Musik Bia, Sulawesi Utara

0
2338

Musik Bia adalah musik tradisional yang nyaris punah. Hal tersebut memang dapat dimaklumi karena bahan baku alat musik ini yang semakin langka diperoleh seiring pengrusakan ekologi oleh karena ulah manusia. Awalnya, Bia atau kerang (dalam ukuran cukup besar dapat dipegang dengan kedua tangan manusia) digunakan manusia sebagai alat komunikasi yang digemakan (dibunyikan dengan cara meniup bia tersebut) dari suatu tempat tinggi di pesisir pantai (bukit atau di atas pohon kelapa). Orang Minahasa menyebutnya Pontuang. Di wilayah pedalaman Minahasa, pontuang digunakan oleh kelompok mapalus, yang dibunyikan pada pagi hari, sebagai tanda saatnya berangkat ke ladang. Dan sorenya, untuk menyatakan saat berakhirnya waktu bekerja pada hari itu. Bunyi yang dihasilkan ini menarik perhatian mereka sehingga dengan kemampuan atau bakat seni yang dimiliki dirancang dan dibuat menjadi alat musik. Musik Bia ini pada jaman dulu juga sering dipakai oleh Tarian Cakalele sebagai salah satu alat pengiring. Pengembangan musik Bia dapat dilihat sangat berkembang dan berlangsung pada masyarakat pesisir karena mengingat mereka lebih mudah mendapatkan bia dalam beraneka bentuk dan ukuran. Hal tersebut sangat nyata bisa dilihat pada masyarakat yang bermukim di Kecamatan Likupang dan Tanawangko yang mempunyai tradisi berkesenian musik bia yang diwarisi dari leluhur mereka, yang sampai saat ini orkes musik bia terus dikembangkan (dalam segi kualitas). Di tangan para seniman musik tradisional, musik bia ini dimodifikasi dengan cara memasukkan pipa ke dalam lokan (bia yang berukuran lebih kecil) sehingga rongganya berfungsi optimal untuk resonansi. Hasilnya, suara lebih jernih dengan kemerduannya yang khas alamiah. Dulunya semua alat musik bia hanya diberi 1 lobang tiup, namun kemudian berkembang hingga beberapa lobang agar bisa menghasilkan beberapa nada (umumnya hanya sampai 3 nada).