“Pasola”

0
988

Pemenang Lomba Penulisan Cerita Rakyat 2015, KATEGORI UMUM/DEWASA, Penulis: Yeni Yulianti.

Umbu Dula memacu kuda sekencang-kencangnya membelah savana. Hatinya perih luar biasa, tetapi tak ingin ia mematikan cinta pada rakyat yang telah lama menantinya, ketika ia mendapati Rabu Kaba memilih hidup bersama Teda Gaiparona. Kekasih yang amat ia cintai direlakannya, segala yang berkecamuk dalam dada ia serahkan pada semesta, lukanya penuh terbuka, menengadah dan berdarah. Di tengah padang rumput luas dengan lekuk tanah yang indah dihentikannya derap kaki Waisena, sang kuda kesayangan. Ia melompat, mengelus kepala Waisena kemudian memeluknya seakan ingin berbagi cerita. Waisena meringkik, Umbu Dula tertegun menatap teduh matanya.

***

“Rabu, aku akan pergi melaut bersama Ngongu Tau Masusu dan Yagi Waikareri. Persediaan makanan kita semakin tipis, hujan tak juga turun, kering di mana-mana seakan enggan pergi, padi gagal berisi. Engkau jagalah diri selama aku pergi,” ucap Umbu Dulu sambil menggenggam tangan Rabu Kaba, istri yang sangat ia cintai. Rambutnya indah dan panjang, kulitnya cokelat muda, lembut, matanya bersinar, seolah-olah selalu tersenyum. Dikecupnya kening Rabu Kaba sebelum ia melangkah ke luar rumah sambil membawa bekal seadanya. Dituntunnya seekor kuda gagah dari belakang rumah, dengan tangkas melompat ke atasnya, mengikat ulang hinggi (kain yang digunakan sebagai penutup badan.) yang menjaga tubuh dan kepalanya, kain-kain yang ditenun Rabu Kaba, seakan-akan ialah yang bersamanya, kemudian mengajak Waisena melangkah perlahan melewati jejer batu kuna sebagai kubur batu dan kayu berukir yang menjadikan rumahnya terasa agung dan suwung. Tak lagi ia menoleh ke belakang, sekadar memandang wajah Rabu Kaba di daun pintu, yang memandangnya hingga hilang punggung ditelan cahaya senja menjelang gelap hari itu di ujung Kampung Waiwuang. Umbu Dula memacu kencang Waisena hingga ke pantai, di sana ia berjanji dengan kedua saudara yang berencana akan bersamanya melaut. Ngongu Tau Matutu dan Yagi Waikareri sudah menunggu. Kayu untuk menyalakan api unggun sudah setengah terbakar. Angin bertiup kencang. Keduanya merapatkan kain yang menutup tubuh, dililitkannya dua kali agar lebih hangat. Selain bunyi angin, ombak kecil sesekali menghampiri pantai, kemudian meninggalkan sedikit buih yang lalu tak lama pecah dan kembali hilang dari permukaan menyatu bersama pasir. Mendengar derap kaki kuda mendekat, keduanya berdiri dan bagai dikomando memandang ke arah yang sama. Yagi Waikareri menghampiri Waisena dan membawanya ke balik karang, sesaat setelah Umbu Dula melompat dan mengucapkan salam. Ngongu Tau Masusu menatap Umbu Dula, didapatinya kegelisahan seorang pemimpin di sana. Rakyatnya hampir sampai pada masa kelaparan dan kekeringan yang teramat panjang. “Berangkat malam inikah kita, Umbu?” Ngongu Tau Masusu bertanya sambil matanya menatap ke arah laut. Bintang-bintang berkedip seperti membalas tatapannya. Di kejauhan awan tipis tampak hanya seperti kabut. “Aku berubah pikiran selama perjalanan tadi. Kita akan menuju selatan. Kita akan mencari beras. Orang di Waiwuang sudah lama tidak memakan nasi. Jika beruntung kita mendapat tanah subur, kita bertani dan membawa hasilnya pulang.” Umbu Dulu mengucapkannya dengan tegas sambil ia melangkah, membiarkan kakinya terbenam air laut sambil matanya tetap menatap tajam ke depan. Tak jauh di sisi kirinya, ombak menghempaskan diri pada karang, bunyinya memekak kemudian tenang seolah-olah perlakuannya tadi tak pernah ada.

“Kita berangkat sebelum matahari terbit, malam ini kita beristirahat di sini. Semoga leluhur merestui usaha kita dan membantu melancarkan seiringdoa seluruh warga,” ucapnya, hampir tak terdengar sebab Waisena tiba-tiba meringkik keras, seperti menjawab Umbu Dula. Ngongu Tau Masusu mengangguk dan melangkah menjauh, menuju balik karang, mendekat ke arah Waisena, sedang dua kuda miliknya dan Yagi Waikarera sudah lelap, sepanjang hari dipacu menyusuri savana dan mengabari saudara. Ia ingin membiarkan Umbu Dula sendiri, ia tahu persis di saat-saat seperti itu hanya keheningan dan percakapan bersama alamlah yang paling tepat. Dalam lekuk karang yang cukup untuk mereka bertiga, ia merebahkan tubuh untuk mengumpulkan tenaga, Waisena hanya menatap, sedang Yagi Waikarera tak tampak, mungkin sedang mencari rumput untuk kuda-kuda mereka, pikirnya. Umbu Dula berpikir keras. Ia melangkah perlahan sambil berulang kali menarik dan menghembuskan nafasnya yang panjang dan berat. Teringat Rabu Kaba, tubuhnya kurus akhir-akhir ini, tulang bahunya tampak menonjol, pinggulnya seperti ramping. Satu yang tak berubah, kedua mata indah itu, tak berkurang sinarnya, mengerjap-erjap tak pernah kehilangan semangat dan cahaya. Tangan-tangannya dirasa menjadi lebih kasar, pekerjaan yang ia lakukan makin hari kian berat, termasuk menimba air di ceruk bukit, memikulnya pulang ke rumah untuk keperluannya sehari-hari. Ia berjalan berkilo-kilo tanpa mengeluh walau sekali.

Tiga bersaudara yang memimpin Waiwuang terjaga sebelum cahaya sampai ke pesisir itu. Tiga kuda milik mereka sudah bersiap pula, tanpa diikat tanpa dipandu mereka mengenali siapa penunggangnya. Umbu Dula memacu paling depan. Wajahnya memantulkan harapan dan semangat, tersebar pada rumput dan tanah yang menerimanya dengan getar doa segala derap kaki-kaki mereka. Menuju Muhu Karera, yang terkenal elok dan subur tanahnya. Tiba pada sebuah lembah di ujung selatan pantai Sumba Timur, Umbu Dula memutuskan berhenti dan membangun pondok. Setelah beberapa saat mengurangi penat, ia bersama dua saudara terkasihnya membuka lahan, mengolah tanah, menanam dan merawat padi yang selalu memenuhi benak untuk dibawa ke desa yang jauh mereka tinggalkan. Berhari-hari, berbulan-bulan, mereka menanti hingga panen. Sekali panen dirasa tak cukup untuk dibawa ke Waiwuang, mereka menanam lagi, mengolah dan merawat lagi. Hingga bertahun tak terasa. Padi bertumpuk di samping pondok. Terbayang di mata tiga bersaudara itu, pesta di desa, mengumpulkan semua warga lalu membaginya dengan adil diiringi semerbak tawa.

Di Waiwuang, setelah lewat berbulan-bulan, seisi desa berkabung. Tiga pemimpin yang mereka cintai tak juga kembali. Mereka tak bisa menerka apa yang terjadi. Sudah beberapa di antara mereka mencari, tapi tak kunjung bertemu sang pemimpin desa. Wajah kesedihan melanda seluruh muka, bisik dan keluh lapar semakin menganga dan kini desa pun bagai tak punya kepala.

Hilang arah hilang rupa. Rabu Kaba menangis tak ada hentinya, mengingat sang suami kekasih yang tiap hari ia tunggu kepulangannya. Ia mengurung diri di dalam bilik, sesunggukan sepanjang siang dan malam, sebuah tenun berwarna coklat tua sudah selesai, diangin-anginkan di sudut rumah. Ia selalu berharap ada ketukan pada pintu dari tangan kekar suaminya dan segera ingin ia memberikan kain tersebut padanya, memasangkan pada pinggang dan mengikatnya dengan ikat dari kulit kayu yang dihaluskan dengan batu dan diwarnainya dengan getah buah. Kini ia hanya berpeluk kenang akan cintanya yang telah tiada.

Pada suatu siang, Rabu Kaba duduk di bawah pohon, ia bersenandung lirih, sambil tangannya menenun. Seorang pemuda tampan menghampiri dan bertanya arah. Teda Gaiparona hadir di depannya. Pemuda dari Kodi itu membuat dada Rabu Kaba berdegup kencang. Dari dua tiga pertemuan, mereka saling jatuh cinta. Umbu Dula sudah hampir Rabu Kaba lupakan, ia ingin mengisi hidupnya dengan bahagia dan cinta, ia pun masih muda. “Rabu, cintaku, bagaimana menurutmu jika aku menghadap keluargamu dan mengatakan akan segera mengawinimu,” ujar Teda Gaiparona pada suatu siang saat mereka bertemu di tempat biasanya.

“Aku pun menginginkannya, Teda. Aku ingin bahagia denganmu,” sahut Rabu Kaba.

“Jika demikian, besok aku akan datang ke rumahmu. Tolong sampaikan niat perjumpaan ini pada sanak saudaramu.” Teda Gaiparona tersenyum dan memandang mesra Rabu Kaba, perempuan indah yang sejak Umbu Dula pergi menjadi janda itu. Ia tak sabar menjadikannya istri. “Tentu saja akan kusampaikan pada mereka, Teda.” Cepat dan tangkas Rabu Kaba menjawab permintaan Teda Gaiparona. Hatinya berbunga, sukacita luar biasa, setelah lama ia tak merasakannya. Matahari belum setinggi penggalah ketika Teda Gaiparona bersama dua orang yang bersamanya tiba di depan rumah Rabu Kaba. Ia bersama salah seorang paman dan adiknya. Kedua orang tuanya telah lama tiada. Rabu Kaba bergegas memanggil saudara dan para tetangganya. Teda Gaiparona mengucapkan niatnya di depan mereka semua. Singkat, jelas dan tersusun rapi kata-katanya. Tanpa dinyana, penolakanlah yang Teda Gaiparona terima. Seluruh warga desa masih merasakan berduka yang amat dalam atas kehilangan tiga pemimpinnya, terlebih Umbu Dula, yang merupakan suami Rabu Kaba. Teda Gaiparona, paman dan adiknya diusir ke luar desa, Rabu Kaba dijaga dan dibawa masuk ke dalam bilik untuk tak bisa menemui Teda Gaiparona yang wajahnya memerah dan membeku sebab menahan hasratnya. Hari berganti, rindu dan gelora asmara tak tertahankan melanda Rabu Kaba dan Teda Gaiparona. Rabu Kaba tahu di mana ia bisa menemui kekasihnya itu. Pada suatu hari, bumi belum terang benar saat Rabu Kaba berlari menuju savana, ke arah barat Waiwuang, yang di sana ada sebuah pohon rindang tempat yang diceritakan Teda Gaiparona sering ia datangi untuk sekadar berteduh sambil membiarkan kudanya makan rumput dan ia memetik sasando peninggalan ibunya. Tabung dari bambu itu dijaganya sungguh-sungguh, saat memetiknya Teda Gaiparona sering menangis, bunyi yang dihasilkan bagai sebuah nyanyian dari pucuk-pucuk perindu, meliuk-liuk puitis, rumput yang bagai permadani terhampar di depannya seakan menari memendam rindu pada air yang membasahinya, membawa harum surga pada tanah kering itu.

Tak ditemu sosok yang dirindukan Rabu Kaba di bawah pohon itu. Ia menangis dan terduduk pilu. Dihamparkannya sehelai kain sebagai alas duduknya, matanya berkeliling, bibirnya bergetar terus berulang mengucapkan nama Teda Gaiparona. Hingga sore ia tertidur. Malam pun tiba, tapi Rabu Kaba tak ingin beranjak dari sana. Ia yakin Teda Gaiparona akan tiba. Entah pesan alam apa yang sampai padanya, saat angkasa penuh bintang, Teda Gaiparona datang bersama kudanya yang dibiarkannya berjalan pelan. Kedua insan itu tak terperi bahagianya. Mereguk indahnya melampiaskan rindu pada yang dikasihi. “Aku tak ingin berpisah denganmu lagi,” kata Rabu Kaba pada kekasihnya itu. Teda Gaiparona menatap dalam wajah Rabu Kaba. Dibawanya tubuh itu dalam pelukan. “Tak akan kulepaskan engkau hingga tiba mautku,” sahut Teda Gaiparona. Suaranya bergetar.

Keesokan harinya, kedua insan yang saling mencintai itu menuju semenanjung barat Sumba, menuju Kampung Kodi, asal Teda Gaiparona.

Mereka mengumumkan perihal hubungan itu. Warga kampung tak bisa menjawab apa selain merestui. Namun setelah warga menimbang soal penolakan warga Waiwuang saat Tega Gaiporona menemui Rabu Kaba dengan segenap keluarganya, keputusan adat Kampung Kodi meminta mereka untuk tidak memulai kehidupan bersamanya di kampung itu. Rabu Kaba dan Teda Gaiporona menerima keputusan bersama tersebut. Saat hendak meninggalkan tanah Kodi, ada yang memberi bekal makanan, ada yang melipatkan kain dan memberikannya kepada Rabu Kaba, ada yang memasangkan perhiasan, ada yang memeluk dan mengucapkan doa. Cinta mereka sungguh berat untuk sekadar dimengerti secara kasat mata. Itulah yang coba dipahami betul oleh sepasang manusia itu.

Berhari-hari mereka berjalan, melintasi padang, melewati kampungkampung, menyusuri garis-garis bumi Sumba, hingga tibalah mereka di kaki sebuah gunung. “Rabu, maukah engkau hidup di sini bersamaku?” Tanya Teda Gaiparona pada Rabu Kaba sambil menunjuk lembah yang berdiri pohon-pohon rindang dengan sungai di antaranya. Rabu Kaba menjawabnya dengan anggukan dan senyum lebar. Ia melompat dari punggung kuda Teda Gaiparona, ia menggenggam tangan kekasihnya yang selama perjalanan melangkah di samping kuda yang membawa bekal dan dirinya itu. Matanya berbinar-binar, walau tampak sisa air mata dan sembap di sekitar kantung matanya. Ia sungguh yakin akan harapan pada cintanya yang tak akan berakhir sia-sia.

Waktu berlalu. Pada suatu malam Waiwuang geger, Umbu Dula bersama dua saudaranya datang dengan karung-karung padi penuh di punggung kuda-kuda yang mereka bawa. Warga Waiwuang berhamburan ke luar rumah.

Mereka menangis saking bahagianya. Tiap orang memeluk tiga pemimpinnya itu. Tiap orang mengucapkan doa syukur atas keselamatan tiga pemimpinnya itu. Tiap wajah menyampaikan bahagia yang terkira. Hingga saat Umbu Dula menanyakan akan istrinya yang tak tampak.

“Di mana istriku Rabu Kaba? Tak tampak ia sejak tadi aku datang. Aku rindu sekali padanya?” tanya Umbu Dula pada seorang perempuan yang di tangannya tergenggam anyaman untuk mengayak, ia ingin segera menumbuk padi yang dibawa Umbu Dula kemudian mengayaknya sebelum ia menanaknya menjadi nasi.

Ia tertunduk dan diam. Ia tak sanggup menjawab dan menatap mata Umbu Dula.

“Mengapa engkau tak menjawabku, Rabu Mahona? Ada apa?” Umbu Dula tak mengerti melihat sikap perempuan itu. “Tolong jawab aku, Rabu. Mana istriku?” Umbu Dula tampak penasaran dan tak sabar.

Rabu Mahona mengangkat kepalanya, sambil terisak ia berkata, “Rabu Kaba sudah pergi dari Waiwuang. Ia kawin dengan Teda Gaiparona dari Kampung Kodi.”

Bagai disambar petir, tubuh Umbu Dula berguncang keras. Ia tak sanggup menyangga badannya, kakinya tertekuk jatuh berlutut. Dadanya seperti akan meledak. Ia berlari menuju Waisena, tiara patang (ikat kepala) yang mengikat kepalanya terlepas saat menghentakkan tubuh Waisena supaya segera berlari kencang. Ia menuju Kampung Kodi.

Tengah malam Umbu Dula sampai, ia langsung berteriak memanggil nama Teda Gaiparona. Sebagian warga Kampung Kodi ternyata sudah menyangka akan terjadi peristiwa malam itu. Umbu Dula datang dan mencari Rabu Kaba. Tetua adat dengan beberapa pendampingnya ke luar menjumpai Umbu Dula yang sedang dilanda kecewa yang sangat sekaligus patah hati, badannya menggigil dan matanya memerah.

“Anakku Umbu Dula, memang benar Teda Gaiparona pergi bersama Rabu Kaba, kami tak bisa menahan dan kami sudah mengajukan syarat pada mereka untuk tidak tinggal di kampung ini. Kami pun tidak tahu mereka di mana saat ini.” Perlahan dan lembut seorang Umbu yang paling tua berkata padanya. Ia mencoba untuk tidak memihak, dan memberi gambaran yang paling sederhana pada Umbu Dula.

Umbu Dula menghela nafasnya dalam-dalam, matanya yang merah berkacakaca. Ia tak bisa menjawab ucapan tetua kampung yang ramah itu. Tangannya bergetar menggenggam kekang Waisena. Seakan paham, kuda kesayangannya itu menundukkan kepalanya menyentuh lengan sang tuan. Mata mereka beradu. Tanpa mengucapkan kata lagi Umbu Dula melompat ke atas punggung Waisena, dipacunya kembali kudanya yang setia itu. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar, mereka menembus malam membawa luka menganga dalam dada. Berhari-hari Umbu Dula dan Waisena mendatangi tiap pemukiman di pulau itu, tak ada lagi yang ia inginkan selain menemui Rabu Kaba. Hingga pada suatu sore tibalah ia di depan sebuah rumah yang menebarkan wangi masakan di sebuah kaki gunung Bodu Hula, rumah Teda Gaiparona dan Rabu Kaba.

Diketuknya pintu rumah itu, dan seorang laki-laki bertenun sepanjang lutut membukanya. Tanpa diawali perkenalan, mata Teda Gaiparona dan Umbu Dula bertemu. Mereka terdiam, hingga Rabu Kaba menanyakan siapa yang datang dan setengah berlari menuju pintu depan rumah. Rabu Kaba memekik terkejut melihat siapa yang datang. Ia tersungkur bersama masakan yang ia pegang.

Seperti melihat hantu. Arwah suaminya mendatanginya. “Rabu Kaba, Rabu Kaba, istriku, ini aku. Ini aku, Umbu Dula datang.” Seru Umbu Dula ketika melihat Rabu Kaba keluar dari dapur.

“Engkau sudah mati. Engkau sudah mati.” Desis Rabu Kaba sambil sesunggukan. “Tidak, Rabu. Aku mencari padi hingga ke ujung pulau bertahun-tahun.

Mengumpulkan makanan untuk Waiwuang. Bertani hingga cukup bekal pulang. Mengapa engkau tak menungguku, Rabu?”

“Engkau sudah mati, Umbu Dula. Engkau tak berkabar. Engkau sudah dicari. Engkau sudah mati.”

Teda Gaiparona hanya diam melihat kedua orang yang dulunya adalah sepasang suami istri yang saling mencintai itu bercakap.

“Sekarang aku kembali, Rabu Kaba. Kita bisa bersatu lagi seperti dulu,” suara Umbu Dula serak, menahan diri atas segala yang meluap dalam dadanya.

“Aku tak ingin kembali ke Waiwuang, Umbu Dula. Sekarang aku sepenuhnya mencintai Teda Gaiparona. Kumohon engkau mau memahaminya. Paling tidak mencoba sedikit demi sedikit mulai memahami dan melupakan aku.” Pelan dan bergetar suara Rabu Kaba saat mengucapkannya.

Bukan main pilunya Umbu Dula mendengar apa yang diucapkan Rabu Kaba untuknya. Betapa rindu yang menumpuk dalam dadanya hancur seketika.

Ia berlari menuruni tangga rumah itu, melompat ke punggung Waisena yang kemudian meringkik meninggalkan lembah itu bagai tak menjejak bumi. Malam merambat sangat pelan, seakan takut menyentuh apa pun dengan gelap. Langit bersih seakan awan pun takut hadir memberi bercak di cakrawala. Angin entah tak tahu pergi ke mana. Alam seperti memberi segala ruang pada semua kemungkinan, pada setiap keseimbangan. Rabu Kaba diam tak bicara apa pun sepanjang malam itu. Teda Gaiparona yang sangat mencintai Rabu Kaba tak tahu harus melakukan apa. Apa yang terjadi sungguh tak ia sangka. Diselimutinya bahu Rabu Kaba dengan sebuah kain tebal, ia masih duduk menatap ke arah perginya Umbu Dula. Diam dan terus mengusap air yang menetes dari matanya yang indah. Saat pagi tiba, Rabu Kaba meraih tangan Teda Gaiparona, “Kembalikan belis (mahar) yang dulu pernah Umbu Dula berikan padaku, jika engkau sungguh mencintaiku, Teda Gaiparona. Apakah engkau bersedia?”

Teda Gaiparona memandang lekat kedua mata Rabu Kaba, lalu dikecupnya pelan berulang kali. Ia tersenyum dan bergegas pamit menyiapkannya.

Ditatapnya punggung gagah Teda Gaiparona yang kemudian hilang di ujung jalan menuju hutan, Rabu Kaba berucap dalam hati, “Aku mencintaimu, Teda Gaiparona. Semoga semesta memberi kemudahan bagimu dan Umbu Dula, bagiku juga.”

Waiwuang yang sempat beberapa saat bersuka atas kepulangan tiga pemimpinnya, kembali sunyi dan mengambang pilu sebab Umbu Dula tak membawa Rabu Kaba bersamanya. Waiwuang bisa memenuhi periuk-periuknya dengan nasi, tapi lubang di dada warganya menjadi lebih lebar dan duri menancap di setiap sisinya.

Pada suatu pagi yang sungguh terang, dari kejauhan tampak iring-iringan mendekat ke arah Waiwuang. Teda Gaiparona, beberapa ekor sapi dan kuda, sekotak perhiasan, dan kain-kain yang diikat menumpuk dibawa olehnya. Rabu Kaba dan beberapa orang pengiringnya menyusul di belakang iringan belis yang diinginkan olehnya dikembalikan pada Umbu Dula. “Umbu Dula, aku ingin mengembalikan belis yang dulu pernah engkau berikan kepada Rabu Kaba. Atas permintaannya sendiri agar engkau mau membiarkannya pergi. Aku sendiri atas nama pribadi tak ingin mengatakan dan membela diri atas nama apa pun sebab kejadian ini. Rabu Kaba telah kehilanganmu dan seluruh orang Waiwuang sudah menerima engkau telah tiada. Ia telah menunggumu dengan setia. Aku mohon kebesaran hatimu, terlebih janganlah menumpahkan amarah padanya, cukup padaku jika engkau mau,” berkata Teda Gaiparona di depan rumah Umbu Dula.

Orang-orang mulai berkumpul di depan rumah Umbu Dalu. Saat Umbu Dula membuka daun pintu rumahnya, sebagian orang berbisik berharap tak terjadi malapetaka atau perkelahian pada pagi itu. Umbu Dalu bergeming tak berkata apa-apa, hanya memandang kepada Rabu Dula. Sejenak udara menguap, setiap orang menahan nafas, berharap detik ke depan segera terlewat. Umbu Dula masih menatap Rabu Kaba, yang sesekali beradu pandang dengannya, selebihnya ia menunduk. Mengamati tangannya yang saling memilin, basah oleh keringat, mencoba menenangkan diri. “Demi tanah dan segala yang hidup di atasnya, demi leluhur yang menjaga kita semua, kuterima belis ini. Pergilah kalian berdua,” pendek kalimat yang diucapkan Umbu Dula, tapi membuat hening dan semua gerak terpaku. Rabu Kaba menengadah memandang Umbu Dula, bibirnya bergetar, ia mulai terisak, matanya menjadi kabur. Rabu Kaba perlahan mendekati Umbu Dula, ia bersimpuh tak jauh darinya berdiri.

“Kuberikan tubuhku untuk kesuburan tanah ini. Kukutuk diriku menjadi cacing-cacing di laut sebagai tanda panen yang berhasil bagi tanah ini.” Sungguh mencekam kata yang diucapkan Rabu Kaba menjawab restu Umbu Dula. Umbu Dula menahan diri untuk tidak mengangkat tangan untuk mengajak Rabu Kaba berdiri. Hatinya bagai disayat. Belahan jiwanya mengutuk diri, menyerahkan tubuh pada kekuatan bumi.

Teda Gaiparona meraih tangan Rabu Kaba. Mereka berdiri dan mendekati Umbu Dalu dengan tangannya yang mengepal, matanya tak menyala. Mereka tahu Umbu Dula sangat mencintai rakyatnya, ia tak akan ingin ada kekacauan di Waiwuang. Tiada kasih seorang pemimpin yang paling tinggi, selain menempatkan kepentingan dan kedamaian pengikutnya di atas segala kepentingan lainnya.

“Besok pagi undanglah seluruh pemuda, kita akan memacu kuda dan saling melempar hola (lembing), sebagai tanda kita tak saling menyimpan dendam. kita beri semua yang datang makanan dan minuman hingga mereka kenyang.” Berkata Teda Gaiparona pada Umbu Dula. “Pakailah pakaian terbaik dan tungganglah kuda terhebat. Semua darah yang menyiram tanah adalah untuk menyuburkan bumi. Yang gugur adalah pahlawan kita semua.” Umbu Dula menyambung ucapan Teda Gaiparona. Setelah itu tanpa menoleh pada siapa pun, ia bergegas menjemput Waisena dan mulai memacunya ke tengah savana. Rabu Kaba hanya bisa menahan nafas sambil mengucapkan segala pasrah pada semesta, atas apa yang sudah, sedang dan akan terjadi setelahnya. Ia menggenggam erat tangan Teda Gaiparona. Keesokan harinya ratusan pemuda berkumpul. Mereka menunggangi kuda tergagah dan membawa hola punggung. Kuda-kuda dihias, mereka dipacu kencang, pada saat itulah penunggangnya melempar hola pada sekelompok lawannya.