Memed Tjakra Gumelar Harus Ikhlas dan Rela Berkorban

0
928

Usianya sudah tidak muda lagi. Namun semangat Memed Tjakra Gumelar untuk melestarikan wayang golek dan seni tradisi Sunda umumnya
 selalu menyala-nyala. Di usianya yang telah menginjak 84 tahun, ia masih kuat mengunjungi berbagai tempat untuk membina seniman-seniwati muda agar regenerasi dalang dapat berjalan.

Memed Tjakra Gumelar juga aktif di berbagai kesenian seperti teater rakyat, sinden, nayaga, pencak silat, dan calung. “Abah baru pulang dari Kuningan dan sempat tinggal di sana beberapa hari untuk membagi pengalaman dengan pelaku seni di sana. Yang penting doanya agar Abah kuat dan sehat dalam menjalankan tugas,” tutur Memed Tjakra Gumelar di rumahnya di Kampung Cikepok, Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Untuk urusan wayang golek dan seni Sunda pada umumnya, Memed tidak berpikir panjang bila diminta untuk membina para pelaku seni di mana saja. Bahwa untuk itu ia harus mengeluarkan biaya sendiri, tak jadi soal baginya. Merupakan kebahagiannya kalau ia bisa berbagi ilmu dan pengalamannya. Sebab, dengan demikian ia merasa bisa ikut melestarikan wayang golek dan seni Sunda lainnya yang penuh muatan nilai kehidupan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan alam semesta saat ini.

Yang mendorong Abah—begitu ia biasa disapa ataupun mendaku dirinya, baik di rumah maupun komunitas seninya—wayang golek dan kesenian lainnya adalah bagian dari budaya bangsa yang beraneka ragam. Karena keanekaragaman itulah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bisa tetap berdiri tegak sampai sekarang karena NKRI berdiri di atas keberagaman.

Soal manfaat, Ki Memed menegaskan, wayang golek dan seni Sunda lainnya memiliki banyak manfaat. Selain banyak pengetahuan yang bisa ditimba dari sana, juga banyak ajaran kehidupan yang bisa digali demi menopang kehidupan itu sendiri. “Wayang golek besar manfaatnya untuk hidup di dunia dan akhirat,” tegas Ki Memed. Ia menjelaskan, kisah dalam wayang golek yang bersumber dari kitab Mahabharata dan Ramayana mengajarkan ilmu kehidupan agar hidup manusia makin damai dan sejahtera.

Tentu tantangan untuk melestarikan itu tidak mudah. “Banyak gangguan dari luar dan dalam,” katanya. Budaya pop yang datang dari luar negeri seperti organ tunggal telah menjadi gangguan yang bisa menggusur wayang golek dari kehidupan sehari-hari. Tidak sedikit contoh seni dari luar telah meminggirkan seni tradisi.

Seni dari luar itu biasanya datang dengan kekuatan besar dan pesona yang luar biasa. Gangguan dari dalam negeri juga tidak kalah besarnya. Memed tertarik dengan kebiasaan di Jawa Tengah di mana pementasan wayang tidak hanya ditonton oleh masyarakat biasa, tetapi juga para pejabat. Bahkan jenderal pun ikut menonton. Ia merasa prihatin karena di daerahnya di Sukabumi, dan Jawa Barat pada umumnya, wayang golek belum dihayati dengan baik. Bahkan ada yang mengharamkannya. Kenyataan itu justru membuat Ki Memed makin bersemangat untuk melestarikan wayang golek peninggalan nenek moyang itu.

Pelaku budaya ini menyadari betul untuk melestarikan wayang golek, juga seni Sunda lainnya, dibutuhkan pengorbanan. Pengorbanan tidak saja dalam bentuk finansial, tetapi memberi waktu dan tenaga serta empati. Tidak heran bila ia rela datang dari satu sanggar ke sanggar lain untuk mengajar murid-muridnya. Ia juga tak segan datang ke rumah muridnya bila muridnya tak punya sanggar. Muridnya tersebar di sejumlah daerah dan ia merasa bahagia karena masih ada generasi muda yang mau memberikan perhatian pada keberlangsungan hidup wayang golek serta seni lainnya.

Apa yang harus dilakukan untuk melestarikan itu? “Pertama-tama kita harus ikhlas dan mau korban perasaan,” ujarnya. Demi upaya pelestarian itu, ia tidak mau memungut bayaran. Malah tidak jarang ia mengeluarkan dana sendiri. “Bila perlu kita ikut beli nasi bungkus. Kayak budaya orang dulu dalam melestarikan budaya. Tidak ada istilah tidak punya ongkos,” tutur ayah enam anak yang masing-masing telah memiliki pekerjaan yang mapan ini.

Sasaran utama pembinaannya adalah generasi muda karena di pundak merekalah masa depan budaya ada. Ia mengungkapkan dirinya harus mempelajari apa yang disukai generasi muda. Karena itu, tidak jarang ia melakukan terobosan agar anak-anak muda zaman now mau ikut mencintai wayang golek dan seni tradisi lainnya, dan pada gilirannya akan ikut melestarikannya. Tidak segan-segan ia berdialog dengan mereka dan mau mendengarkan apa yang mereka inginkan. Ternyata jurus dialog jadi jitu dalam menjaring anak-anak muda. Perhatian mereka mulai tumbuh. Kini, ia memiliki sekitar 20 orang di beberapa daerah.

“Di Kuningan ada dua, Sumedang ada dua, di Banten ada, Bogor ada. Hampir di tiap kabupaten ada. Hal itu membuat Abah keliling untuk memonitor. Sekarang kami lebih banyak mendorong anak-anak muda. Yang tidak punya padepokan, ya, kita langsung ke rumah. Kita belajar bersama. Itu metodenya. Metode yang paling asyik adalah kasih sayang,” ujarnya. Setelah berhenti mendalang tahun 1990, ia memutuskan mengajar generasi muda untuk jadi dalang wayang golek.

Yang membuatnya kian bangga, animo murid-muridnya untuk belajar mendalang cukup besar. Ada yang masih duduk di bangku SMP tetapi telah mampu mendalang. Di usianya yang sudah tergolong uzur, ia secara rutin harus melakukan perjalanan dari satu ke lain tempat agar bisa bertemu dengan murid-muridnya. Semuanya itu ia laksanakan dengan penuh suka cita. Seperti air, ia terus mengalir.

Ia merasa terpanggil untuk melestarikan wayang golek dan seni tradisi Sunda lainnya karena mereka mencintainya. “Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau melestarikannya. Kapan lagi, kalau bukan sekarang. Itulah program Abah,” ujarnya.

Ia menyadari wayang golek dan seni tradisi lainnya sedang mengalami ujian saat ini agar tetap bisa bertahan. Seperti roda, ada saatnya bagian tertentu dari roda ada di bawah, dan bagian lainnya ada di atas, ia yakin akan tiba saatnya wayang golek akan kembali mendapat perhatian luas dari masyarakat. Yang penting, katanya, kita tetap mau belajar. “Ingat, dengan ilmu kita mudah, agama buat kita terarah, dan budaya buat indah,” ia memberi petuah.

Dalam melaksanakan misinya melestarikan wayang golek dan seni tradisi Sunda lainnya, ia bisa melenggang dengan ringan karena mendapat dukungan penuh dari keluarga. Baginya, itu modal paling utama. Ia menyadari betul, tanpa dukungan keluarga dan anak-anaknya, upayanya untuk melestarikan seni wayang golek tak bakal berjalan mulus.

Memang, tidak ada satu pun dari anak-anaknya yang mengikuti jejaknya dalam berkesenian. Tetapi Abah Memed tetap bahagia karena banyak generasi muda yang dianggapnya sebagai anaknya mauikut melestarikan seni tradisi tersebut bersamanya.

Di usia 84 tahun, ia masih tampak sehat. Resepnya, kata dia, sederhana. Yang pertama adalah terus membagi ilmu yang dimiliki. Bahkan ia tidak segan-segan membagi ilmunya kepada orang asing yang mau belajar padanya. Yang kedua, tidak makan yang haram seperti uang korupsi, dan cari hidup yang halal.

Hal lain yang membuat hidupnya lebih rileks adalah kesukaannya terhadap
humor sebab ia sadar humor memiliki banyak manfaat dalam hidup. Tidak jarang di tengah percakapan dengannya selalu menyelipkan humor, kadang humor yang pahit untuk melukiskan keadaan masyarakat kita hari ini.

Abah Memed tak bisa menutup rasa haru dan bahagianya ketika mendapat kabar bakal mendapatkan Anugerah Kebudayaan kategori Pelestari dari pemerintah melalui Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia berterima kasih karena pemerintah mau mengapresiasi apa yang telah dilakukannya selama ini.

Ia menegaskan, upaya melestarikan wayang golek dan seni tradisi Sunda lainnya selama ini dilakukannya bukan untuk mengejar anugerah. Ada tidak ada anugerah, ia tetap akan mengabdikan hidupnya untuk melestarikan wayang golek dan tradisi lainnya. Baginya, itu adalah bagian dari berbuat baik, bagian dari ibadah. Anugerah kebudayaan yang kini diterimanya, katanya, memberinya semangat untuk makin meningkatkan upaya melestarikan wayang golek dan seni tradisi Sunda lainnya. Ia yakin semuanya akan bangkit dan berkembang lagi serta makin banyak orang tertarik padanya dan merasa bangga memiliki wayang golek dan seni tradisi lainnya.

Sumber: Buku Profil Penerima Anugerah Kebudayaan 2019