Menumbai memiliki dua makna. Makna pertama, menurut U.U. Hamidy berasal dari kata tumbai atau umbai, yang artinya turun atau menurunkan dengan menggunakan alat maumbaian (menurunkan) berupa tali dan bakul. Kata ini menggambarkan gerak menurunkan sarang lebah dengan menggunakan timbo (timba) yang diturunkan dengan tali. Makna kedua, yaitu aktivitas mengambil madu dengan menggunakan mantra dan pantun-pantun, ada yang menyebutnya sebagai ”memikat lebah dengan nyanyian”. Tradisi menumbai hidup di kalangan orang Petalangan di Pelalawan. Prosesinya berlangsung di hutan tanah ulayat mereka, tempat pohon sialang tumbuh.
Tradisi ini adalah untuk mengambil sarang lebah di pohon sialang untuk diambil madunya. Agar tidak disengat lebah, aktivitas ini dilakukan oleh seorang spesialis yang disebut juagan (juragan) atau lazim juga disebut sebagai dukun lebah. Juagan akan ”membujuk” lebah-lebah dengan menyanyikan serangkaian mantra berupa pantun. Pantun mantra tersebut menjadi lirik lagu yang dinyanyikan sepanjang prosesi. Fungsinya adalah sebagai bentuk komunikasi antara juagan dengan lebah, untuk perlindungan diri, dan memberikan gambaran situasi yang dihadapi juagan ketika berada di pohon sialang. Antara satu juagan dengan juagan lain mungkin memiliki pantun yang berbeda susunan dan pemakaian katanya, tetapi maksudnya sama. Perbedaan yang demikian ini khas dalam tradisi lisan.
Menumbai dilakukan ketika didapati pohon sialang dengan sarang lebah liar telah sarat madu. Rangkaian prosesi berlangsung sejak petang hari, namum prosesi intinya yaitu pengambilan madunya, dilakukan pada malam hari saat bulan gelap. Menurut kepercayaan orang Petalangan, cahaya akan membuat lebah marah. Sebagai penerang hanya dipakai tunam, sejenis suluh dari sabut kelapa, yang juga berfungsi untuk mengasapi lebah.
Setelah semua persiapan selesai, juagan tuo memulai prosesi. Keseluruhan prosesi memakai mantra-mantra khusus. Mula-mula ia pergi ke banir atau pangkal pohon membawa suluh untuk mengusir binatang-binatang berbisa yang bersarang di sana. Setelah itu, juagan tuo membacakan mantra memuji dan membujuk penghuni sialang agar tidak mendatangkan bahaya kepada yang memanjatnya. Tahap ini disebut dengan manuokan sialang (menuakan sialang), menempatkan sialang sebagai yang lebih tua untuk menghormati dan memuliakannya. Salah satu ritualnya yaitu:
Mbat menghembat ake gadung
Mbat mai di ate tanggo
Kalau iya sialang ini
Lingkaran tedung dan nago
Tetaplah juo di banie kayu
Maksudnya, kalau sialang dilingkari ular tedung (ular besar) dan naga sekali pun, hendaklah mereka tetap di tempatnya, di banir kayu, selama pohon dipanjat.
Dalam proses mengambil lebah di pohon, sang pengambil madu biasa melantunkan sebuah pantun/ mantra. Prosesi inti dimulai selepas maghrib. Semua perlengkapan telah disiapkan di bawah pohon sialang. Sebelum memanjat, juagan akan menyanyikan pantun mantra pembuka:
Papat-papat tanah ibul
Mai papat di tanah tombang
Nonap-nonap Cik Dayangku tidou
Juagan mudo di pangkal sialang
Mantra ini sebuah bujukan agar lebah yang disebut sebagai Cik Dayang tetap tidur nyenyak, sementara juagan mudo berada di pangkal pohon, siap untuk memanjat. Untuk membuat lebah tak berdaya, juagan juga memasang ”pasung terbang”, melalui pantun mantra berikut:
Popat-popat tanah mayang ibual
Dipopat tanah tombang
Nonap-nonap cik Dayang tidou
Konai doa pasung terbang
Juagan kemudian mengajukan permohonan, melalui mantra:
Pinjam tukual pinjam landean
Tompat manukual kalakati
Pinjam dusun pinjam laman
Tompat main malam ini