Ni Ketut Arini

0
4506

DSC_2664
“Sejak kecil saya selalu bermimpi menjadi penari dan sudah berperan sebagai asisten guru tari dari Paman saya, seorang guru sekaligus penari terkenal Wayan Rindi,” begitu Arini menceritakan cita-citanya sejak kecil. Kini ia dapat dikatakan sebagai maestro dalam tari klasik Bali. Penampilannya yang sederhana, hangat, dan terbuka adalah kesan pertama yang menunjukkan kebersahajaan sekaligus merupakan aura yang terpancar dari seorang Arini.

Ni Ketut Arini, tak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan seni tari Indonesia, karena perannya sangat signifikan dalam melestarikan sekaligus mempromosikan Tari Bali ke dunia internasional. Sejak tahun 1965-an Arini aktif melakukan diplomasi budaya melalui seni tari keluar negeri. Arini juga memiliki komitmen dalam menghidupkan kembali beberapa tarian klasik Bali yang hampir punah, antara lain tarian Condong dan tari Legong. Jiwa mengajar Arini yang telah tumbuh sejak usia dini kian kokoh seiring dengan kepiawaiannya menguasai tari Bali klasik yang ikut memperkokoh sosok Arini sebagai salah satu maestro seni tari Bali Klasik.

Ni Ketut Arini lahir di Denpasar, Bali, 15 Maret 1943. Ia lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga seniman. Ayahnya, I Wayan Saplug, adalah guru penabuh gamelan, sementara pamannya merupakan penari sekaligus guru terkenal di Bali pada tahun 1930-an, yaitu Wayan Rindi dan juga I Wayan Pogog, penabuh gendang. Ketiga anggota keluarga tersebut membentuk grup tari yang sering mengisi acara pementasan di puri-puri keraton dan berbagai desa. Sejak kecil Arini sudah sangat senang melihat pertunjukan yang dibawakan keluarganya tersebut dan selalu memperhatikan pamannya saat menari dan mengajar.

Sejak usia dini Arini sudah terlibat dalam pertunjukan tari dan sering membantu pamannya mengajar, sehingga kesenian sudah mendarah daging sejak kecil. Menjadi penari adalah keinginan Arini sejak kecil, sehingga ketika mendapat kesempatan menari ketika kelas 3 Sekolah Dasar, tentunya Arini senang luar biasa. Itulah momen berharga yang tak terlupakan, terlebih yang dibawakannya adalah Tarian Condong.

Prestasi yang membanggakan dicapai Arini, pada tahun 1957, ia terpilih menjadi “Sang Hyang Dedari” di Banjar Pande, Desa Sumerta Kaja (Denpasar, Bali) dan sejak itu ia resmi menjadi penari Bali. Menjadi “Sang Hyang Dedari” sangat dihormati dan dianggap sakral dan bukan hal mudah untuk mencapainya karena harus memiliki kompetensi dan perilaku yang baik.

Debut Arini sebagai penari profesional juga tak dapat dipisahkan dari guru tari yang sangat dihormati, yaitu I Nyoman Kaler yang banyak memberi dorongan kepada Arini; dan Nyoman Kaler pulalah yang meminta Arini untuk menjadi pengajar tari pada usia dini karena dinilainya memiliki kemampuan dalam hal tersebut. Guna memperdalam seni tari secara akademis, Arini mendaftar di sekolah Konservatori Karawitan (Kokar), Bali. Kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia(STSI) Denpasar. Di sekolah ini, ia mempelajari teknik tari Bali secara teoretis dan praktik sebagai disiplin studi dan ekspresi seni, sehingga pemikiran-pemikirannya mengenai tari Bali semakin berkembang.

Merasa memiliki tanggung jawab moral agar seni tari Bali dapat terus diturunkan kepada generasi muda, maka pada tahun 1973, Arini mendirikan sanggar tari bali yang diberi nama Sanggar Tari Warini. Bagi Arini mengajarkan tarian bali kepada generasi muda bukan sekadar penguasaan teknik semata, namun juga bagaimana menanamkan nilai-nilai kecintaan generasi muda terhadap seni adi luhung. Arini memiliki strategi agar tari klasik Bali tetap dipelajari generasi muda, yaitu menggunakan gamelan dan gong sebagai pengiring gerakan. Ia tak memakai hitungan untuk setiap gerakan yang dilakukan, Dengan iringan gamelan, anak-anak merasa sudah menari dan itu membuat mereka bersemangat.‬‬ Menyikapi perkembangan globalisasi, Arini juga tidak menutup mata dan memberi kesempatan kepada murid-muridnya untuk mempelajari tarian bali modern, namun dengan syarat harus menguasai tarian klasik lebih dahulu. Sanggar Tari Warini setiap tahun meluluskan sekitar 100 siswa tari yang saat ini sudah tersebar di seluruh Indonesia bahkan mancanegara. ‬‬

Selain berperan aktif dalam pendidikan nonformal yaitu sanggar, Arini juga memiliki dedikasi dan komitmen dalam pendidikan formal. Hal tersebut dibuktikan ketika ia membuat buku Teknik Tari Bali yang dijadikan buku pegangan baik bagi mahasiswa maupun masyarakat. Pada tahun 2014, bersama salah seorang muridnya dari Amerika Serikat, Rucina Balinger, mengangkat kembali karya gurunya, I Nyoman Kaler, antara lain tari Panji Semirang, Mregapati, Wiranata, Demang Miring, Candrametu, Puspawarna, Bayan Nginte, Kupu-kupu Tarum, dan Legong Kebyar. Legong Kebyar sendiri pernah terkenal di Bali, lalu hilang karena tak ada yang menarikannya. Keberadaan dan keindahan tarian-tarian itu hanya diceritakan di buku-buku. Oleh karena itu, untuk “menikmati kembali” karya-karya itu mereka kemudian menggali lagi karya I Wayan Kaler melalui penyelenggaraan simposium dan pementasan yang ditarikan oleh tiga generasi penari (lanjut usia, dewasa, dan remaja). Kemudian pada tahun 2010, mendokumentasikan enam tari Legong yang dikuasainya untuk arsip Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar dan menjadi bahan ajar bagi mahasiswa tari.

Sebagai penari dan koreografer yang lahir dan dibesarkan dalam kultur masyarakat Bali yang sangat kental, Arini paham betul perkembangan seni tari Bali di tanah kelahirannya, sehingga ia menyampaikan protes ketika Malaysia menggunakan Tari Pendet sebagai media promosi pariwisatanya. Keinginan Arini sebagai penari profesional kini sudah terwujud berkat bimbingan para guru terbaiknya. Kini usia Arini genap 72 tahun, namun ia bertekad akan terus menari dan melestarikan seni tari Bali Klasik. Menjadi sang Maestro Seni Tari Bali Klasik seolah merupakan kehendak sejarah karena ia ditakdirkan menjadi perpanjangan tangan para leluhur untuk melestarikan dan membesarkan tradisi klasik Bali. Arini merasa apa yang telah diraih saat ini merupakan pengabdian semata, sehingga penghargaan yang diterima dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai tokoh pelestari merupakan anugerah dari Yang Maha Kuasa.