MAHAKARYA GURU SAUTI BERNAMA SERAMPANG DUA BELAS

0
6056

sauti
Bila membicarakan kesenian Melayu, khususnya seni tari, maka nama Sauti dan “Serampang 12” tentu tidak dapat dihindari untuk dijadikan rujukan. Di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, mahakarya tari yang terkenal itu tercipta dan berkembang. Di kota ini pula seniman tari Melayu yang kerap dipanggil Guru Sauti itu lahir.

Ketika Sauti masih hidup, tarian ini pernah melanglang ke negara-negara Asean, bahkan hingga ke Jepang, Cina, dan ke beberapa negara Eropa. Dalam setiap pergelarannya nama Sauti kian populer. Pada masa keemasannya, keberadaan Tari “Serampang 12” mendapat sambutan yang luar biasa di seluruh tanah air dan berbagai negara. Banyak seniman dari banyak kota dan negara datang kepada Sauti untuk belajar menari.

“Serampang 12” adalah tarian tradisional Melayu yang berkembang di masa Kesultanan Serdang. Tarian ini diciptakan oleh Sauti pada tahun 1940-an dan diubah ulang oleh penciptanya antara tahun 1950-1960. Sebelum bernama “Serampang 12”, tarian ini bernama “Tari Pulau Sari”, sesuai dengan judul lagu yang mengiringinya, yaitu lagu “Pulau Sari”.

Tarian ini mengutamakan gerakan yang lincah. Gerak kaki yang banyak melompat-lompat, gerak tangan yang cepat serta lirikan mata. Disebut tari “Serampang 12”, karena terdiri dari 12 ragam, yaitu (I) tari permulaan pertemuan pertama dua orang muda-mudi, (II) tarian berjalan, menceritakan ketika cinta meresap, (III) tari pusing yang menggambarkan tentang pemuda yang sedang kasmaran, (IV) tari gila karena perasaan mabuk kepayang,(V) tari berjalan bersipat, menceritakan isyarat tanda cinta, (VI) tari goncet-goncet yang merupakan simbol pihak si gadis membalas isyarat yang disampaikan si pemuda, (VII) tari sebelah kaki kiri/kanan yang menunjukkan bahwa dalam hati sepasang pemuda mulai tumbuh kesepahaman atas isyarat-isyarat yang mereka kirimkan, (VIII) tari langkah tiga melonjak maju mundur yang merupakan simbol dari proses meyakinkan diri terhadap calon pasangannya, (IX) tari melonjak sebagai simbol menunggu restu kedua orang tua, (X) tari datang mendatangi atau pinang meminang, (XI) tari rupa-rupa jalan yang menggambarkan proses mengantar pengantin ke pelaminan, dan (XII) tari sapu tangan yang dilakukan dengan menyatukan sapu tangan sebagai simbol telah menyatunya dua hati yang saling mencintai dalam ikatan perkawinan.

Menurut satu-satunya murid Sauti yang masih hidup, Sauti merupakan penari tradisi sejak muda dan dia berinteraksi dengan seniman-seniman pada masa itu sehingga mampu menari dengan sangat baik. Ketika sudah remaja, Sauti dan OK Adram sama-sama gelisah melihat tarian yang ada waktu itu. Tari-tarian itu hanya merupakan tarian lepas, hanya stimulasi untuk kegembiraan atau upacara. Selain itu, Presiden Soekarno getol sekali ingin menggantikan tarian-tarian dansa yang kebarat-baratan pada waktu itu. Dengan surat resmi pada tahun 1955, Soekarno meminta daerah-daerah mengirimkan tarian-tarian untuk dipopulerkan.
“Sauti yang waktu itu bekerja di Jawatan Kebudayaan Sumatera Utara menawarkan “Serampang 12”. Ketika itu terjadi konflik antara dia dan pasangannya, OK Adram, yang meminta agar tarian itu tidak diajarkan sembarangan, dikhawatirkan akan mengalami degradasi kualitas. Sauti justru berpendapat agar disebarkan terlebih dahulu tarian itu, nanti setelah menyebar lalu dikembalikan kualitasnya seperti awalnya,” kata Jose Rizal Firdaus.

Sauti bertekad menyebar tari “Serampang 12” ke seluruh Indonesia dengan menurunkan kualitasnya, artinya sedikit memudahkan untuk orang-orang di luar Sumatera Utara. “Misalnya orang Bandung boleh menarikannya dengan cara Bandung, orang Makassar dengan cara Makassar. Ketika Festival “Serampang 12” pertama dibuat di Surabaya, yang kedua di Jakarta, yang ketiga di Medan. Dalam penyelenggaraan festival tersebut selalu terjadi konflik dengan daerah-daerah dari luar. Mereka komplain, bahwa mereka belajar menari langsung dari Sauti, tetapi kenapa bisa kalah,” jelas Jose Rizal.

Apalagi waktu itu, salah satu jurinya adalah Sultan Deli yang berprinsip bahwa nuansa melayu tari “Serampang 12” harus kental. “Sehingga terjadilah konflik yang mengakibatkan berhentinya Festival Tari Serampang 12 pada tahun 1963. Barulah kami murid-muridnya belakangan ingin kembali menggalakkan tari “Serampang 12”, maka ketika Pesta Budaya Melayu kita undang seluruh provinsi dan negara-negara tetangga untuk menarikan “Serampang 12” kembali,” tambah Jose Rizal.

Jose Rizal memiliki kenangan yang mendalam terhadap sosok gurunya, Sauti. Kepribadiannya yang istimewa membuat Sauti memiliki kharisma tersendiri. Banyak murid dan pengagumnya menjadikan Sauti sebagai idola. Dimanapun ia mengajar, pasti banyak orang terkesan dengan Sauti. Umumnya orang yang belajar tidak puas kalau tidak dituntun Sauti secara langsung.

“Sauti merupakan pembaharu tari Melayu yang dihormati orang bila berkunjung ke berbagai tempat,” imbuhnya.

Oleh karena ia tokoh yang dipuja, ia jadi perhatian banyak orang. Sampai cara berpakaiannya sering ditiru untuk memberi kesan bahwa mereka pengagum Sauti. Hal yang kemudian dicontoh secara massal oleh murid-muridnya adalah pengunaan peci yang dikenakan secara miring ketika menari. Padahal penggunaan peci seperti itu tidak lazim sebelum dikenakan para penari “Serampang 12”.