“Pangeran, Malaikat, dan Rangda”

0
896

Pemenang Lomba Penulisan Cerita Rakyat 2015, KATEGORI ANAK/REMAJA, Penulis: Huda Nur Mustaqim.

~ Apa kau tahu, nikmatnya menjadi malaikat? Tidak? Mari kuberitahu: Kau dapat melihat segalanya. Kau dapat melihat betapa indahnya Taj Mahal, betapa hebat dan berwibawanya Margaret “The Iron Lady”Tatcher yang menjadi wanita pertama yang menjadi perdana mentri Inggris, betapa kerennya Grand Canyon, yang sampai sekarang proses terjadinya masih belum jelas. Belum lagi keindahankeindahan negeri dongeng yang hanya bisa kau nikmati dari lembaran-lembaran kertas buku cerita anak-anak. Apakah dongeng-dongeng itu nyata? Tidak? Atau iya? Mereka tidak tahu. Dan tentu, aku tahu.

Aku tahu segalanya.

Lalu, apa yang membuat sengsara para malaikat?

Kau dapat melihat segalanya.

Kau dapat melihat dahsyatnya bom Hiroshima-Nagasaki yang menewaskan ribuan bahkan jutaan orang. Kau dapat melihat kekejaman Hitler yang menewaskan jutaan Yahudi pada masanya. Kau juga dapat melihat betapa kejinya orang yang menjual Solomon Northup — seorang pria berkulit hitam yang sudah dinyatakan merdeka— untuk dijadikan budak dan tersiksa selama 12 tahun. Bayangkan pada masa itu kau dijadikan budak, dianggap lebih rendah daripada hewan. Apa kau tahu rasanya? Aku tahu.

Aku tahu segalanya.

Aku sudah pernah melihat keindahan yang teramat sangat indah, kau tak akan bisa melupakan pemandangan itu seumur hidupmu. Aku juga sudah pernah melihat pemandangan yang memilukan, sehingga jika kau melihatnya, kau akan memilih untuk bunuh diri dan berharap bayangan itu hilang. Lalu … Aku melihat manusia.

Satu hal yang membuatku bingung: aku sudah melihat manusia dalam seburuk-buruknya mereka dan dalam sebaik-baiknya mereka. Dan aku sudah melihat itu selama bertahun-tahun. Lebih lama dari yang kau bayangkan. Dan seharusnya aku sudah tahu jawaban dari pertanyaanku ini. Tetapi tidak. Aku tak tahu bagaimana cara menjawabnya. Mungkin kau tahu: Bagaimana cinta dapat membutakan manusia, padahal cinta itu hanyalah sebuah emosi yang dirasakan manusia? Cinta bukanlah benda yang dapat disentuh. Cinta bukanlah benda yang dapat dilihat. Namun, kau bisa buta karena cinta. Kejadian yang akan aku ceritakan kali ini adalah sebuah cerita cinta yang sempat membuatku melalaikan tugasku karena aku ingin tahu apa yang terjadi dengan Ning Rangda.

Nama aslinya adalah Rangda. Lantas, kenapa dia dipanggil Ning Rangda? Karena di ranah Kalimantan, “Ning” adalah panggilan untuk seorang wanita yang sudah tua.

Rangda dikenal dengan hasil tenunannya yang sangat indah. Kualitas tenunannya juga sangat bagus, tidak mudah rusak, tidak mudah sobek. Dinamika perpaduan warna yang Ia pilih juga sangat indah, terkadang terkesan aneh dan menantang. Tenunannya yang telaten, dipadu dengan motif-motifnya yang luar biasa indah, tidak lupa dengan perpaduan warna yang dia pilih, membuat dia dan keluarganya kaya raya, karena kain tenunan yang Ia buat terjual dengan sangat cepat. Peminatnya juga sangat banyak. Bahkan banyak juga peminatnya yang berasal dari luar pulau Kalimantan. Aku tentu sudah pernah melihat, mencium, dan meraba kain tenunan Rangda. Dan sungguh, setiap tenunannya adalah mahakarya yang sepatutnya sedang duduk manis di sebuah museum. Tenunannya sangat bagus. Terlampau bagus. Tenunannya berhasil memikat sesosok malaikat. Dengan tenunannya yang seindah itu, tentu banyak orang yang memesan tenunan itu langsung ke Rangda, bukan?

Tetapi tidak.

Rangda tidak pernah memperlihatkan hasil karyanya ke khalayak ramai. Rangda ingin tetap dipandang sebagai seorang wanita biasa. Membiarkan bakatnya hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan orang tuanya. Bukan untuk diketahui banyak orang.

Itulah sebabnya Ia selalu menyuruh pesuruhnya untuk menjual tenunannya di pasar. Dan cara itu terbukti berhasil mempertahankan reputasinya sebagai wanita biasa karena sudah bertahun-tahun Ia menjual tenunannya, belum ada orang yang mengetahui siapa yang ada di balik tenunannya.

Namun setiap manusia, memiliki titik jenuh. Mereka jenuh dengan fakta bahwa tenunan ini masih tidak diketahui siapa pembuatnya.

Seperti apa orang yang membuatnya? Sekaya apa orang yang membuatnya? Apakah yang membuatnya seorang wanita? Atau bahkan pria? Dengan alasan yang tidak aku mengerti, mereka merasa bahwa mereka harus mengetahuinya. Mereka harus mengenal si pembuat tenunan ini. Mereka yang dulunya adalah seorang penggemar dari tenunan ini, sekarang menjadi seorang fanatik yang ingin mengetahui segalanya. Mereka yang dulunya adalah seorang penggemar, sekarang adalah seorang maniak yang ingin melihat segalanya. Mereka yang dulunya berperilaku baik, sekarang menjadi buruk. Satu lagi yang membingungkanku adalah: Bagaimana bisa dalam satu tubuh, bisa terisi dengan kebaikan dan keburukan?

Manusia itu lucu.

Kenapa aku tidak bisa seperti mereka?

Yah, tentu saja tidak semua orang yang menjadi maniak, seperti yang aku katakan tadi. Beberapa orang tetap menjadi orang yang menghargai tenunan dan si penenun untuk tidak mengumbari jati dirinya. Namun, setelah beberapa lama, akhirnya ada seseorang yang berhasil mengungkap identitas di balik indahnya kain tenunan yang dicari semua orang. Dan dalam sekejap, semua orang tahu tentang Rangda.

Rangda, seorang wanita yang teramat manis, dengan rambut hitam panjang, yang sedikit bergelombang layaknya ombak tenang di pantai Kute. Bibir merah merona, semerah darah segar yang mengalir di pembuluh darah kalian. Kulit keemasan, layaknya madu hasil kerja dari lebah-lebah yang tak kenal lelah. Rangda adalah contoh wanita dengan rupa yang sempurna.

Namun, apakah hati, sikap, dan spiritualnya seindah rupanya?

Ya.

Apa kau tahu, dia membagikan sebagian hasil penjualannya ke orang yang membutuhkan? Apa kau tahu, bahwa dia adalah seorang wanita yang sangat berbakti kepada orang tuanya? Tidak hanya itu, dia juga sangat pandai memasak. Dia juga sangat cerdas, buku adalah hal yang paling dia senangi. Ilmu sudah seperti air mineral baginya. Dia merasa akan mati tanpanya. Merasa lemah tanpanya.

Dia adalah wanita dambaan semua pria. Dan semua wanita ingin menjadi dirinya.

Dan dia berhasil membuat sesosok malaikat iri terhadapnya. Tak dapat disangkal lagi, dengan rohani dan jasmani yang sesempurna itu, dia mendapat banyak lamaran. Dari setiap desa, setiap daerah, setiap penjuru kerajaan, ingin melamar Rangda.

Namun apa daya seorang Rangda untuk menolak mereka? Apa pula daya Rangda untuk menerima mereka. Pasalnya, Rangda tidak pernah mengenal mereka semua dan Rangda tidak sampai hati untuk memberitahu itu kepada mereka.

Rangda yang manis, Rangda yang lugu.

Orang tua Rangda adalah contoh orang tua yang baik. Orang tua yang menyayangi anaknya dengan ikhlas, mereka berwibawa tinggi, mereka berwawasan luas, dan mereka suka hidup yang sederhana. Dalam artian, mereka tidak pernah berfoya-foya dan tetap merendah. Tidak memamerkan hartanya, tidak menggunakan hartanya untuk menaikkan derajatnya.

Mereka hanya ingin setara dengan masyarakat lainnya.

Dan karena kecintaan mereka terhadap Rangda, mereka turut membantu Rangda dalam memilih pasangan hidupnya. Dan karena wibawa yang mereka punya, tak satu pun para pelamar yang merasa kesal, dengki, lebih-lebih dendam, sepulangnya dari rumah Rangda.

“Maaf Tuan, sayang sekali. Tetapi kami tidak merasa cocok dengan keluarga Tuan, yang sudah sudi untuk menginjakkan kakinya di lantai rumah kami yang sederhana, duduk di kursi yang sederhana, memakan makanan dan meminum minuman yang sederhana, serta menghabiskan waktu di ruangan yang sederhana pula,” Mungkin kalimatnya memang terdengar sederhana, akan tetapi jika kau mendengarkannya langsung dari orang tua Rangda… kau tidak akan dapat mengeluarkan emosimu.

Orang tua Rangda adalah contoh orang tua yang sempurna.

Dan lagi, aku iri dengannya. Kenapa aku tidak dapat menjadi manusia, menjalankan hidupnya dengan normal, mengikuti garis-garis kehidupan yang telah dibuatkan untuknya, tanpa mengetahui bahwa ada malaikat-malaikat di sekelilingnya, mengawasinya?

Dan asal kau tahu, aku ingin kau semua membuang khayalan bahwa kami, para malaikat selalu mengenakan pakaian yang panjang, sampai ke mata kaki, memiliki sayap, dan sebuah lingkaran melayang di atas kami.

Tidak.

Malaikat tidak seperti itu.

Kami terlihat seperti mahluk hidup biasa, mengawasi kalian tanpa kalian sadari. Kami adalah para pengemis yang kalian jauhi. Kami adalah para penjual ikan yang kalian temui setiap hari minggu. Kami adalah pelayan yang kalian caci maki karena kelalaian kami. Kami adalah kuda yang kalian tunggangi. Kami adalah rumput yang diinjak-injak anak kalian. Kami adalah pohon, yang memberi kalian kehidupan. Kami adalah penjaga yang menjaga keseimbangan kehidupan.

Kami adalah malaikat.

Baiklah, sampai di mana kita tadi?

Sedikit jauh dari tempat Rangda tinggal. Hiduplah seorang raja yang bijak, ramah, dan sabar menghadapi rakyat-rakyatnya. Semua rakyatnya berharap dia bisa menjaga mereka selamanya. Memberi mereka keadilan, ketentraman, kesejahteraan untuk selamanya. Tetapi … tentu saja itu tak dapat terjadi.

Karena temanku, kematian, akan memanggilnya.

Dan dengan fakta yang mengerikan itu, sang raja pun akan melakukan apa saja untuk anaknya agar dia sembuh. Bahkan Ia rela menukarkan hidupnya untuk anaknya.

Pangeran, anak semata wayangnya yang sangat ia sayangi, tiba-tiba jatuh sakit. Dia tidak sadar selama berhari-hari, namun dadanya masih naik turun, menandakan kehidupan. Keringat masih menetes dari dahinya. Dan sesekali ia masih bersuara.

Hanya bersuara, seperti batuk. Atau gumaman yang tidak dapat didengar siapa-siapa. Atau bahkan hanya bersuara “Hummmmmm”.

Selain itu?

Ia terbaring tidak sadarkan diri.

Sudah puluhan tabib, puluhan orang yang menyebut dirinya “orang pintar”, bahkan puluhan dukun datang untuk menyembuhkan pangeran, namun mereka tetap saja gagal. Mendekati berhasil pun tidak.

Ini buruk. Ini buruk untuk semua orang. Pangeran adalah satu-satunya anak dari sang raja dan ratunya, dan tidak ada waktu lagi untuk menimang anak baru. Selain karena faktor waktu, faktor usia juga menghalangi mereka.

Lalu, entah dari mana, Tuhan mengirimkan cahayanya ke keluarga kerajaan. Ia mengirimkan seorang dukun ke kerajaan dan meyakinkan raja bahwa dia dapat menyembuhkan pangeran.

Menarik.

Dukun sudah di dalam kamar pangeran. 13 lilin sudah diletakkan dengan formasi menyerupai bintang. Kain-kain dengan lambang yang abstrak diletakkan di ke empat sisi kasur. Air suci sudah dicipratkan ke sekujur tubuh pangeran. Dan sesajen yang dibakar di dalam wadah kertas yang sudah dimantrai agar kebal terhadap api sudah dibakar, meninggalkan asap putih berbau tengik. Sang Dukun menangkupkan sesajen yang terbakar di tangannya, membuat gerakan melingkar di atas kepala pangeran, sambil membisikkan sesuatu yang bahkan aku —sesosok malaikat— tidak mengerti. Dan sesekali pula Ia mengatakan, “Tidak apa-apa pangeran, aku sedang mencoba untuk menyembuhkanmu.”

Beberapa saat kemudian, sang Dukun keluar, yang lalu dihampiri oleh raja dan istrinya.

“Maaf, tuan Raja. Ternyata ilmu saya tidak cukup untuk mengobati penyakit pangeran. Hamba merasa sangat rendah,” tutur sang dukun, sambil tertunduk, menghadapi rajanya.

Namun raja hanya tersenyum kecil, lalu menyodorkan bingkisan untuk sang Dukun. “Tidak apa-apa. Kau sudah mencoba yang terbaik untuk anakku dan aku menghargai usahamu.”

Dukun pun menggeleng. “Tidak, Raja! Hamba tidak pantas menerima bingkisan darimu.” Dukun itu menangis, dilanda rasa bersalah. Tak takut harga dirinya jatuh di depan sang raja. “Hamba bahkan tak dapat membuat kemajuan satu langkah pun.”

Lagi, raja tersenyum kecil, namun ramah. “Jangan seperti itu. Tidak sepantasnya kau merendah seperti ini.” Lalu, tanpa disangka, sang raja maju, lalu memeluk pelan sang dukun, seseorang yang baru saja mengecewakannya.

Sungguh, ini adalah momen yang membuatku menangis.

Dan lagi, aku berharap bisa menjadi manusia.

Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki sedang berlari-lari kecil, sambil meneriakkan tiga kata yang sedari dulu dinanti raja.

“Pangeran telah bangun!”

“Rrr…” kata pangeran yang tengah terbaring di kasurnya. Wajahnya pucat, seperti kertas yang belum ternoda. Wajahnya menampakkan raut tersiksa, keringat mengalir dari dahinya. Dan dari bibirnya, hanya terucap “Rrrr..”

Tidak lebih.

Tidak kurang.

Apa yang ingin dia coba katakan? Tidak ada yang tahu.

Tetapi, tentu saja aku tahu.

Aku tahu segalanya.

Dengan sedikit ilmu yang dipelajarinya, Dukun itu membantu pangeran untuk menyelesaikan kalimatnya.

“Pangeran, apa yang engkau coba sampaikan?”

“R..A..N..G..D..A” jawabnya lirih, pelan, hampir tak ada suara. Raja, Ratu, Perawat, pembantu raja, semuanya terlihat bingung. Bukannya mereka tidak tahu siapa Rangda, namun suara pangeran terlalu pelan untuk didengar.

Dan sayangnya … pangeran kembali lemas dan mengucapkan “Rrrr..”

“Tenang, Raja. Tenang,” ujar dukun, melihat raut panik sang raja. “Saya tahu dan saya mengerti apa yang tadi Pangeran ucapkan.”

Raja tersenyum bangga, Ia merasa bahwa kini, memang ada harapan untuk anaknya.

“Pangeran menyebutkan sebuah nama,” jelas sang Dukun. “Sebuah nama yang indah, yang hanya dimiliki oleh seorang wanita berparas indah, bernama Rangda, yang tinggal agak sedikit jauh dari sini.”

“Rangda?” tanya Raja. “Siapa gerangan Rangda yang engkau bicarakan ini?”

Dukun itu lalu menjelaskan tentang Rangda, dengan kecantikannya yang alami, bakat yang Ia miliki, dan tak lupa juga tentang lamaran dari puluhan pria yang Ia tolak.

“Pemaisuri!” Panggil raja, dengan semangat berkobar di dalam hatinya.

“Tolong sampaikan kepada Rangda, bahwa anakku akan melamarnya! Dan jika dia menyetujuinya, sampaikan padanya untuk membuat tenunan terbaiknya, sebagai baju perkawinannya dengan anak saya!”

Tanpa dua kali berpikir, pemaisuri pun langsung berangkat menuju tempat kediaman Rangda. Rangda.

Seorang wanita sempurna, yang hanya pantas —dan akan— menjadi istri sang pangeran.

Ya.

Lamaran dari pangeran, diterima oleh Rangda dan kedua orangtuanya tanpa pikir panjang.

Mendengar kabar ini, pangeran tentu merasa senang. Dengan sendirinya, kesehatannya kembali pulih. Warna-warna kehidupan mulai hadir di pipinya yang semula pucat. Kembali hadir di bibirnya yang semula pucat.

Mata pangeran kembali menunjukkan kehidupan.

Dia kembali menjadi pangeran yang aktif, cerdas, dan bijaksana. Terus melompat, terus berlari. Ia tidak perduli dengan orang yang memperhatikannya dengan raut bingung. Dia hanya terlalu bahagia.

Dan dia benar-benar tidak bisa menahan kebahagiaannya.

Bahkan di dalam kereta, pangeran tak bisa berhenti berbicara tentang betapa semangatnya dia untuk bertemu dengan wanita bernama Rangda ini. Pangeran bahkan belum pernah bertemu dengan Rangda sebelumnya. Tetapi, cinta hadir tanpa harus mempertemukan kedua insan. Cukup dengan sehelai kain tenunan yang sempurna itu, pangeran sudah jatuh hati kepadanya. Pangeran bahkan dapat mendengar detak jantungnya sendiri, karena semangatnya yang berkobar itu.

Deg deg.Deg deg.Deg deg.Deg deg.Deg deg.

Degdeg.Degdeg.Degdeg.Degdeg.Degdeg.

Deg.

Hening.

Jantung pangeran memompa terlalu cepat, sehingga tubuhnya tidak dapat menahan pompaan darah yang dikirim dari jantung, lalu tiba-tiba… jantungnya berhenti. Semua kerja tubuhnya berhenti begitu saja.

Berhenti begitu saja.

Apakah ini yang namanya takdir? Apakah takdir sekeji ini, untuk memutuskan kebahagian kedua insan dengan cara yang sangat … sangat tidak tepat waktu?

Mereka hampir dipertemukan, demi Tuhan!

Ketika aku menanyakan temanku, kematian, tentang ini, dia hanya bisa berkata:

“Memang sudah waktunya. Aku tidak bisa melanggar aturan.”

Aku sudah mendengar cerita tentang setiap kisah-kisah romantis yang ada di dunia ini. Mulai dari kisah tragis Romeo dan Juliet, sampai dari kisah dengan plot yang rumit, seperti kisah cinta tentang Rama dan Shinta. Aku suka cerita mereka, walaupun kisah itu tragis, seperti Romeo dan Juliet. Tapi kau tahu, itu semua hanya fiksi. Karya sastra yang mengagumkan dan patut untuk dikenang.

Tetapi ketika hal ini terjadi di dunia nyata, semuanya terasa sangat berbeda! Aku marah, aku kesal, aku ingin meluapkan semua emosiku, aku ingin menyalahkan Tuhan atas apa yang telah terjadi kepada mereka. Mereka yang hampir dipertemukan. Mereka yang aku pikir akan hidup bahagia dan menimang seorang bayi yang bahkan lebih rupawan daripada mereka.

Tetapi … aku hanyalah malaikat.

Tugasku bukanlah murka atas segala keputusan Tuhan. Tugasku hanya mematuhi apa yang Dia perintahkan. Apa yang Dia kehendaki. Dan kau tahu?

Bahkan malaikat bisa lelah.

Di sisi lain, Rangda sedang menenun kain. Hatinya riang dan gembira, tak sabar untuk bertemu sang kekasih, yang tak kunjung datang. Di hatinya, di hati kecilnya yang sedang bersuka cita itu, ia sedang membayangkan masa depan mereka. Dengan sepasang anak mereka, dengan kehidupan mereka yang dipenuhi dengan perhiasan-perhiasan mewah. Dan dia merasa sangat tidak sabar untuk bertemu sang pangeran. Dan dalam konteks ini, pangeran yang akan datang bukanlah pangeran berkuda putih yang datang menjemput sang putri dengan pakaian yang indah. Kali ini, konteksnya adalah: seorang pangeran dengan kereta kuda datang untuk menjemput seorang penenun sederhana.

Dan dia terus menenun.

Dan menenun.

Terus menenun, tanpa kenal lelah. Apa kau tahu nikmatnya menjadi sesosok malaikat?

Kau dapat melihat segalanya.

Namun, apa kau tahu apa yang menyengsarakan malaikat?

Kau dapat melihat segalanya.

Kau dapat melihat kejamnya Hitler, betapa dahsyatnya kerusakan yang dibuat oleh bom Hiroshima-Nagasaki, betapa kejamnya seorang pembeli budak.

Dan betapa memilukannya tangis gadis manis penenun kain.

Dia telah mendengar kabar bahwa pangeran meninggal. Tanpa alasan yang aku ketahui karena Rangda pun belum pernah bertemu dengan sang pangeran.

Tetapi hati kecilnya terus yakin, bahwa pangeran adalah jodoh yang telah digariskan untuknya.

Kau lihat, Rangda bukanlah gadis biasa. Dia tidak bisa marah dan membentak kedua orang tuanya. Dia tidak bisa marah dan menyalahkan Tuhan atas bencana yang telah diberikan padanya. Dia tidak bisa marah dan membanting semua yang ada di sekitarnya. Tidak. Dia terlalu manis, terlalu baik, terlalu lembut untuk itu.

Lalu, dia segera lari ke alat tenunnya, lalu mulai menenun.

Dan terus menenun.

Hingga dia tua, bungkuk, dan lupa rasanya sentuhan lembut sinar matahari di kulitnya.

Apa kau ingat, tentang suatu hal yang kerap membingungkanku?

Bagaimana bisa cinta, yang tidak dapat kau lihat, tidak dapat kau sentuh, dapat membutakanmu?

Ini adalah salah satu contohnya.

Dibutakan oleh kepahitan cinta, sehingga ia lupa bahwa masih ada pria lain, yang dapat membahagiakannya. Dibutakan oleh kepahitan cinta, sehingga ia lupa rasanya sentuhan matahari di kulitnya yang keemasan, seperti madu. Dan itu menyakitkan hatiku.

Ketika aku tanya kematian mengapa ia tidak mengambil nyawanya, ia hanya menjawab:

“Belum saatnya.”