaitu Toba Na Sae (1981). Buku antropologinya itu kemudian menjadi salah satu rujukan para peneliti dari Eropa dan telah melahirkan para doktor terkait Toba.

Suasana antikolonialis itu juga memengaruhi interaksi Sitor dengan pusat-pusat pergerakan di Jawa dan kota-kota besar Sumatera. Benih kecintaan pada nasionalisme itu, Sitor pupuk dengan mengamati gerak-gerik, perkembangan pemikiran tokoh dan pergerakan politik nasional saat ia masuk Christelijke Hollandsc Inlandsche School di Batavia. Kedatangan Jepang dan penutupan sekolah-sekolah pada masa itu mengakibatkan Sitor pulang kampung pada usia 24 tahun. Kesempatan pulang kampung itulah yang mendorong Sitor menjadi wartawan harian Waspada yang antikolonial.

Kemudian ia menjadi koresponden harian Waspada di Yogyakarta, yang saat itu menjadi lokasi pusat pemerintahan RI. Di penginapan Hotel Merdeka, Yogyakarta, Sitor merasakan langsung zaman gerilya dan zaman perundingan melalui percakapan yang bisa ia lakukan 24 jam dengan tokoh-tokoh bangsa dari berbagai aliran yang tinggal di hotel yang sama. Kelak ia membawa pengalaman masa revolusinya itu antara lain dalam cerita yang ia tulis bersama Usmar Ismail sebagai skenario film “Darah dan Doa”. Film itu menjadi tonggak perfilman Indonesia, sehingga hari pertama pengambilan gambar film itu, yaitu 11 Oktober 1962, ditetapkan Dewan Film Indonesia sebagai “Hari Film Indonesia.”

Masa revolusi berikut dinamikanya, gesekan, dan perebutan pengaruh ideologi untuk pembentukan Indonesia, menurut Heinschke juga mendorong Sitor merenungkan kembali tugas seniman modern dalam masyarakat, yaitu untuk menemukan “ide nasional.” Dalam hal itu, kesenian dapat melahirkan rasa keterikatan antaranggota masyarakat, karena mampu menyadarkan manusia akan kondisinya sekaligus menawarkan makna yang memberi bentuk pada kehidupan.

Hal itu Sitor tegaskan sebagai penyelesaian masalah kemajemukan budaya dalam cakrawala nasional. Barangkali berangkat dari pemikiran itulah Sitor melibatkan diri sebagai pendiri dan ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), anak organisasi Partai Nasionalis Indonesia (PNI).

Menurut JJ Rizal penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia 1949 membangkitan kepercayaan diri Sitor untuk merangkul dunia modern berikut aneka ragam pilihan budaya yang ditawarkan dan diolah untuk membentuk kebudayaan modern Indonesia. Sitor menyatakan bahwa kebudayaan Eropa dan Barat tidak lagi dikaitkan dengan kolonialisme, tetapi modernitas dan kemajuan.

Sajaknya tersebar di majalah Zenith, Siasat Indonesia, Konfrontasi, dan Mimbar Indonesia. Puisinya terkumpul dalam buku Surat Kertas Hijau (1954), Dalam Sajak (1955) dan Wajah Tak Bernama (1956) yang menurut A. Teeuw karya-karya tersebut membawa reputasi Sitor sebagai penyair terkemuka setelah Chairil Anwar.

Kumpulan sajak pertamanya Kertas Hijau mendapat hadiah pertama Sastra Nasional untuk bentuk prosa tahun 1955/1956 dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), sedangkan Peta Perjalanan (1977) memenangkan Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1976/77.

Ajip Rosidi melukiskan kelahiran Sitor di dalam dunia kesusastraan Indonesia sebagai yang tiba-tiba muncul seperti gunung baru yang meledak dari dasar lautan, timbul kepermukaan lautan kesusatraan Indonesia. A. Teeuw menyebutkan beberapa cerpen Sitor dalam Pertempuran dan Salju di Paris tergolong cerita yang terbaik di antara cerita-cerita lainnya yang pernah ditulis dalam kesusastraan Indonesia dan harus diperhitungkan oleh siapapun yang hendak membuat kumpulan cerpen terbaik di dunia.

Sitor merbitkan buku naskah drama Djalan Mutiara (1954). Pada tahun 1950-an Sitor juga menerjemahkan beberapa karya sastra dunia, antara lain karya John Wyndham, M. Nijhoff, Eduard du Perron, Wiliam Saroyan, Maencol, Dorothy Sayers, John Galworthy, J.A. Rimbaud, Rabidranath Tagore, Hoornik, dan Shen Chi Shi.

Karya-karya Sitor juga menjadi pembaru karena berhasil meninggalkan zamannya dan membawa pada zaman yang baru. Menurut JJ Rizal, pada saat 1950-an ada semangat menampilkan warna lokal. Sajak-sajak Sitor dari segi tema dan bentuk termasuk berhasil dengan halus, tanpa disadari, dan tidak dipermasalahkan orang, memanfaatkan semua yang baik dalam puitika bahasa Melayu dan menjadikannya bagian integral dalam puitika bahasa Indonesia.
Pada pidatonya di depan Simposium Fakultas Sastra UI pada 5 Desember 1954,Sitor membahas “Pengaruh Luar terhadap Sastra Indonesia Jang Terbaru” Sitor menegaskan “sastra sebagian dari usaha budaja jang berudjud pentjiptaan ruang hidup asli dalam mana kita merasakan kekhasan kemanusiaan kita.”

Bagi keluarga, pemikiran Sitor merupakan perjuangan yang harus dilanjutkan. Terkait dengan proses kreatifnya Sitor, Iman mengenang ayahnya sebagai pengagum sufi, “Dia pernah bilang Raja Ali Haji yang menulis “Gurindam Dua Belas” buat dia hebat. Kecerdasan menyampaikan pemikiran secara tertib dan diisi dengan kedalaman.“

Menanggapi penghargaan yang diberikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI kepada Sitor Situmorang, Iman Situmorang menyampaikan terima kasih atas penghargaan yang diberikan dengan niat yang tulus. Tapi menurutnya jauh lebih penting untuk mempublikasikan karya-karya kreatif, bukan hanya karya Sitor tapi juga karya sastrawan-budayawan lainnya di Indonesia.