Pater Jacques Maessen: Penjaga Kain Tenun Sintang

0
1683

Kongregasi Katolik, Serikat Maria Monfortan, menugaskan dia berkarya di Sintang, Kalimantan Bara. Berangkat dari Belanda pada April 1968, dia baru sampai di Pontianak pada Juli 1968. Dari Pontianak, perjalanan dilanjutkan dengan perahu selama 88 jam menyusuri Sungai Kapuas untuk mencapai Sintang. Setelah menjelajahi Kalimantan Barat, ia pun jatuh cinta, lalu memutuskan pindah kewarganegaraan pada 28 November 1983.

Ia adalah Pater Jacques Maessen, penjaga budaya sekaligus lingkungan hidup di Sintang. Pastor asal Belanda ini hampir separuh hidupnya dihabiskan di Sintang, Kalimantan Barat. Pada tahun 1996, Pater Maessen mendirikan Yayasan Kobus Sintang sebagai wadah kegiatan seni budaya, khususnya seni tenun ikat Sintang. Kini, sedikitnya 300 warga yang tersebar di sejumlah dusun di seantero Sintang ia berdayakan untuk membuat tenun ikat Sintang sehingga tetap lestari.

Di Kobus, pelbagai tenunan dan perangkat budaya Dayak jamak dijumpai. Melalui Kobus inilah ia menjaga warisan tenunan leluhur suku Dayak. Pendirian Kobus didasarkan keprihatinan Maessen atas pudarnya kecintaan masyarakat terhadap seni dan budaya, terutama tenun ikat Sintang yang ia sebut sangat indah dan bernilai. “Awal tiba di Sintang, saya begitu kagum pada kain adat dan budaya di sini,” jelasnya.

Tak jauh dari Kobus, terdapat sebuah Museum Kapuas Raya Sintang, yang berisikan berbagai koleksi tenun ikat milik Pater Maessen. “Saya dapat koleksi itu dari nenek-nenek mereka di sini. Saya melihat sebuah kain tua, lalu memintanya, tapi tidak diperbolehkan tuan rumah. Mereka menolak dan membuang kain itu. Mereka malah memberi saya kain yang dibeli di pasar. Akhirnya kain itu berhasil saya ambil. Dan, betapa mengejutkan, kain tenun itu sangat jarang dibuat lagi. Orang itu tidak menghargai budaya sendiri,” ujar Jacques Maessen.

Seiring berjalannya waktu, Maessen melihat ada pergeseran selera. Anak-anak muda cenderung suka berpakaian kaos oblong (T-shirt) dan celana jins produk luar negeri. Menurut mereka, kata Maessen, pakaian berbahan tenun itu kuno dan tak bagus dipakai.

Melihat kenyataan ini, Maessen memutuskan untuk merevitalisasi tenun ikat Sintang. Ia tahu cara terbaik mewariskan budaya. Kebudayaan, jelasnya, diwariskan kepada generasi muda melalui ibu-ibu. Bahkan motif-motif yang ada dalam tenun ikat merupakan pesan moral seorang ibu kepada anak-anaknya.

Langkah Maessen merevitalisasi tenun ikat Sintang dimulai dengan membeli kacamata untuk ibu-ibu di sana. Sebab, ide ini hanya menarik bagi ibu-ibu lanjut usia. Padahal ibu-ibu itu umumnya tidak dapat lagi melihat dengan jelas. Akhirnya para ibu di rumah betang atau rumah panjang khas suku Dayak berhasil dibujuknya untuk menekuni pembuatan tenun ikat. Lalu Maessen memasok bahan baku, memastikan keberhasilan pemasaran, dan lain-lain, dengan mendirikan Koperasi Jasa Menenun Mandiri.

“Puji Tuhan, sampai sekarang ada sekitar 300 perempuan yang tersebar di 30 kampung belajar menenun,” ungkapnya. Para perempuan ini, lanjutnya, memiliki penghasilan yang bahkan kadang melebihi pendapatan suami mereka. “Siapa yang salah sehingga istri lebih banyak duit daripada suami?” kata Maessen sambil tertawa kecil. Maessen pun rajin menghubungi koleganya sesama penggemar tenun asli Indonesia’ untuk melebarkan pemasaran, sekaligus belajar merevitalisasi tenun ikat. Dia juga aktif memberikan informasi kepada pencinta tekstil di seluruh dunia. Tahun 2005, misalnya, sekelompok pencinta kain Indonesia yang dipimpin Pia Alisjahbana mencarter pesawat dari Pontianak untuk menyaksikan peragaan busana anak Sintang dengan busana terbuat dari tenun ikat.

Maessen mempunyai obsesi untuk membangun museum tenun ikat di Sintang lantaran melihat banyak tenun ikat Sintang maupun dari wilayah lain di Kalimantan yang berpindah ke tangan kolektor negara lain. Dia juga berencana membuat buku corak dan motif tenun ikat Sintang sehingga tidak punah. Di kampung, mereka tidak punya kain lagi karena langsung dijual. “Maka kita coba bikin buku, dengan isi foto tenunan terbagus agar dapat ditiru,” kata Maessen. Studi hingga ke negeri Belanda guna meneliti kain-kain tenun ikat Indonesia yang dikoleksi di Belanda telah pula ia lakukan.

Atas jasanya, Maessen diganjar berbagai penghargaan, baik dari organisasi maupun pemerintah. Misalnya, pada 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan penghargaan Upakarti atas upayanya merawat dan memperhatikan kebudayaan, khususnya kain tenun Dayak. Atas kegigihannya merevitalisasi tenun ikat Sintang juga, Maessen dianugerahi Pemerintah Kabupaten Sintang penghargaan sebagai Pelestarian Kebudayaan pada tahun 2010.

Selain itu, Yayasan Kobus yang didirikannya itu berjasa dalam membantu penyelamatan orang utan. Upaya penyelamatan itu bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat. Komitmen untuk menyelamatkan orang utan tertuang dalam kesepakatan antara Balai Konservasi dengan Yayasan Kobus tentang pengelolaan pusat penyelamatan orang utan Sintang, Kalbar, tanggal 9 Maret 2012. Tindak lanjut kerja sama tersebut, Kobus kembali menerima orang utan titipan dari Balai Konservasi karena memiliki tempat penampungan di Sintang.

Atas jasanya dalam menyelamatkan orang utan, pemerintah menghibahkan tanah seluas sekitar 100 hektar kepada Maessen untuk lokasi pelepasan orang utan ke habitat aslinya. Dia prihatin dan tidak suka jika orang utan dibawa keluar dari Kalimantan. Untuk kepentingan kebun binatang, misalnya, kadang orang utan dibawa ke Jawa atau tempat lain. “Lebih baik tetap di Kalimantan sesuai habitatnya,” sambungnya. Maessen juga memelihara dua ekor buaya di rumahnya, selain burung merpati, anjing, kucing, ikan, dan binatang lainnya.

Sumber: Buku Profil Penerima Anugerah Kebudayaan 2019