Muhammad De Putra: Ingin Menghadiahi Indonesia dengan Nobel sastra

0
1509

Muhammad De Putra menulis puisi sejak kelas III SD. Karyanya terbit di berbagai harian lokal dan nasional. Tujuh antologi puisinya terbit dalam buku bersama. Dua buku solonya tampil dengan judul Kepompong dalam Botol dan Hikayat Anak-anak Pendosa. Sementara kumpulan cerpen perdananya hadir lewat buku berjudul Timang Gadis Perindu Ayah Penanya Bulan.

Hingga kelas tiga SMP, enam kejuaran menulis puisi telah ia raih. Prestasi tertingginya hingga tahun 2016 adalah juara I lomba menulis puisi pada Lomba Cipta Seni Pelajar Nasional (2016). Adapun untuk penulisan cerpen, hingga tahun 2016, sudah empat perlombaan telah Ade raih, antara lain juara I lomba cipta cerpen pada Bulan Bahasa UIR Tingkat SMP Se-Indonesia (2016). Siswa kelas satu SMA yang bercita-cita meraih hadiah Nobel Sastra ini mengajak anak-anak Indonesia menggeluti puisi untuk memajukan perpuisian Indonesia di masa mendatang.

Kami belajar mengitung luka di tubuhmu, Pertiwi 

Pertiwi terimalah doa di tangan kami

Jangan menangis Indonesia

Dengan penuh penghayatan, Muhammad De Putra membacakan karyanya. Ibunda dan neneknya berkaca-kaca menyaksikan penampilan kesayangan mereka. Di temui di kediamannya, Muhammad yang akrab dipanggil Ade mengenakan pakaian Melayu berwarna kuning emas yang dijahit kakeknya.

Sambil menunjukkan buku puisi terbarunya, Hikayat Anak- anak Pendosa, Ade membuka perbincangan dengan mengenang saat pertama ia jatuh hati pada puisi. Ade masih duduk di kelas III SD saat ia berkenalan dengan pelayan rumah makan bernama Muhammad Askolanen NST. Saat itu, Askolanen adalah teman kerja ibunya yang bekerja sebagai juru masak di tempat yang sama. Perkenalan bermula ketika Askolanen—yang dipanggilnya Bang As oleh Ade— menunjukkan koran Riau Pos yang memuat puisi karyanya. Ade begitu takjub ada rekan ibunya yang karyanya bisa terbit di koran. Sejak itu, Ade berguru puisi pada Bang As yang juga sedang studi di sebuah universitas dan mendapat penghargaan sebagai pembaca puisi terpuji untuk tahun 2011.

Bang As mendorong Ade membaca karya-karya puisi bermutu. Hingga kelas III SD, Ade sebenarnya mengalami kesulitan membaca, tetapi ia berupaya untuk mengerti puisi. Puisi pertama yang ia baca “Luka” karya Sutardji Calzoum Bachri. Karena dorongan kuat untuk belajar puisi, melalui karya Sutardji itu Ade pertama kalinya dapat membaca dengan benar. Selanjutnya, Ade melatih diri untuk menulis puisi. Setiap hari Ade membiasakan menulis tiga puisi seusai shalat magrib. Setelah tiga bulan bergumul dengan tulisan, lahirlah puisi pertamanya bertajuk “Mawar” yang berisi sebaris larik: Duri itu tertusuk di kaki ibu.

Kelas VI SD, Ade bergabung dengan komunitas sastra Pena Terbang yang diketuai Bang As untuk meningkatkan keahliannya menggubah dan membacakan puisi. Tema tentang anak, orang- orang yang terpinggirkan dan budaya Melayu, tampak mewarnai puisi-puisi karya Ade.

Tema anak menjadi tema yang intim dengan dunianya karena hingga saat ini Ade menikmati masa anak dan remajanya. Ia yakin puisi-puisi bertema anak yang ditulis oleh anak akan lebih menyentuh pembaca dibandingkan tema anak yang ditulis oleh orang dewasa. Menurut Ade, puisi juga tak bisa lagi tinggal di lorong sunyi. Puisi harus mencerap lingkungannya, terutama orang-orang yang dipinggirkan. Karena itu, Ade sering mengamati anak yang menjadi peminta-minta dan anak yang putus sekolah karena harus bekerja. Perenungan dari pengamatannya itu ia tuangkan dalam puisi.

“Dengan menuliskan hidup mereka, menghadirkan mereka dalam puisi, kita telah memerdekakan mereka,” tutur Ade. Bela rasa Ade terhadap anak-anak yang terpinggirkan tak lepas dari pengalaman masa kecilnya yang prihatin. Waktu Ade dan saudara kembarnya lahir, ayah mereka meninggal. Ibunya harus menitipkan Ade dan saudaranya kepada kakek dan nenek agar dapat merantau untuk bekerja. Dalam keadaan bersahaja, sering Ade berangkat sekolah tanpa uang jajan. “Ade ingin mengangkat kesedihan mereka yang juga Ade rasakan,” tuturnya.

Adapun tema Melayu menarik hati Ade sejak ia bergiat dalam acara Kenduri Puisi yang membawanya pada perjalanan ke beberapa kabupaten di Provinsi Riau dalam misi membudayakan puisi. Perjalanan itu membuat siswa yang kini (2017) duduk di kelas I SMA ini tersadar betapa kaya ragam kebudayaan Melayu. Ia sendiri sebagai anak Melayu terdorong rasa tanggung jawab untuk melestarikan kekayaan tersebut. Selain menggubah puisi, Ade juga menulis cerpen. Menurutnya, puisi dekat dengan cerpen. Keduanya menggundang penulis dan pembaca untuk berpikir.

Puisi-puisi Ade pun terbit di berbagai koran antara lain di Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Riau Pos, Lampung Pos, Lombok Pos, Minggu Pagi, Koran Merapi, Radar Surabaya, dan Tribun Jabar. Tujuh antologi puisinya telah terbit dalam buku bersama penyair yang lain. Ade juga sudah menelurkan dua buku puisi, Kepompong dalam Botol dan Hikayat Anak-anak Pendosa; serta satu buku kumpulan cerpen, Timang Gadis Perindu Ayah Penanya Bulan. Saat ini, Ade sedang mempersiapkan untuk penerbitan buku puisi ketiganya.

Langkah-langkah Ade dalam berkaya tak lepas dari dukungan keluarga dan sekolah. Putri Ayu Aulia, saudara kembar Ade, salah satu alasan Ade berkarya. Ade selalu mengingat perkataan Putri, “teruslah menulis lalu kau bawa kita terbang bersama”. Kakek, menghambat Ade ketika harus memberikan waktu untuk pertunjukan atau perlombaan. Tantangan terberat justru datang dari teman sebayanya yang menganggapnya aneh, lantaran Ade lebih suka menulis di rumah daripada bermain dengan mereka. Tantangan itu teratasi setelah Ade memenangi lomba karya cipta puisi. “Sekarang mereka tahu kalau Ade ini penulis,” kata Ade sumringah.

Terhadap dunia perpuisian Indonesia, Ade berharap agar para penyair senior dapat menarik anak-anak untuk lebih mencintai puisi. Karena, seberapa pun ia berusaha, bila tidak banyak anak yang menekuni puisi maka keberlanjutan perpuisian Indonesia akan mengkhawatirkan. Ia berharap teman-teman sebayanya menyadari bahwa Indonesia membutuhkan mereka untuk memajukan perpuisian. Ia sendiri tidak akan berhenti belajar untuk mengejar cita- citanya meraih hadiah Nobel. Sejak kelas I SMP, Ade menyisihkan uangnya untuk membeli karya-karya sastra peraih Nobel. Ia sangat berduka ketika satu-satunya nominator dari Indonesia, Pramoediya Ananta Toer, meninggal sebelum memenangi penghargaan tersebut. “Cita-citaku pada tahun 2045, tepat 100 tahun RI berdiri, aku menghadiahi Indonesia dengan Nobel,” katanya optimistis.

Anugerah kebudayaan yang ia terima dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk kategori anak dan remaja, ia jadikan semangat untuk semakin bertanggung jawab dalam menggeluti dan membudayakan puisi.