Marayama: Penjaga Ingatan Tradisi Mandar

0
1821

Marayama memilih jalan hidup sebagai “pakacaping tobaine” (pemetik kecapi perempuan) sejak masa penjajahan Jepang. Hingga kini ia melakukan pewarisan “kacaping” tanpa pamrih dengan melatih anak-anak muda demi melestarikan seni musik dan seni tutur Mandar di Sulawesi Barat.

Pertunjukannya hadir di acara-acara syukuran keluarga, acara adat, acara pemerintahan dan festival kebudayaan tingkat nasional, antara lain di Tenggarong (Kalimatan Timur) dan Makassar (Sulawesi Selatan). Kepiawaiannya terekam dalam penulisan buku kebudayaan Mandar, berbagai koran dan juga lewat lm dokumenter di beberapa stasiun televise, seperti di TVRI, Trans7, dan MetroTV.

Seperti pada siang itu, petikan kacaping menyeruak di antara pohon-pohon kelapa dan cokelat. Bunyi dawai berpilin dengan syair berbahasa Mandar, yang dilantunkan suara bariton seorang perempuan. Nyanyian bertenaga itu datang dari rumah kayu, berkaki jenjang khas rumah panggung Sulawesi, yang ditempati seorang diri oleh Marayama. Perempuan berumur 83 tahun itu memangku kacaping seperti memangku bayi. Sambil duduk bersila, Ia angkat sedikit kaki kirinya, sehingga tangan kirinya—yang memetik dawai kacaping—dapat bertumpu dengan baik. Bagian bawah kacaping ia sandarkan pada kaki kanann. Alat musik terbuat dari kayu itu seolah bersandar nyaman dalam pangkuan Marayama. Bagian atas kacaping dihiasi seni ukir Mandar yang indah. Marayama memetik dawai- dawai dengan penuh penghayatan. Setiap kali ia menuturban syair, didekatkannya kacaping ke dadanya dan disentuhkan pipinya ke batang kacaping.

Kacaping alat musik kecapi yang lahir dalam kebudayaan Mandar, Bugis dan Makassar. Penciptaan alat musik ini terilhami suara indah yang dihasilkan tali layar perahu, yang didengar para nelayan saat mengarungi lautan. Kekuatan pertunjukan kacaping ada pada keselarasan antara petikan dawai dan kekuatan syair. Tiga tema yang dituturkan dalam kacaping Mandar adalah tollo yang bercerita tentang kepahlawanan, tedze yang berisi pujian atau penghargaan pada seseorang, dan masala yang berupa nyanyian keagamaan. Walaupun terdapat tiga tema utama tersebut, dalam pertunjukan, pakacaping (pemain kacaping) dituntut untuk mengembangkan petikan dawai dan syair yang ia tangkap dari situasi masyarakat dan suasana penonton saat pertunjukan berlangsung. Seorang pakacaping adalah seorang penggubah yang mengembangkan syair dan jenis petikan setiap kali ia melakukan pertunjukan. Oleh karena itu, permainan kacaping tidak hanya membawa ingatan pada tradisi leluhur Mandar, tetapi juga menyerap dan merekam suasana masyarakat saat ini.

Pada mulanya seni kacaping dimainkan untuk pelipur lara dan mengisi waktu luang. Pada perkembangannya, seni ini dipertunjukkan dalam pesta adat, pernikahan, sunatan, mendirikan rumah, juga pada acara-acara kebudayaan dan pemerintahan. Dalam pementasan kacaping tidak memerlukan panggung yang tinggi, melainkan yang dekat dengan penonton. Sebab, pertunjukan kacaping membutuhkan interaksi antara pakacaping dan penonton. Untuk pertunjukan yang digelar dalam acara perkawinan, panggung biasanya berada di dekat pelaminan. Adapun untuk upacara masuk rumah, pertunjukan biasanya dilakukan di halaman rumah.

Waktu pertunjukan dilakukan sepanjang malam, biasanya mulai dari pukul 20.00 hingga pukul 05.00. Umumnya alat petik ini dimainkan oleh laki-laki. Hanya dalam tradisi Mandar terdapat pakacaping (pemetik kacapi) perempuan yang disebut pakacaping tobaine. Pakacaping tobaine dapat bermain sendiri, duet sesama pakacaping tobaine atau bersama pakacaping laki-laki. Tidak terdapat banyak perbedaan antara pemetik kacaping perempuan dan laki- laki, selain bentuk kacaping yang mereka mainkan. Meskipun bentuk kecapinya sama-sama menyerupai perahu, kacaping yang dimainkan perempuan bentuknya lebih melengkung seperti ayunan.

Marayama salah satu dari pakacaping tobaine yang saat ini semakin langka. Keahliannya ia warisi dari lingkungan keluarga. Ayahnya, I Jalaq, berasal dari Kambaqjawa, Samasundu. Sementara ibunya, Maliaya, berasal dari Galung, Majene. Keluarganya berpindah-pindah tempat untuk berladang, sampai akhirnya tiba di Desa Tandassura, Polewalimandar, tempat Marayama dilahirkan. Kakeknya, I Roa, seorang pembuat kacaping. Pamannya, Sumaati, dan bibinya, Cicci, pakacaping terbaik di zamannya. Marayama berguru teknik seni kacaping kepada keduanya. Terutama pada Cicci, yang di masa tuanya tinggal bersama Marayama. Dari bibinya ini juga Marayama mendapatkan warisan kacaping kuno. Demikian juga dengan tiga saudara kandungnya. I Yasi, kakak perempuannya, adalah pakacaping yang andal; juga Lemba, kakak laki-lakinya. Setelah kedua kakaknya meninggal, Marayama dan adik perempuannya, Santuni, menjadi pakacaping tobaine yang tersisa di tengah kelangkaan pelestari tradisi Mandar ini.

Marayama memberikan pertunjukan kacaping sejak zaman penjajahan Jepang. Kala itu, ia masih remaja. Marayama melakukan pertunjukan dari desa ke desa. Ketika kepiawaiannya semakin dikenal orang, ia tampil di “panggung” pertunjukan yang jauh dari desanya, antara lain ke Mamuju dan Makasar, yang memerlukan sekitar tujuh jam perjalanan darat. Sebelum tahun 1990-an, wilayah Polewali Mandar cukup terisolasi. Bagi Marayama dan Santuni, yang saat itu masih perempuan muda, kondisi ini merupakan tantangan tersendiri untuk melakukan perjalanan jauh dalam berkarya. Kadang-kadang mereka harus berjalan kaki, terutama untuk memenuhi undangan di desa-desa pelosok yang tidak dapat dijangkau kendaraan bermotor. Keduanya mendapatkan bayaran seadanya, bahkan terkadang dibayar dengan hasil bumi. Saat ini, selain memenuhi undangan pernikahan, sunatan dan pesta adat, Marayama sering memenuhi pertunjukan yang diselenggarakan oleh pemerintahan dan festival kebudayaan. Pertunjukan teranyarnya ia tampilkan pada festival budaya di Makassar dan Tenggarong.

Selain andal memetik kacaping dan bersyair, Marayama telah menghasilkan karya dalam bentuk lirik dan jenis petikan. Di antaranya lirik Tipa layo, Ececcece, Andurudang, Mamole, Mukammaeng, Ma’olo dan Sirambangan. Sementara jenis petikan yang ia kreasi, antara lain,

Pappa’dendang, Tolakasa (Pamboang), Indo Cawewe dan To Mamunyu. Proses kreatifnya dihidupi oleh pengalaman sehari-harinya. Lirik Tipa Layo ia cipta ketika mengamati para nelayan yang berlayar, sedangkan Indo Cawewe dari permainan anak-anak berupa nyanyian yang ia adaptasi menjadi jenis petikan.

Untuk melestarikan tradisi kacaping, Marayama melakukan semacam pewarisan kepada anak muda dan berbagai komunitas budaya. Ia juga membuka diri untuk mejadi duta kesenian Kabupaten Polewali Mandar.

Seperti halnya seni tradisi di banyak tempat, Maryama dengan kacaping-nya juga menghadapi perubahan zaman dalam upaya pelestarian tersebut. Perubahan hiburan pada pesta masyarakat dari seni kacaping ke organ tunggal dan musik dangdut membuat seni tradisi ini tersisihkan sehingga sulit diminati generasi muda. Selain itu, dalam pengalamannya mengajar, Marayama belum berjumpa dengan murid yang mampu memetik kacaping sekaligus mencipta syair secara spontan dalam pertunjukan. “Sebagian dapat memetik kacaping, tapi tak bisa bersyair dan melantunkan nyanyian,” keluh Marayama.

Ketelatenan Marayama mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. Sejumlah penghargaan sudah ia raih, bahkan sejak masa pendudukan Jepang. Terakhir, tahun 2017, perempuan Mandar ini mendapat anugerah kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk kategori pelestari. Di akhir perbincangan, Ia berharap generasi muda tidak mudah menyerah dan terus mempelajari seni kecapi Mandar ini. “Kalau ada yang mau dan memiliki semangat belajar, saya bersedia mengajar,” tegas Marayama. Ia juga menyampaikan hal menyenangkan dari dunia kacaping yang ditekuninya. Apa itu? “Mendapatkan penghasilan, memberikan hiburan, membuat orang senang dan menerima sanjungan atas permainan saya,” tuturnya sambil tersenyum bahagia.