Ngaro Banjar Medura Intaran Sanur, Istilah ngaro secara etimologi kata “karo”

0
2193

1. Asal Usul Upacara Ngaro Banjar Medura Intaran Sanur

Istilah Ngaro secara etimologi kata “Karo” yang artinya bulan kedua berdasarkan kalender Bali. Kata “karo” mengalami proses nasalisasi atau N + karo sehingga berubah menjadi Ngaro yang artinya suatu upacara yang dilaksanakan pada bulan kedua berdasarkan kalender Bali. Berdasarkan transkrip Lontar Purwa Wangsa Arya Madura disebutkan bahwa upacara Ngaro pada awalnya dilaksanakan di Jawa-Madura oleh Arya Madura (Arya Kuda Pinolih) pada Purnamaning Sasih Karo. Tradisi ini bererlanjut sampai ke Bali yang erat kaitannya dengan sejarah perjalanan Arya Kuda Pinolih dari Jawa-Madura ke Bali. Keturunan Arya Madura di Banjar Medura Intaran Sanur, dulu setiap Purnamaning Sasih Karo melaksanakan upacara Ngaro tersebut, tetapi dalam perkembangannya upacara Ngaro mengalami perubahan dan pergeseran waktu pelaksaaannya dari Purnamaning Sasih Karo ke Purnamaning Sasih Kapat. Perubahan waktu tersebut dilakukan karena terjadi persoalan teknis ketika prosesi upacara Ngaro ini dilaksanakan pada tengah malam di tengah laut dulu sering terhalang, karena pada Sasih Karo air laut sedang pasang.

Selanjutnya mengenai sejarah munculnya Upacara Ngaro yang dilaksanakan oleh masyarakat Banjar Medura Desa Pakraman Intaran dapat ditelisik melalui kutipan transkrip lontar Purwa Wangsa Arya Medura dan geguritan Babad Arya Medura. Walaupun kedua sumber ini tidak berbicara khusus tentang riwayat pelaksanaan upacara Ngaro untuk pertama kalinya. Kedua lontar ini lebih banyak meriwayatkan perjalanan Arya Kuda Pinolih yang menjadi cikal bakal keturunan Arya Medura di Banjar Medura Desa Pakraman Intaran Desa Sanur Kauh dan warga Arya Medura lainnya yang tersebar diseluruh Bali. Jadi riwayat upacara Ngaro berikut ini hanya berdasarkan transkrip lontar Purwa Wangsa Arya Medura, geguritan Babad Arya Medura dan beberapa cerita oral dari masyarakat.

Berdasarkan lontar Purwa Wangsa Arya Medura, dinyatakan setelah meninggalnya Adipati Medura yaitu Arya Wiraraja, pemerintahan dipegang oleh anaknya yang bernama Arya Kuda Pinolih. Beliaulah menjadi Adipati Medura, dengan pusat kerajaan di sumenep. Pada jaman pemerintahan Arya Kuda Pinolih di Medura, beliau pernah menyelenggarakan suatu upacara Pitra Yadnya yaitu upacara penebusan dosa arwah leluhurnya dimasa lampau yang dilaksanakan pada sasih karo (sekitar bulan juli-Agustus), maka upacara ini dinamakan upacara Ngaro. Arya Kuda Pinolih mengundang raja-raja yang ada di wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit seperti raja Cina, Raja Palembang, Raja Banten, Raja Pasuruan, Raja Bali dan Raja Makasar. Raja Bali pada waktu itu adalah Dalem Ketut Sri Semara Kepakisan hadir menyaksikan upacara tersebut dan setelah upacara Ngaro selesai dilaksanakan, Raja Bali berbincang-bincang dengan Arya Kuda Pinolih yang isinya mengenai keinginan Raja Bali untuk melaksanakan upacara Bhiseka Atitiwa Arjuna. Upacara Bhiseka Atitiwa Arjuna merupakan upacara yadnya yang dilaksanakan untuk menghormati dan mensucikan roh leluhur.

Dalem Ketut Sri Semara Kepakisan bermaksud mengudang Adipati Medura (Arya Kuda Pinolih) untuk menghadiri upacara Bhiseka Atitiwa Arjuna tersebut di Bali. Arya Kuda Pinolih dengan senang hati memenuhi permintaan Raja Bali. Dalem Ketut Sri Semara Kepakisan dengan hati yang sangat senang mengajak Arya Kuda Pinolih bersama-sama ke Bali dengan menaiki perahu. Perjalanan Dalem Bali dengan Arya Kuda Pinolih inilah menjadi awal terlaksananya upacara Ngaro di Banjar Medura Desa Pekraman Intaran Desa Sanur Kauh.

Geguritan Babad Arya Medura menceritakan hal kisah perjalanan Dalem Ketut Sri Semara Kepakisan denga Arya Kuda Pinolih beserta rombongan berangkat menuju Bali. perjalanan mereka mengarungi perairan laut Bali Selatan (sekitar pantai Canggu Krobokan), tiba-tiba keris Dalem Bali terpental jatuh ke dalam lautan dan Arya Kuda Pinolih dengan cekatan menceburkan diri ke dalam lautan untuk mencari keris yang terjatuh tersebut. Arya Kuda Pinolih merasa sedih ketika sekian lama keris tidak di ketemukan di kedalaman lautan yang berakibat pada janji keluar dari Arya Kuda Pinolih yang isinya dimana nantinya keris itu diketemukan, ditempat itu Arya Kuda Pinolih akan mendirikan Parahyangan/pura.

Berselang beberapa saat setelah janji itu diucapkan, datang seekor ikan kucul/cucul (sejenis ikan barakuda) menghampiri Arya Kuda Pinolih seraya mengantarnya ketempat keris itu berada, tepatnya di lautan disekitaran pantai Karang Intaran Sanur sekarang. Di perairan inilah Arya Kuda Pinolih menemukan seekor naga, yang kemudian ditarik sampai ke perairan laut Canggu yang dilihat oleh Raja Bali, naga itu disambut dengan mengacungkan warangka keris yang dibawanya, sontak naga tersebut berubah menjadi keris dan masuk ke warangkanya. Dalem Ketut Sri Semara Kepakisan kemudian memberi gelar keris tersebut Ki Bhagawan Canggu. Selanjutnnya Arya Kuda Pinolih mohon ijin kepada Dalem Ketut Sri Semara Kepakisan untuk mendirikan Parahyangan/pura di areal perairan pantai Karang Intaran Sanur, Raja Bali merestui permohonan Arya Kuda Pinolih dengan memberkahi sebuah pustaka yang bernama Dug Swamba (Ajian Siwa) dan cincin bermatakan mirah.

Arya Kuda Pinolih menaiki ikan Kokak (sejenis ikan Krapu) menuju perairan pantai Karang Intaran Sanur. Hutang budi Arya Kuda Pinolih pada kedua ikan tersebut, beliau mengeluarkan bhisama/kesepakatan, kelak keturunannya tidak akan mengkonsumsi ika kokak dan ikan cucul. Setibanya Arya Kuda pinolih di pantai Karang Intaran Sanur, Arya Kuda Pinolih mengeluarkan aji Tapa Lare yang merubah wujudnya menjadi seorang bayi. Bayi itu ditemukan oleh istri Ki Ngurah Pinatih yang sedang berada di tepi pantai Karang Intaran Sanur. Bayi itu dipungut dan diajak ke Kerthalangu (wilayah Kesiman sekarang) dan Ki Ngurah Pinatih sudah mengetahui siapa sebenarnya bayi tersebut, sembari berkata “wahai engkau Arya Kuda Pinolih janganlah engkau menyembunyikan dirimu, aku sudah tahu engkau adalah Adipati Medura yang bersamaku menemani Dalem Ketut Sri Semara Kepakisan satu perahu dari Medura ke Bali, kembalilah engkau pada jati dirimu yang sebenarnya”. Arya Kuda Pinolih kembali pada wujudnya semula dan menyampaikan keinginannya kepada Ki Ngurah Pinatih untuk membangun pura di segara/lautan dan di daratan wilayah Intaran Sanur yang bernama Pura Tengahing Segara dan Pura Medura Raja (letak Banjar Medura sekarang, Desa Pekraman Intaran Desa Sanur Kauh).

Setelah membangun pura di wilayah Intaran Sanur, Arya Kuda Pinolih menikah dengan anaknya Ki Gusti Kanca yang paling bungsu. Sebelum dikaruniai anak, beliau menyucikan diri (medwijati) pada hari Purnamaning Sasih Karo di Pura Tengahing Segara menjadi seorang Bhagawan dan sekaligus menetapkan hari piodalan di Pura Tengahing Segara pada Purnamaning Sasih Karo. Ketika putra-putrinya menginjak dewasa, Arya Kuda Pinolih (Arya Medura) memohon kepada Ki Ngurah Pinatih menjadi saksi dalam sebuah perjanjian yang dilakukan dengan anak-anak dan istrinya. Arya Kuda Pinolih bermaksud untuk kembali ke Medura Jawa, untuk melanjutkan kewajibannya menjadi Adipati Medura. Perjanjian tersebut isinya: “wahai istri dan anak-anakku demikian pula pertisentana/keturunanku kelak, kalian tidak boleh mengkonsumsi daging babi dan bahkan memeliharapun engkau tidak boleh, karena aku ayahmu berhutang budi dengan babi itu”.

Warga Arya Medura tidak boleh mengkonsumsi daging babi dan memelihara babi karena ada bhisama dari leluhurnya (Arya Kuda Pinolih), pada saat melakukan semedhi di Gunung Kembar (Gunung Lempuyang) dilindungi oleh seekor babi sehingga tapanya tidak diganggu oleh binatang buas. Babi tersebut sangat setia menemani Arya Kuda Pinolih dalam mejalankan semedhinya, hal hasil mendapatkan wahyu untuk mendirikan puri (tempat tinggal) dan mendirikan parahyangan (pura) di tepi daerah rawa-rawa, yang sekarang tempat itu bernama Pura Dalem Kembar (Pura Dalem Kembar Medura) di Banjar Medura Desa Pekraman Intaran Desa Sanur Kauh. Kesemuanya itu meyebabkan keturunan Arya Medura tidak akan menyakiti dan memelihara babi sampai keturunanya kelak (Wawancara, I Wayan Kalut, Pemanku Gede Pura Dalem Kembar Medura).

Babad Purwa Wangsa Arya Medura juga menyebutkan bahwa Arya Medura (Arya Kuda Pinolih) berpesan kepada keturunannya agar melaksanakan upacara pemujaan  terhadap leluhur di tempat pemujaan yang beliau buat, serta membawa sarana pemujaan berupa Siwa Upakarana sebagai salah satu penentu berhasilnya ritual yang dilaksanakan, karena Siwa Upakarana itu sebagai simbol/perwakilan dirinya sudah muput/memimpin upacara yadnya yang dilaksanakan. Didirikannya Pura Tengahing Segara dan Pura Dalem Kembar (Dalem Medura), maka keturunan Arya Kuda Pinolih (Arya Medura) yang menyebar di Bali melaksanakan upacara yang dinamakan upacara Ngaro di Banjar Medura Intaran Sanur.

 

2. Bentuk dan Proses Upacara Ngaro Banjar Medura Intaran Sanur

Upacara Ngaro dilihat dari bentuknya terbangun dari tiga tahapan rangkaian pelaksanaan upacara, yang diawali dengan upacara Ngentenin dilanjutkan dengan upacara Ngaro (inti upacara) dan diakhiri dengan upacara Ngaturang Hidangan.

a. Upacara Ngentenin

Upacara Ngentenin dilaksanakan satu bulan sebelum pelaksanaan upacara puncak yaitu upacara Ngaro, tepatnya pada hari Purnamaning Sasih Ketiga. Upacara Ngentenin ini tidak melibatkan seluruh masyarakat, tetapi hanya beberapa orang saja seperti Pemangku dan Serati Banten. Upacara ngentenin ini bertujuan untuk memohon kehadapan Dewa Baruna (Ratu Tengahing Segara) sebagai Dewa penguasa lautan supaya saat melaksanakan upacara Ngaro air laut tidak begitu besar sehingga masyarakat Banjar Medura dapat melaksanakan upacara Ngaro dengan baik dan tanpa ada hambatan.

b. Upacara Puncak (Ngaro)

Upacara Ngaro dilaksanakan setelah sebulan Upacara Ngentenin, tepatnya pada Purnamaning Sasih Kapat yang dimulai sekitar pukul 18.00 Wita (setelah matahari terbenam), dengan tujuan untuk menghindari segala sarana upacara yang dibuat terhinggap serangga/lalat. Hal tersebut disebabkan dengan adanya kepercayaan jika banten yang dibuat disentuh oleh serangga/lalat maka banten tersebut dianggap cuntaka dan tidak layak dipergunakan (tidak suci). Adapun prosesnya sebagai berikut.

– Sebelum dimulai upacara Ngaro diawali dengan upacara maprayascita, yaitu upacara pembersihan secara niskala (proses penyucian) dari segala hal kesebelan/kecuntakan.

– Menumbuk beras dan ketan dijadikan tepung yang akan dipergunakan dalam membuat jajan carca. Jajan carca terbuat dari tepung beras, ketan, gula Bali, kelapa dan rempah-rempah (mica selem dan tabia bun) dengan beralaskan/metatakan daun nangka yang berbentuk kojong.

– Membuat bubur merah dari tepung beras yang diisi gula Bali (gula merah), sedangkan bubur putih yang terbuat dari tepung beras yang diisi santan. Bubur merah dan bubur putih beralaskan/matatakan takir dari daun keraras (daun pisang yang sudah kering) diatasnya diisi sampian plaus dan base tubungan serta bunga jepun Bali berwarna merah dan putih.

– Membuat nasi putih-kuning yang beralaskan takir yang terbuat dari daun nangka.

– Metanding banten Ngaro yang bernama banten Puja. Banten puja ini terdiri dari 2 macam, yaitu banten Puja yang beralaskan/matatakan taledan busung (janur) dan banten Puja beralaskan/matatakan ron (daun enau), yang berisi buah-buahan yang diiris seperti nangka, nenas, semangka, mangga, jeruk Bali/jerungga, wani, ceroring, juwet, kepundung, delima, katilampa, tebu, pisang mas dan kaliasem. Dalam banten Puja juga diisi atau dilengkapi dengan jajan carca.

– Selesai membuat dan mempersiapkan upakara/bebantenan, maka sekitar pukul 20.00 Wita dilanjutkan dengan matur piuning ke pura Kahyangan Tiga Desa Pekraman Intaran, Pura Kahyangan Medura, Pura Dalem Mimba, Pura Pejang Sari, Pura Dalem Tungkub, Pura Prajapati, Griya Gede Dlod Pasar dan Sanggah Kemulan, Pengijeng Natah masing-masing warga ngarep. Banten yang dipersembahkan/dihaturkan dalam acara maturpiuning hanya berupa banten Puja yang beralaskan/matatakan taledan busung (janur).

– Pada pukul 23.30 Wita seluruh sentana Arya Medura (Arya Kuda Pinolih) penyungsung Pura Dalem Kembar Medura berkumpul dan mempersiapkan sarana upacara Ngaro seperti upakara, tedung/payung, kober/panji, dan perlengkapan upacara lainnya. Semua warga Arya Medura (Arya Kuda Pinolih) berangkat bergerak menuju Pura Tengahing Segara (pantai Karang Intaran Sanur) sebagai tempat berlangsungnya upacara Ngaro tanpa penerangan lampu. Dengan mengusung banten ajuman berbentuk lingga, Arca dan Siwa Upakarana yang disimpan dalam kotak. Warga Arya Medura (Arya Kuda Pinolih) berjalan dari Pura Dalem Kembar Medura Banjar Medura menelusuri batu karang dengan terumbu karang dan rerumputan di laut, yang pada saat air laut setinggi pinggang orang dewasa. Pada pukul 23.50 Wita sudah sampai di Pura Tengahing Segara.

– Pukul 00.00 Wita upacara Ngaro dimulai, warga duduk dengan khusuk memenuhi tempat upacara, para pemangku dan sadeg duduk paling depan dihadapan arca dan Siwa Upakarana yang sudah dikeluarkan dari kotaknya serta upakara Ngaro yang sudah ditata, seperti: banten Puja, banten ajuman/nasi ajuman dan banten gebogan.

– Pemangku mulai ngantebang banten yang dipimpin oleh Mangku Segara (Made Mawa), sedangkan Pemangku dan Sadeg yang lain sebagai pendamping/membantu Mangku segara.

– Selesai Mangku Segara ngantebang banten, dilanjutkan ngaturang Panca Sembah secara kolektif yang dipimpin oleh Mangku Segara dan dilanjutkan nunas tirta.

– Setelah nunas tirta, Mangku Segara melanjutkan upacara panuwuran/nyanjan dengan mengucapkan/mengujarkan sasontengan memohon/matur piuning supaya Ida Bhatara yang bersetana di Pura Dalem Tengahing Segara berkenan tedun/rauh melalui Sadeg/Tapakan yang Kelinggihan/kerauhan (trance).

– Sadeg/Tapakan (Sadeg Mayun) mulai kerauhan yang berarti Ida Bhatara sudah berkenan turun untuk menyaksikan dan muput upacara Ngaro tersebut. Pada saat Sadeg/Tapakan kerauhan, Pemangku pendamping mengambil atribut Siwa Upakarana (Selimpet, Ketu, Gnitri, Anting-anting) disematkan pada Tapakan/Sadeg yang kerauhan, Warga Arya Medura (Arya Kuda Pinolih) sangat meyakini, bahwa Bhatara Kawitan/Leluhur (Arya Kuda Pinolih) yang sudah Madwijati yang bergelar Bhagawan Tapa Lare, berkenan turun/rauh memimpin/muput upacara Ngaro dan merestui pretisentananya untuk memperoleh kesejahtraan, keharmonisan dan kebahagiaan lahir maupun batin. Dengan kembalinya kesadaran Sadeg/Tapakan yang kerauhan seperti semula atau ngaluhur, Ida Bhatara kembali ke Payogan.

– Setelah Ida Bhatara masineb, acara dilanjutkan menuju pura Parerepan (Pasraman Arya Kuda Pinolih). Di Pura Parerepan ini dilanjutkan dengan satu rangkaian kegiatan lagi yang ditunggu-tunggu oleh warga/sentana Arya Medura (Arya Kuda Pinolih) yaitu berebut banten ajuman/rayunan, karena mereka percaya jika dapat nunas rayunan tersebut akan mendapatkan berkah/rejeki, tanpa ada yang mengomando, mereka berusaha mendapatkan isi dari banten ajuman/rayunan tersebut. Mereka sangat gembira apabila sudah mendapatkan banten ajuman/rayunan tersebut, walaupun hanya sedikit yang mereka dapatkan.

– Dengan berakhirnya kegiatan rebutan banten ajuman/rayunan, maka berakhirlah puncak acara Ngaro tersebut. Sekitar pukul 03.00 Wita sebelum matahari terbit, warga mengusung Arca, Siwa Upakarana beserta atribut upacara lainnya kembali menuju Pura Dalem Kembar Medura/Pura Dalem Kembar di Banjar Medura Desa Pekraman Intaran Desa Sanur Kauh.

c. Upacara Ngaturang Hidangan

Upacara Ngaturang Hidangan ini merupakan rangkaian akhir dalam proses Upacara Ngaro yang dilaksanakan sebulan setelah pelaksanaan upacara Ngaro yakni tepatnya pada Purnamaning Sasih Kalima yang dilaksanakan di pesisir pantai Karang Intaran Sanur (tepatnya di depan Pura Tengahing Segara). Uapacara Ngaturang Hidangan ini diselenggarakan sebagai simbol ungkapan rasa terimakasih dan bentuk syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam maifestasi-Nya sebagai Dewa Baruna/Ratu Tangahing Segara atas terselenggaranya upacara Ngaro dengan baik dan lancer. Upacara Ngaturang Hidangan dilaksanakan pada pukul 17.00 Wita, dipimpin/dipuput oleh Pemangku Segara (Made Mawa). Adapun tahapan-tahapan adalah:

– Ngaturang pakeling ke Pura Tlaga Waja dan Pura Prajapati.

– Nuwur/nunas tirtha Dewa Baruna di Pura Tengahing Segara.

– Ngaturang Hidangan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Baruna, dipimpin/dipuput oleh Pemangku Segara didampngi Sadeg dan serati banten.

– Setelah Pemangku Segara ngantebang banten, dilanjutkan dengan sembahnyang bersama serta nunas tirtha.

– Ngaturang salaran ketengah lautan/segara.

– Setelah ngaturang salaran, masyarakat berebut banten ajuman/rayunan dengan suka cita.

 

3. Fungsi Upacara Ngaro Banjar Medura Intaran Sanur

Upacara Ngaro sudah menjadi tradisi yang masih terlaksana sampai saat ini, yang dilaksanakan oleh keturunan Arya Kuda Pinolih (Arya Medura) yang ada di Bali umumnya dan yang berada di Desa Pekraman Intaran Desa Sanur Kauh pada khususnya. Upacara Ngaro mengalami perunahan dan atau pergeseran hari pelaksanaan yang pada awalnya pada Purnamaning sasih Karo (bulan Juli-Agustus), sekarang dilaksanakan pada Purnamaning sasih kapat (bulan September-Oktober).

Upacara Ngaro dilaksanakan dengan tujuan berbhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Baruna/Dewa yang menguasai lautan dan diyakini bahwa di tengah lautan itu terdapat amerta, yang mendatangkan keharmonisan, kesejahtraan dan kemakmuran seperti yang tersirat dalam Adi Parwa, dengan memutar gunung Mandara Giri di tengah lautan susu untuk mendapatkan Amertha (air kehidupan).  Refresi itu juga memperkuat keyakinan warga Arya Medura untuk mendak tirta tengahing Segara ketika melaksanakan upacara Ngaro.

Teologi pemujaan kehadapan Dewa Baruna bagi masyarakat Banjar Medura dalam upacara Ngaro ini sangat melekat. Upacara Ngaro bagi keturunan Arya Medura (Arya Kuda Pinolih) merupakan ungkapan terimakasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena Beliau adalah sumber segala kebahagiaan hidup serta asal mula dari segalanya. Secara tidak langsung upacara Ngaro sebagai sarana untuk menjalin tali persaudaraan dan iteraksi diantara keturunan Arya Medura (Arya Kuda Pinolih), warga Desa Sanur Kauh dan sekitarnya beserta lingkungannya, guna mengucapkan rasa syukur dan terimakasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Haha Esa dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Baruna (Ratu Tengahing Segara) dengan harapan segala bencana dan konflik sosial tidak akan terjadi sehingga terwujud suatu keharmonisan, kerukunan, kemakmuran dan kesejahtraan lahir dan batin.

4. Makna dan Nilai Ngaro di Banjar Medura Intaran Sanur

Ngaro terlihat memiliki makna dan nilai terhadap kehidupan sosial, baik berhubungan dengan kehidupan keagamaan dan spiritual kesetiakawanan sosial, kelestarian lingkungan, dan lain sebagainya. Makna-makna tersebut dapat dipetik dari simbol-simbol yang disajikan oleh masyarakat dalam Ngaro di Banjar Medura Intaran Sanur sebagai berikut:

a. Banten Puja yang dipersembahkan dalam upacara Ngaro bermakna sebagai ungkapan rasa Bhakti yang tulus ikhlas dan penuh kesucian kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, untuk memohon anugrah;Nya agar warga Arya Medura (Arya Kuda Pinolih) dan leluhurnya mendapatkan keharmonisan dan kebahagiaan abadi.

b. Relegiusitas dari upacara Ngaro adalah melalui upacara Ngaro masyarakat Warga Arya Medura (Arya Kuda Pinolih) telah melaksanakan pemujaan atau menghubungkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Impersonal God) maupun (Personal God) yang disebut Sang Hyang Surya Raditya, Sang Hyang Baruna dan manifestasi lainnya.

c. Upacara Ngaro juga memiliki makna kesetiakawanan dan kebersamaan dilihat dari pelaksanaan dihadiri oleh warga Arya Medura (Arya Kuda Pinolih) yang berada di Banjar Medura Desa Pekraman Intaran Desa Sanur Kauh, mereka datang mempunyai tujuan yang sama yaitu memuja dan memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawa-Nya sebagai Sang Hyang Baruna untuk memperoleh kesejahtraan, keharmonisan dan kebahagiaan abadi bagi leluhurnya.

d. Pemaknaan Tri Hita Karana sangat kental terlihat dalam pelaksanaan upacara Ngaro di Desa Pekraman Intaran Desa Sanur Kauh. Kemarmonisan dan keserasian lingkungan sangan mempengaruhi kenyamanan, ketenangan dan konsentrasi umat dalam rangka mendekatkan atau menghubungkan diri dengan Tuhannya. Melalui keharmonisan hubungan manusia dengan lingkungan ini dapat meningkatkan Sradha Bhakti umat terhadap Ida Sang Hyang Widhi.

Konsep Tri Hita Karana betul-betul diimplementasikan dalam upacara Ngaro, yang pada akhirnya memberikan rasa aman, damai, sejahtra, harmonis bagi masyarakat warga Arya Medura (Arya Kuda Pinolih) dan keseimbangan Bhuwana Alit (microcosmos) dengan Bhuwana Agung (macrocosmos).

Keterangan

Tahun :2019

Nomor Registrasi :201901003

Nama Karya Budaya :Ngaro Banjar Medura Itaran Sanur

Provinsi :Bali

Domain :Adat istiadat masyrakat,Ritus,dan perayaan perayaan

Sumber: Website Warisan Budaya Takbenda