Nguras Enceh (1)

0
1691

Enceh dalam bahasa Indonesia berarti tempayan, Enceh ini merupakan benda yang terbuat dari tanah liat, yang berukuran sangat besar bisaanya digunakan untuk tempat menyimpan air untuk memasak maupun berwudlu, serta juga sering digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga pada jaman dahulu. Mneurut sejarahnya, Enceh yang terdapat di makam raja-raja Imogiri ini bukan sembarang enceh, enceh ini dahulu pada zaman Sultan Agung digunakan untuk berwudlu. Enceh ini merupakan cinderamata dari kerajaan-kerajaan sahabat Sultan Agung, Enceh yang dahulunya digunakan sebagai tempat wudlu Sultan Agung dan keluarganya tersebut kemudian diboyong ke makam raja-raja Imogiri setelah Sultan Agung magkat, hal ini karena enceh tersebut merupakan salah satu kesayangan Sultan Agung sehingga tempat penyimpanannya pun harus didekatkan di pusaran Sultan Agung. Adapun barang-barang yang ikut diboyong kemakam imogiri setelah Sultan Agung mangkat yaitu genthong/enceh, cincin yang terbuat dari tongkat Sultan Agung, dan daun tujuh rupa (daun yang digunakan sebagai ramuan wedhang uwuh minuman khas Imogiri). Enceh yang diperoleh Sultan Agung tersebut berjumlah 4 buah, masing-masing diperoleh dari 4 kerajaan berbeda. dapat diketahui bahwa hubungan kerajaan Mataram tidak hanya terbatas di dalam bumi nusantara saja, namun hubungan kerjasama itu terjalin sampai ke luar negeri yaitu ke Thailand dan Turki yang jaraknya sangat jauh. Dapat diketahui pula bahwa empat genthong atau enceh tersebut didapat masing-masing satu buah untuk setiap kerajaan, dapat diambil kesimpulan bahwa dengan alasan Sultan Agung adalah seorang pemeluk agama Islam yang sangat taat beribadah, dan dimanapun beliau berada Sultan Agung tak akan melupakan Ibadahnya. Ini dilihat dari Imogiri, Kabupaten Bantul

permintaan cinderamata yang sama antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya yaitu sebuah genthong untuk berwudlu.

Enceh yang tersimpan di makam raja-raja Imogiri merupakan benda pusaka yang dianggap memiliki tuah karena memiliki sejarah yang amat panjang hingga bisa sampai ke makam raja-raja Imogiri sampai sekarang, karena sejarah inilah benda yang semula hanya dipakai oleh raja sebagai tempat wudlu pada akhirnya digunakan untuk menampung air yang dianggap bertuah. Pada zaman dahulu upacara tradisi nguras enceh hanya dilakukan oleh keluarga kerajaan saja, sehingga tidak sembarangan setiap orang boleh meminumnya. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa munculnya kepercayaan terhadap air enceh bermula dari keluarga keraton yang meminum air tersebut untuk menyembuhkan penyakit.

Pada saat itu hanya kalangan keraton saja yang mengetahui khasiat dari air tersebut, hingga pada akhirnya saat terjadinya serangan umum 1 Maret di Yogyakarata, Presiden Soekarno mengirimkan surat kepada Sri Sultan Hamengkubuwana IX agar prajurit TNI yang bertempur di Yogyakarta diperbolehkan untuk meminum air suci dari enceh itu. Sultan memperbolehkan para prajurit untuk meminum air tersebut. Usai meminum air enceh tersebut, kekuatan para prajurit bertambah sehingga dapat memenangkan pertempuran melawan Belanda. Dalam perkembangannya wujud dari pengabdian dan penghormatan kepada Sultan Agung menjadi sebuah upacara tradisi yang dilaksanakan oleh abdi dalem dan masyarakat Imogiri setiap tahunnya, yaitu setiap bulan Sura. Upacara tradisi nguras enceh di Makam raja-raja Imogiri merupakan wujud dari sebuah kepercayaan masyarakat atau wujud dari perilaku religius masyarakat terhadap rajanya yang dianggap mampu melindungi rakyatnya walaupun raja itu telah mangkat.

Pada Bulan Sura di Kecamatan Imogiri dilaksanakan upacara tradisi nguras enceh dan ngarak siwur yang merupakan satu rangkaian upacara tradisi besar karena diikuti oleh keluarga Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Surakarta Hadiningrat beserta perwakilan Abdi dalem dan prajurit kedua keraton tersebut dan Jajaran pemerintahan Kabupaten Bantul, Kecamatan Imogiri dan semua perangkat Desa se-kecamatan Imogiri, abdi dalem juru kunci makam raja-raja. Imogiri dengan didukung oleh para pecinta budaya (FORCIBB) serta masyarakat Imogiri.

Upacara tradisi nguras enceh atau bisa disebut nawu kong dilaksanakan setiap hari Selasa atau Jum’at Kliwon yang ada dibulan sura tersebut. Pemerintah kecamatan Imogiri dalam menyambut Nguras Enceh mengadakan berbagai festival kesenian dan budaya untuk menyambut upacara tradisi nguras enceh seperti mengadakan lomba gunungan yang wajib diikuti oleh setiap desa di Kecamatan Imogiri, gunungan tersebut diarak dalam festival kirab budaya “ngarak siwur” yaitu alat yang digunakan untuk menguras enceh dalam tradisi nguras enceh di makam raja-raja Imogiri. Dalam festival yang diadakan oleh pemerintah kecamatan Imogiri dalam menyambut upacara nguras enceh terdapat juga pentas seni tradisional seperti kuda lumping (jathilan), dan kethoprak.