Lesi Katik Ara Pelestari Syair Gayo dan Didong

0
2186

“Pengembara udara danau, Bisikkan daku rahasiamu, mengatur ombak, hingga perahu berlayar atas desahmu. Ikan berenangan di bawah lenganmu…” demikianlah sepenggal bait puisi karya Lesi Katik Ara yang akrab disapa LK Ara. Melalui penggalan bait puisi yang berjudul “Angin Laut Tawar” itu, LK Ara seakan menyampaikan kerinduan yang teramat dalam akan kampung halamannya di Aceh Tengah. Kerinduan yang terpatri mendalam dalam jiwa LK Ara yang memang sejak kecil hidup di tengah keindahan panorama Laut Tawar di Takengon.

Pengalaman masa kecil yang akrab bermain di tengah-tengah alam yang indah mematrikan LK Ara kehalusan budi sehingga kelak menjadikan L.K. Ara menjadi sosok penyair yang dikenal tekun dan produktif dalam berkarya. Dari tangannya sudah lahir ribuan puisi yang bercerita banyak persoalan alam, manusia dan Tuhan. Pria yang lahir di Takengon, Aceh, 12 November 1937, ini memiliki apresiasi yang sangat tinggi baik terhadap dunia puisi, sastra pada umumnya, budaya sampai pada cerita anak-anak, cerita-cerita rakyat dan lain sebagainya.

Ara juga aktif dalam mendokumentasikan dan melestarikan kesenian khas Aceh. Satu di antara tradisi yang ikut dilestarikan oleh LK Ara adalah pendokumentasian syair-syair Gayo dan tradisi Didong. L.K. Ara sendiri membedakan antara syair Gayo dan Didong. Menurutnya, kendati keduanya sama-sama didengungkan akan tetapi keduanya memiliki perbedaan. Didong sendiri lebih banyak membicarakan masalah duniawi, sementara syair Gayo lebih banyak membicarakan tema-tema religius yang biasanya menggunakan serta memakai tradisi Islam sebagai media penyampaiannya.

Semenjak LK Ara memasuki masa pensiun dari Balai Pustaka pada 1985, di samping menulis cerita untuk anak-anak ia juga aktif dalam mendokumentasikan syairsyari Gayo yang biasa didendangkan oleh senimanseniman Gayo, yang sayangnya syair-syair tersebut belum terdokumentasikan dengan baik. Berangkat dari keprihatian tersebut, Ara akhirnya memutuskan untuk mengumpulkan semua syair Gayo meski menggunakan modal sendiri untuk mengumpulkanya. Ia sering mengundang para seniman Aceh untuk datang ke rumahnya sambil mendendangkan syair-syair Gayo. Setiap merek datang itulah, Ara menuliskan langsung lirik-lirik syair tersebut, yang disalin lewat rekaman kaset yang tebalnya sudah ribuan halaman. Menurut Ara, andai teks-teks puisi dalam bahasa Gayo tersebut diterjemahkan dari bahasa Gayo ke dalam bahasa Indonesia, bisa mencapai 2 juta halaman lebih.

LK Ara sudah melakukan pendokumentasian tersebut selama berpuluh-puluh tahun. Selama itu, berbagai tantangan datang: mulai dari modal yang makin berkurang, hingga termasuk syair-syair tersebut yang tercecer dan hanya dihafal oleh para seniman sendiri. Menurut Ara, para penyair biasanya tidak terlalu peduli dengan pendokumentasian,
sehingga untuk mengumpulkan syair-syair tersebut ia harus berkeliling menjumpai orang-orang yang masih memiliki ingatan kuat akan syair-syair Gayo dan Didong. Misalnya,
kata Ara, bagaimana ketika ia berusahan mengumpulkan syair-syair Teuku Yahya di mana ia harus menjumpai langsung istri sang penyair. Usaha tersebut pun tidak berhasil karena istri Teuku Yahya juga tidak banyak mengingat syair-syair suaminya. Tanpa mengenal lelah dan putus asa, Ara pun melanjutkan pencarian informasi melalui murid-murid Teuku Yahya, sehingga pada akhirnya datanglah Siti Juariah yang ternyata masih ingat semua lagu-lagu gurunya tersebut.

Di samping mendokumentasikan syair-syair tersebut, Ara memiliki keinginan untuk memperkenalkannya lebih luas kepada masyarakat syair-syair Gayo dan Didong. Ia pun bersama beberapa kawannya, seperti K Usman, Rusman Sutiasumarga dan M Taslim Ali memfasilitasi seniman dari Gayo, yaitu Adul Kadir To’et, untuk tampil di beberapa event di Indonesia. Demikianlah beberapa kontribusi Ara terkait dengan pelestarian syair-syair Gayo dan Didong.

Selain aktif mendatangi kawan-kawan lainnya untuk membantu mereka, Ara tetap terus aktif berkarya. Karya-karya LK Ara tersebar luas, baik yang dipublikasikan di dalam negeri maupun luar negeri. Di antara sebagian puisinya dapat ditemukan dalam Tonggak (1995), Horison Sastra Indonesia 1 (2002), dan Sajadah Kata (Syaamil, 2003). Adapun karya-karya lain yang pernah terbit, yaitu Angin Laut Tawar (Balai Pustaka, 1969); Namaku Bunga (Balai Pustaka, 1980); Kur Lak Lak (Balai Pustaka, 1982); Cerita Rakyat dari Aceh 1 – 2 (Grassindo, 1995); Seulawah: Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas (ed. YN 1995); Aceh Dalam Puisi (Syaamil, Bandung); Belajar Puisi (Syaamil, Bandung, 2003); Langit Senja Negeri Timah (YN 2004); Pangkal Pinang Berpantun (ed. DKKP, YN, 2004); Syair Tsunami (Balai Pustaka, 2006); Puisi Didong Gayo (Balai Pustaka 2006); Tanoh Gayo Dalam Puisi (YMA, 2006); Kemilau Bener Meriah (YMA, 2006); Ekspresi Puitis Aceh Menghadapi Musibah (BRR, 2006); Sastra Aceh (Pena, 2008); Antologi Syair Gayo (Pena, 2008); Ensiklopedi Aceh I (ed. YMAJ, 2008); Malim Dewa dan Cerita Lainnya (ed. YMAJ, 2009); dan Ensiklopedi Aceh II (ed. YMAJ, 2009).

Berkat ketekunannya dalam dunia puisi dan budaya pada akhirnya mengantarkan LK Ara untuk menduduki beberapa posisi penting, seperti menjadi redakstur budaya harian Mimbar Umum di Medan, menjadi pegawai Sekretariat Negara, sampai ia bekerja di Balai Pustaka hingga pensiun (1963–1985). Bersama beberapa kawannya, seperti K Usman, Rusman Setiasumarga dan M Taslim Ali, ia mendirikan Teater Balai Pustaka (1967). Ia pun banyak memperkenalkan penyair tradisional Gayo, To’et, untuk tampil di kota-kota besar di Indonesia.

Beberapa pertemuan penting pun banyak yang diikutinya, seperti Kongres Bahasa Melayu Dunia, Kuala Lumpur (1995), Pertemuan Sastrawan Nusantara IX di Kayutanam, Sumatera Barat (1997), Pertemuan Dunia Melayu Dunia Islam, Pangkal Pinang, Bangka (2003), Pertemuan Dunia Melayu Islam, Malaka, Malaysia (2004). Ia pun sempat mengikuti Festival Kesenian Nasional di Mataram NTB (2007), Kongres Bahasa Indonesia di Jakarta (2008) dan lain sebagainya. Berkat ketekunan dan keterlibatannya yang maksimal di dalam dunia seni, pada tahun 2009 LK Ara mendapatkan penghargaan Hadiah Seni dari Pemerintahan Daerah Aceh.

Penyair yang mengidolai Motinggo Busye dan Taufiq Ismail ini memiliki disiplin hidup yang patut menjadi insprasi bagi siapa pun. Di luar kapasisitas dirinya sebagai penyair pada umumnya, LK Ara masih meluangkan banyak waktunya untuk kegiatan pelestari seni Gayo dan Didong. Berkat kesabaran dan ketekunan inilah pada akhirnya Gayo memiliki sistem dokumentasi seni dan sastra yang jauh lebih baik. Atas ketekunannya itu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberinya Anugerah Kebudayaan untuk Kategori Pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Karya-karya LK Ara dapat dengan mudah dijumpai di media sosial, mulai dari Facebook hingga grup WA Ruang Sastra dan Grup WA Seniman Aceh. Inilah satu cara LK Ara untuk tetap eksis dalam jagad seni puisi di Tanah Air, termasuk melestarikan syair Gayo dan Didong di Indonesia.

Sumber: Buku Profil Penerima Anugerah Kebudayaan 2019