Moch Shabiq Karba Suhaya Belajar Jadi Dalang dari Kaset Video

0
2184

Pepatah yang mengatakan “buah jatuh tak jauh dari pohon” tak berlaku bagi Moch
Shabiq Karba Suhaya. Kedua orangtuanya dan juga keluarga besarnya, baik dari pihak ayah maupun ibu, tak ada yang bisa mendalang. Akan tetapi ternyata bakat mendalang itu muncul dalam diri Shabiq.

Proses ia menjadi dalang sangat unik. Saat berusia empat tahun, ketika dibawa ibunya ke pasar untuk belanja, Shabiq kecil tiba-tiba berhenti di depan toko kaset video yang sedang memutar wayang golek dan bodoran yang dimainkan oleh dalang terkenal: Asep Sunandar Sunaryo. Dunia wayang golek langsung menyihir Shabiq kecil. Semenjak itu, ia tak pernah berhenti menonton kaset video wayang golek dan selalu minta dibelikan kaset wayang. Dari sekadar menonton, ia kemudian belajar membuat wayang dari kardus.

Semula, Jasmin Bastian, ayahnya, menilai perhatian anak keduanya itu pada wayang golek
sekadar hobi saja. Apalagi tak ada riwayat dalam keluarganya yang dikenal sebagai dalang wayang. Akan tetapi rupanya sang putra menunjukkan minat yang luar biasa pada wayang golek. Ia dengan tegas mengutarakan keinginannya menjadi dalang wayang golek seperti Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya. Ia minta dibelikan kaset wayang golek, jaipongan dan degung. Ia tak pernah jemu menonton dan mendengar seni dari tanah Sunda itu.

Ayahnya kemudian memutuskan untuk mendukung secara total cita-cita anaknya menjadi dalang. Di mata Jasmin, dalang adalah profesi yang mulia. Apalagi wayang adalah peninggalan tradisional yang sangat adiluhung. Semua jenis kesenian ada dalam wayang, mulai dari seni suara, tari, teater, musik dan sebagainya. “Semuanya komplet,” tegas Jasmin. “Anak ini seperti menarik saya untuk mengerti dan memahami budaya Sunda,” tutur Jasmin yang mengaku orangtua dan leluhurnya berasal dari Banten dan Bogor. “Saya mulai kewalahan memenuhi keinginan Shabiq,” lanjut Jasmin yang sehari-hari berdagang untuk menjaga dapur di rumah tetap mengebul.

Permintaan Shabiq pun makin bertambah demi mewujudkan cita-citanya. Ketika terbetik berita Ki Aep dari Leles Garut bakal menggelar wayang golek dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan, Shabiq merengek ingin nonton di atas panggung pergelaran. Untunglah panitia pergelaran wayang golek berbaik hati untuk membolehkan Shabiq dan ayahnya nonton di atas panggung. Mereka juga bisa berkenalan dengan Ki Aep.

Shabiq merasa masih ingin bertemu dengan banyak dalang beken lainnya, seperti yang ditontonnya lewat kaset video. Ia kembali meminta ayahnya agar bisa bersua dengan Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya di Bandung dan para dalang lainnya. Saat itu usianya baru lima tahun. Bersama ayahnya, Shabiq berangkat ke Jelekong, Bandung, untuk bertemu dengan Ki Dalang Asep.

Betapa bahagianya Shabiq ketika akhirnya bisa bertemu dengan sang dalang idolanya. Bila
sebelumnya ia hanya bisa menyaksikan lewat kaset video, saat itu ia bisa bertemu langsung dengan sang dalang, bisa bertatapan langsung. Yang lebih membahagiakan lagi,
Ki Dalang Asep tampaknya terpesona pada potensi anak tersebut. Ia bisa menilai itu dari cara Shabiq memegang wayang. “Ki Dalang Asep bertanya, Shabiq belajar wayang dari mana. Saya menjawab belajar otodidak dengan menonton kaset Abah Asep,” jelas ayah Shabiq kepada Ki Dalang Asep. Sebagai kenangkenangan, Ki Dalang Asep memberikan anak itu satu wayang buta.

“Saya dikasih sebuah wayang buta yang biasa dipakai untuk pergelaran Abah Asep,” tutur Shabiq. “Wayang buta, itu wayang raksasa. Tokoh raksasa,” jelasnya tentang wayang tersebut. Anak remaja ini sempat bertemu dengan Ki Dalang Asep sebanyak tiga kali. Pada setiap pertemuan, Ki Dalang Asep membekalinya dengan wayang golek agar Shabiq terus belajar dengan rajin. Motivasi itu membuat anak remaja ini selalu antusias bila mendengar kabar ada pementasan wayang golek oleh Ki Dalang Asep, dan ia berusaha menontonnya di atas panggung, di belakang Ki Dalang Asep.

Shabiq tak berhenti belajar. Ia kemudian bisa bertemu dengan Abah Babem Karba Suhaya, salah seorang dalang terkenal dari Bandung. Pertemuan tersebut terjadi berkat bantuan dari salah seorang kerabat Abah Babem, yakni Intan. Pertemuan dengan Intan itu bermula dari seringnya keluarga Shabiq berkunjung ke rumah adiknya di Cibaduyut, Bandung, dan kemudian berkenalan dengan Pak Intan.

Intan bersedia mengantar Shabiq dan ayahnya untuk bertemu Abah Babem. Rupanya Abah Babem tertarik pada kemampuan Shabiq dan bersedia membina dan menjadi guru bagi anak remaja tersebut. Abah Babem terpesona pada kemampuan anak remaja yang serius belajar jadi dalang. Apalagi keinginannya itu datang dari dalam dirinya sendiri, bukan karena kehendak orangtuanya.

Hubungan Abah Babem dan Shabiq seperti ayah dan anak. Abah Babem mengajarinya dengan sabar tentang pedalangan, teknik olah vokal dan berbagai keterampilan berdalang lainnya. Berkat Abah Babem, kemampuan Shabiq berkembang pesat. Abah Babem adalah putra dari Abah Nandang Karba Suhaya, yang merupakan keturunan Mama Suhaya Atma bin Nurasan. Abah Nandanglah yang “melantik” Shabiq jadi dalang dalam suatu ritual tawajuhan. Semenjak itu, Shabiq resmi jadi dalang dan penerus turunan Karba Suhaya. Maka, di belakang nama Shabiq pun ditambahkan nama “Karba Suhaya”. Selain Abah Babem, yang juga ikut membimbing remaja ini adalah Asep Ginanjar, MSn dan Wawan Amung Sutarya.

Demi bakat anaknya, ayah Shabiq rela mengantar putranya bisa menyaksikan sejumlah pergelaran wayang golek dengan biaya sendiri, termasuk membeli wayang dan peralatan gamelan untuk mendukung pengembangan bakat anaknya. Menariknya, dukungan itu tidak hanya datang dari keluarganya, tetapi dari sekolahnya, SMP Negeri1 Selaawi. Kepala SMP Negeri 1 Selaawi, Asep Nurjamiah, mengemukakan, pendidikan kesenian di sekolah yang dipimpinnya mendapat perhatian besar. Ia mengaku bangga dengan prestasi yang diukir oleh Shabiq karena dapat mengharumkan nama sekolah yang dipimpinnya dan juga memberi inspirasi bagi anak didik lain untuk mencintai budaya sendiri.

Shabiq sendiri harus berlatih keras agar bisa memainkan semua peralatan musik gamelan untuk mendukung pementasannya. “Saya harus bisa semuanya. Kalau saya tidak menguasai musik, pementasan saya bisa rusak. Sebagai dalang, saya sebenarnya yang memimpin pergelaran itu,” ujarnya.

Di rumahnya kini tersedia seperangkat alat gamelan mulai dari kendang, gong, bonang, saron dsb-nya. Beberapa teman sekolahnya ikut belajar menabuh instrumen musik tradisional tersebut bersamanya di Sanggar Gumelar Raharja 2. “Tidak banyak teman-teman saya yang belajar di sini. Kami ada beberapa orang,” tutur Shabiq. Sungguh menarik, anak remaja yang berusia 14 tahun telah memutuskan untuk menekuni wayang golek dan kesenian Sunda pada umumnya. Apalagi ia dengan tegas dan berani mengatakan, “Siapa lagi yang harus melestarikan budaya kita sendiri, kalau bukan kita.”

Shabiq tak tergoda dengan seni yang datang dari luar. Ia telah memutuskan dirinya hanya untuk wayang golek. Saat ini ia sedikitrnya telah menguasai lakon “Jabang Tetuka”, “Seta Perlaya”, “Hajat Surya”, “Kumbagkarna Gugur”, :Hanoman Duta”, “Ramayana”, dan “Brata Yudha”. Ia mulai naik pentas saat duduk di kelas I SD membawakan lakon “Jabang Tetuka”. Selain jadi dalang, ia juga bercita-cita bisa menjadi dosen seni.

Prestasi Shabiq yang bagus itu membuat namanya cepat dikenal. Ia sempat tampil di MetroTV dalam program “Little VVIP” dengan presenter Cak Lontong, di Festival Dalang Bocah tahun 2017 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, bahkan diminta untuk pentas pada acara pernikahan. Harum namanya pun sampai ke luar negeri. Tahun 2018, undangan dari Taiwan datang agar ia bisa tampil pada Yilan International Children’s Folklore and Folkgam Festival pada 7-19 Agustus 2018 di kota Dong-shan River Chin-sue Park, Taiwan. Sayang, Shabiq dan rombongan tidak bisa hadir karena ketiadaan dana untuk terbang ke sana.

Shabiq tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya saat mendapat kabar bakal menerima Anugerah Kebudayaan 2019 kategori Anak/Remaja dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saat ditanya perasaannya tentang anugerah itu, dengan singkat ia menegaskan: “Terlalu riang.” Ia mengaku penghargaan itu memberinya motivasi untuk lebih profesional lagi menjadi dalang wayang golek dan bertekad untuk melestarikan seni tradisi bisa bertahan di zaman now.

Sumber: Buku Profil Penerima Anugerah Kebudayaan 2019