Orok, Tari yang nilainya lebih tinggi dari tari tradisional yang lain

0
3753

Tari Orok menurut suku Maybrat, suku Sawiat, suku Tehit adalah tari yang nilainya lebih tinggi dari tari tradisional yang lain. Tari ini termasuk tari pokok yang terdiri dari tari Srar, tari Orok, tari Baren, tari Sarawa. Ada banyak tari bagi masyarakat asli yang mendiami kabupaten Sorong ada tari untuk perkawinan, penyambutan tamu, kematian, membangun rumah berkebun, maskawin dll.

Orok  merupakan salah satu nyanyian dan tarian tradisional milik sukubangsa Tehit yang tinggal di distrik Sawiat. Tarian dan nyanyian orok telah lama hidup dan berkembang dalam budaya sukubangsa Tehit yang tinggal di distrik Sawiat. Syair lagu dalam tarian orok, berisikan pujian atau mazmur. Berdasarkan Informasi di lapangan nyanyian orok diciptakan oleh moyang yang bernama “Semit Bolo Majefak.  Lagu-lagu orok yang diciptakan atau disyairkan oleh moyang semit, biasanya terinspirasi dari keadaan dan kondisi alam pada saat itu, misalnya kicauan burung di pagi hari, fajar di pagi hari, dan lain-lain.

Orok hanya khusus dibawakan pada saat pendidikan adat wuon atau wofle saja.  Selain menciptakan lagu, pada  saat ia menyanyikan lagu orok, ada beberapa anak-anak yang ia latih menghentakan kaki atau menarikan orok, sesuai dengan irama lagu yang ia nyanyikan.  Pada saat pendidikan wuon, moyang semit menyanyikan lagu orok, sambil beberapa orang anak yang telah berlatih, mulai menarikan tarian orok. Mulai saat ini, apabila lagu orok dinyanyikan, biasanya disertai dengan adanya gerakkan hentakan  kaki yang mengiringi nyanyian ini, lama-kelamaan menjadi suatu bentuk tarian orok.  Jadi “orok” adalah nama dari tarian  tradisional, sedangkan “worok” mengandung arti atau merujuk pada para penari yang sedang menari orok yang kadang-kadang melakukan koor pendek.

Berdasarkan informasi masyarakat tarian orok hanya dibawakan/ditarikan pada saat penerimaan/masuknya siswa, pertengahan pendidikan, dan penyambutan/pelantikan serta penyerahan peserta didik  ke orang tuanya. Pada masa Belanda dan masuknya injil ke Tanah Tehit, pendidikan adat wofle/wuon masih berlangsung, sehingga tarian orok masih dipentaskan.  Pendidikan adat wofle/woun terakhir dilaksanakan sekitar tahun 1965-1966, yang menjadi maha guru.

Dengan berkurang dan semakin hilangnya pendidikan adat Wuon, maka mengakibatkan terjadinya pergeseran dalam syair yang biasa dinyanyikan dalam tarian orok.  Kalau dulu tarian atau nyanyian orok  biasanya berisi syair tentang puji-pujian terhadap alam, terhadap roh nenek moyang, terhadap gunung yang dianggap mendatangkan  berkat, terhadap gunung yang dianggap membawa kain timur, kepada Yang Maha Kuasa, kenapa burung–burung pindah tempat, proses pendidikan wuon, kemampuan dan kehebatan seorang maha guru dalam melaksanakan pendidikan wuon, panglima perang dalam memimpin pasukan dalam perang hongi dan berhasil mengalahkan musuhnya, maupun syair-syair yang berisikan asal-usul, dari dusun/kampung dan kejadian-kejadian yang pernah terjadi ditempat-tampat yang dianggap keramat.

Pada masa sekarang, syair, dan tarian orok masih ditarikkan namun tidak terlalu di kembangkan. Saat ini tarian orok masih ditarikan, tetapi tidak begitu dikembangkan. Syair-syair yang terdapat dalam nyanyian orok, di masa sekarang berisikan tentang nasehat dalam membangun rumah tangga, politik, ekonomi, syukur atas proses perkawinan, dan pembayaran mas kawin dan lain-lain. Sedangkan tarian orok dibawakan pada saat adanya pesta adat, pernikahan, dan penyambutan tamu, namun itu semua tergantung dari permintaan pemerintah daerah dan permintaan dari pihak-pihak yang punya acara.

Dalam tarian tradisional sukubangsa Tehit yang bermukim di distrik Sawiat, terdapat tiga jenis tarian yaitu orok, dirkehen, dan say kohok. Di mana dalam mementaskan tarian-tarian ini tidak ada alat musik yang mengiringinya, hal ini yang membedakan dengan tarian tradisional lainnya yang terdapat dalam kehidupan budaya dari sukubangsa-sukubangsa lain yang terdapat di tanah Papua. Tari tradisional sukubangsa Tehit dari dulu sampai sekarang hanya mengandalkan suara atau irama lagu atau nyanyian yang dilantunkan, oleh pemimpin tarian, dimana  kadangkala akan dibalas oleh peserta lainnya atau penari lainnya.

Ketiga jenis tarian tradisional di atas selain dibedakan berdasarkan syair lagu, juga dapat dibedakan berdasarkan waktu ditarikan dan irama hentakan kaki yang terdapat dalam tarian tradisional tersebut, seperti tarian orok dimasa lampau biasanya ditarikan pada saat pendidikan adat wofle, tarian dirkehen biasanya ditarikan pada saat peresmian rumah adat kehen, sedangkan tarian  say kohok biasanya ditarikan pada saat pembayaran mas kawin, pada rumah adat yang disebut mbol/bol kehen. Sedangkan tarian Jihor/tihor biasanya ditarikan pada lapangan terbuka yang disebut sneek, tarian ini modelnya sama dengan tarian orok namun irama hentakan kakinya agak sedikit halus.

Pendidikan adat wuon sendiri terdiri  dari 2 jenis yaitu wuon tali yang berlangsung selama 6 bulan,  waktu pendidikan hanya pada siang hari saja, dan wuon amik atau amuk, yang berlangsung selama 9 bulan sampai 1 tahun, waktu pendidikan pada siang dan malam hari. Pendidikan wuon amik atau amuk merupakan pendidikan won yang sangat berat

Dalam pendidikan adat ini, sukubangsa Tehit  percaya bahwa terdapat  konsep “candi atau segitiga antara alam kosmologi dengan alam nyata”.  Hal ini menjadikan pendidikan adat wuon menjadi sangat sakral, dimana secara tidak langsung membuat tarian orok, pada saat ini menjadi sangat sakral, sehingga tidak bisa sembarangan orang dapat menarikan tarian ini, hanya para orang tua, dan kerabat dari siswa, serta mereka yeng telah dewasa di mana telah lulus pendidikan adat wofle/won.  Kecuali setelah pendidikan adat wuon selesai dilaksanakan, di mana akan ditarikan tarian orok, pada saat ini semua warga dapat menarikan tarian orok, sebagai luapan syukur dan sukacita atas pentahbisan anak-anak laki-laki yang telah tamat pendidikan wuon dari kampung tersebut.

Selain itu, pada saat mengikuti pendidikan adat wuon, setelah pembasuhan dan pemberian air untuk diminum, biasanya para guru akan memberikan nama samaran untuk memanggil siswa, karena adanya kepercayaan bahwa apabila memanggil nama asli bisa mengakibatkan siswa yang dipanggil tersebut mengalami hal-hal yang kurang baik selama pendidikan adat wuon.

Makna-makna yang terdapat dalam tarian tradisional sukubangsa Tehit secara garis besar terdiri dari; makna estetis, makna keuletan, makna pembagian tugas antar suami dan isteri, makna keperkasaan, makna religious, makna ekonomi, makna sosial, dan makna etika. Adapun fungsi dari makna-makna tersebut sebagai berikut:

– Makna estetis memiliki fungsi sebagai pengingat bahwa apa yang telah diciptakan dan dimiliki oleh sukubangsa Tehit  sangat indah dan perlu untuk di jaga  kelestariannya, sehingga dapat terus di nikmati dan dirasakan.

– Makna identitas, memiliki fungsi sebagai pengingat akan jati diri sukubangsa Tehit, sehingga mereka harus memiliki kebanggaan sebagai sukubangsa Tehit dan berani dalam melakukan hal-hal yang baik untuk mengangkat jati diri mereka.

– Makna keuletan memiliki fungsi sebagai pemacu bahwa untuk menghasilkan segala sesuatu perlu usaha sehingga sukubangsa Tehit harus lebih giat tidak hanya terlena dengan kekayaan alam yang ada, sehingga kekayaan alam itu memiliki nilai tambah.

– Makna keperkasaan dan kegigihan memiliki fungsi sebagai daya semangat atau cambuk yang dapat memacu  kaum lelaki sukubangsa Tehit, untuk lebih giat berusaha, didalam memenuhi kebutuhan akan hidupnya sendiri, keluarganya, dan masyarakatnya serta daerahnya.

– Makna keberanian dan ketegasan, memiliki fungsi sebagai daya pemacu bagi orang Tehit khususnya laki-lakinya, agar dalam hidup ini harus berani mengambil sikap, berani menjadi orang yang jujur, memiliki sikap yang tegas didalam bersikap serta berani untuk bertanggung jawab semua akibat dari perbuatannya. Serta berani membela kehormatan daerahnya, kehormatan keluarga dan para leluhurnya.

– Makna religious memiliki fungsi pengingat bahwa kehidupan manusia ada yang mengatur, sehingga manusia harus menjalin hubungan baik dengan Yang Maha Kuasa.  Selain itu, manusia tidak boleh melupakan hubungannya dengan para leluhur, karena para leluhur merupakan jembatan antara manusia dengan yang maha kuasa.  Dengan adanya makna religious ini manusia, bukan saja membangun hubungan baik dengan Yang Mahakuasa namun  juga membangun hubungan baik dengan sesamanya.

– Makna ekonomi memiliki fungsi, sebagai pengingat betapa kayanya lingkungan alam tempat tinggal sukubangsa Tehit, yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia Tehit. Sehingga lingkungan alam tersebut harus dijaga kelestariannya, supaya dapat terus dimanfaatkan, tidak dipergunakan secara sembarangan.  Serta sebagai pedoman didalam memanfaatkan dan mengelola lingkungan alamnya serta harta kekayaan milik mereka, agar terus tetap dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup sukubangsa Tehit.

– Makna sosial memiliki fungsi untuk menjaga, dan membina tali persaudaraan. Sebagai pedoman didalam membangun hubungan dengan sesama mereka, dengan sukubangsa Tehit lainnya, maupun dengan orang luar.

– Makna etika memiliki fungsi menjaga hubungan baik, saling menghargai, saling menghormati serta mendukung dan memelihara tali persaudaraan yang ada. Dalam menjalin komunikasi dan hubungan dengan sesama sukubangsa Tehit, terdapat seperangkat aturan atau tatakrama, yang harus diingat dan dilaksanakan, sehingga hubungan baik yang telah ada tetap terpelihara dan terjaga.

– Fungsi dari makna ketertiban dan mempertegas pembagian tugas suami isteri, sebagai pedoman atau penuntun bahwa dalam rumah tangga telah ada aturan yang jelas tentang peranan dari suami dan isteri. Sehingga mereka harus menyadari dan menghormati tugas dan peranan dari masing-masing.  Selain itu, juga sebagai pedoman dalam bersikap dan memperlakukan isteri maupun suami, sehingga rumah tangga tetap harmonis dan bahagia.

Keterangan

Tahun :2019

Nomor Registrasi :201901086

Nama Karya Budaya : Orok

Provinsi :Papua Barat

Domain :Seni Pertunjukan

Sumber: Website Warisan Budaya Takbenda