“MENARI ITU KEHIDUPAN SAYA”, WA ODE SITI MARWIYAH SIPALA

0
1132

Perjalanan karir Wa Ode Siti Marwiyah Sipala baik sebagai penari, koreografer, maupun sebagai peneliti tari tak pernah jauh dari tari Pakarena. Hampir seluruh waktu, tenaga, dan pikiran Wiwiek Sipala, begitu itu biasa disapa, untuk tari itu.

Wiwiek sudah menari Pakarena sejak tahun 1962 sebagai bagian dari kegiatan belajar untuk muatan lokal setelah tari itu dipentaskan oleh Andi Siti Nurhani Sapada di Istana Negara tahun 1950.

“Kata ‘pakarena’, menurut dia, sebenarnya berarti ‘penari’. Namun dalam perjalanannya kata tersebut menjadi nama seni tari dari Sulawesi Selatan,” tutur Wiwiek di laboratorium seni tari lantai III, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di sela-sela kegiatannya melatih tari Pakarena untuk lima penari sanggarnya.

Tahun 1963, putri seorang guru ini mulai mengkreasi gaya Pakarena versinya. Namun orangtuanya tidak pernah mengizinkannya menjadi penari. Ia terpaksa berlatih tari sembunyi-sembunyi. “Mengaku pergi kursus, tahu-tahunya pergi latihan menari,” kenangnya dengan tawa berderai.

Ia pun mengambil kuliah Fakultas Ekonomi Universitas Haluhuleo, Kendari, sampai memperoleh gelar BA (Bachelor of Art, sarjana muda). Lalu, ia minta izin kepada orangtuanya untuk meneruskan kuliah perbankan di Jakarta tahun 1972. Saat mau menikmati nasi bungkus, ia membaca iklan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ)– sekarang IKJ– dari koran pembungkus nasi bungkusnya. LPKJ membuka pendaftaran mahasiswa baru. Ia berubah pikiran dan berpendapat LPKJ tempat yang tepat untuk dirinya, bukan akademi perbankan. Tentu saja keputusan itu membuat kecewa orangtuanya.

Wiwiek mengisahkan dirinya tak punya uang untuk membayar kuliah. Pihak LPKJ memberi keringanan, boleh membayar uang kuliah kalau sudah punya uang. Ia kemudian mendapat informasi, peserta tes masuk yang terbaik akan mendapatkan beasiswa dari Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Setelah ia mengikuti tes tersebut, ia dinyatakan berhasil mendapat bea siswa.

Pada Festival Penata Tari Muda tahun 1978, namanya mulai dikenal berkat karyanya yang mengangkat tari tradisi Pakarena. Ia juga menjadi staf pengajar di almamaternya. Dari tangan mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1997-2002) itu telah muncul banyak versi tari Pakarena dengan gayanya seperti “Pakarena Se’reang Bori” (2011), “Pakarena Bulan’ne (2011), dan “Pakarena Simombala” (2000). Di samping itu, Wiwiek menemukan ada tiga versi Pakarena, yaitu Pakarena gaya pegunungan, pesisir dan kepulauan.

Sambil memperagakan perbedaan tiga gaya itu, ia menjelaskan, Pakarena pesisir selalu menunjukkan gerak tubuh condong ke depan. Sedangkan gaya pegunungan, seperti yang ditelitinya di Malino, gerak tubuh selalu tegak. Gaya kepulauan seperti di Pulau Selayar, sikap tubuh agak condong ke belakang. Tetapi pada dasarnya, filosifinya tetap sama. Yang berbeda hanya gayanya.

Filosofi Pakarena, menurut dia, mengajarkan orang untuk bisa mengendalikan diri. Musik yang mengiringi tari itu keras, sedangkan gerak tarinya sendiri lembut. Hal itu menggambarkan gejolak seperti pinisi yang tengah berada tengah gelombang samudera. “Kembali ke manusianya, seberat apapun badai di hadapan kita, kita harus tetap bisa mengendalikan diri,” tegasnya.

Hari-hari Wiwiek diisi dengan menari. “Menari itu kehidupan saya. Seni tari mengajarkan saya kehidupan diri sendiri, secara sosial, masyarakat luas dan juga secara vertikal. Jadi, buat saya itu sudah utuh,” ujar penerima Penghargaan Kebudayaan bidang Pencipta, Pelopor dan Pembaru tahun 2015 dari Pemerintah RI, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pencipta tari kolosal untuk Pekan Olah Raga Nasional, Festival Film Indonesia, dan Sea Games ini tidak hanya mempelajari tari dari daerah asalnya tetapi juga dari banyak daerah di Indonesia, termasuk balet. “Semua ini menjadi vocabulary tari yang bisa memperkaya karya cipta tari saya,” ujar Wiwiek penuh semangat.