Nirok Nangok

0
799

Keberadaan Indonesia di zona tropis menyebabkan lahirnya dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan menjadi musim penyedia sumber air yang teramat sangat dibutuhkan manusia dan seringkali dianggap sebagai sumber kehidupan. Sedangkan musim kemarau, dianggap kebalikannya, karenanya manusia akan sangat kesulitan jika ketersediaan air sangat terbatas, terutama ketika kemarau panjang.

Dalam menyikapi kedua musim tersebut Melayu Belitong memiliki dua sudut pandang yang berbeda, jika hujan—sesuai dengan anjuran Islam—dipandang sebagai sebuah rahmat, sedangkan kemarau adalah sebagai ujian. Namun, curah hujan yang berlebih dapat saja menimbulkan bencana seperti banjir yang perlu diantisipasi dengan melestarikan alam khususnya alam sebagai sumber resapan hujan. Di samping itu, kemarau tidak selamanya memberi efek buruk kepada manusia. Ritus yang didalamnya pengetahuan tradisional yang mempengaruhi sikap adaptif masyarakat dalam alamnya, dalam hal ini akan diuraikan melalui Ritus Nirok Nanggok.

Keberadaan Nirok Nanggok tidak dapat diidentifikasi kapan ia mulai ada, akan tetapi berdasarkan keterangan dari sejumlah informan, dapat dipastikan usianya lebih dari 100 tahun. Munculnya ritus ini berkaitan dengan pola okupasi masyarakat berupa berladang (Beume Taun) yang sangat bergantung pada alam. Begitupula dengan sungai selain berfungsi untuk kesuburan tanaman, kebutuhan sehari-hari juga sebagai penghasil sumber bahan masakan berupa ikan dan udang.

Pada masa berladang, di sela aktivitasnya menanam padi sebagai sumber makanan utama atau aneka tanaman untuk bumbu masakan seperti cabe, serai, kunyit dan liak (jahe), mereka juga menangkap ikan menggunakan Tirok menyerupai tombak serta Tanggok (tangguk). Penggunaan kedua alat tangkap ini kemudian mempengaruhi nama dalam ritus ini, yaitu Nirok Nanggok.

Eksistensi Nirok Nanggok sebagai sebuah ritus, ditandai dengan pelaksanannya yang dilakukan beramai-ramai oleh masyarakat, terdapat prosesi adat berupa ritual, serta fungsi sosial budaya yang demikian kental. Namun, dalam kondisi keseharian Nirok dapat dilakukan oleh dua atau tiga orang saja, sedangkan Nanggok biasa juga hanya dilaksanakan oleh satu atau dua orang, sehingga berbeda prosesinya, tidak terdapat prosesi adat yang ketat, hanya saja setiap orang wajib untuk menaati aturan adat terutama mengenai tempat dibolehkan secara adat dan menjaga kelestariannya.

Sehingga, menelisik secara mendalam mengenai Nirok Nanggok menjadi sangat menarik, terutama ketika berhadapan perhatian masyarakat terhadap kelestarian alam. Selain itu semangat persatuan yang semakin hari semakin pudar, yang dalam hal ini ritus berpotensi sebagai media pemersatu, terutama menyatukan visi mengenai pentingnya alam bagi mereka dan penting untuk merawatnya.

Keberadaan upacara adat ini tersebar hampir di seluruh desa yang memiliki sungai. Namun, dalam kajian ini penelitian difokuskan pada desa Lintang, Kecamatan Simpang Renggiang. Hal ini dilatarbelakangi oleh karakteristik ritus yang tidak hanya menitikberatkan pada ritual akan tetapi makna-makna sosial dan kelestarian alam yang dibungkus oleh adat istiadat. Dua hal yang menjadi titik tekannya yaitu, kepemimpinan tradisional serta peran adat istiadat yang memainkan peran mengekalkan kelestarian alam.

 

Keterangan

Tahun :2019

Nomor Registrasi :201900872

Nama Karya Budaya :Nirok Nangok

Provinsi :Kepulauan Bangka Belitung

Domain :Tradisi dan Ekspresi Lisan

Sumber: Website Warisan Budaya Takbenda

Sumber Foto: https://www.tribunnews.com