Lemah Putih, Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Komunitas

0
1870

DSC_0040
Pedepokan Lemah Putih telah menjadi salah satu institusi seni yang dikenal luas tidak saja di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Suprapto Suryodarmo mendirikan pedepokan ini di Kampung Bonorejo, Desa Plesungan, Karanganyar, Jawa Tengah, tahun 1986.

“Saya memberi nama Padepokan Lemah Putih karena saya menghargai istri bernama Siti, itu tanah. Istri yang baiklah,” kata Suprapto tentang asal-usul nama padepokannya.

Padepokan ini telah menjadi wadah berbagai lintas kesenian dan telah menjadi ruang terbuka untuk ajang kolaborasi karya, pelatihan, pameran, dan pertunjukan seni. Sejumlah program tetap diselenggarakan di sini, seperti program programLir-Ilir, Macaning, Performance Art Laboratory Project, Undisclosed Territory, dan Performance Art Event.

Program kegiatan Padepokan Lemah Putih, menurut dia, diarahkan pada merayakan kesenian-kesenian etnik di dalam perjalanan waktu atau celebration ethnic art in time. Di sini etnik tidak diletakkan pada masa lalu, tapi justru diarahkan ke masa depan, dijadikan satu tumpuan dari sebuah proses memajukan kemanusiaan kita. “Saya mencoba mengangkat itu dengan banyak kegiatan yang kami namakan seni srawung, saling berbagi,” jelasnya.
Tahun 2015 ini Pemerintah RI, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, memberi Penghargaan Kebudayaan untuk kategori komunitas bagi Padepokan Lemah Putih. “Saya sangat gembira pemerintah memberikan penghargaan dengan titik tolak pada komunitas. Karena, justru kekuatan bangsa Indonesia terletak pada nilai-nilai tradisi yang ada di komunitas, seperti nilai gotong royong. Komunitas adalah kekuatan tradisi kita.” katanya menanggapi penghargaan yang diberikan Kemendikbud untuk Padepokan Lemah Putih.

Srawungdapat diartikan sebagi “berbagi pengalaman”. Di sini para seniman pendukung tidak dilihat hanya sebagai profesional, tetapi nilai-nilai kemanusiaan mereka. Berbagi pengalaman inilah yang giat dilakukan oleh padepokan ini, seperti srawung pasar dan srawung candi. Diikuti berbagai seniman dari dalam dan luar negeri, Padepokan Lemah Putih menggelar Srawung Pasar.

Pesan apa yang mau disampaikan lewat srawung pasar dengan menggelar seni pertunjukan di pasar? Suprapto menjelaskan, kita tahu pasar tradisi punya nilai “Kamu rugi sedikit, tetapi untungnya kita mempunyai sanak saudara.” Jadi menurutnya, di pasar tradisi orang dimaknai sebagai manusia, bukan hanya pembeli barang. Bukan hanya sebagai uang. Pasar tradisi diprediksi akan hilang kumandangnya. Pasar tradisi akan runtuh.

“Sejak sepuluh tahun lalu saya berusaha agar nilai pasar tradisi masih tetap berjalan. Tidak hanya mal atau supermarket. Pasar modern itu “pasar bisu.” Tidak ada tawar menawar di situ, tidak ada interaksi sebuah kemanusiaan yang kalau Anda beli di pasar tradisi,Anda akan tanya, oh, ini jeruk dari mana. Kalau dulu di Solo, orang bilang dari Tawamangu. Dari Boyolali. Itu berarti ada semangat sejarah dari apa yang dijajakan. Batik juga, dari Pekalongan, dari gaya ini, Imogiri atau gaya Lasem, Solo, Solo mana, apa Sragen, Lawean, atau apa itu. Itu tradisi di sini diletakkan dalam konteks kemanusiaan, spiritual kapitalisme di sini itu masih terjaga. Bukan kapitalisme yang hanya menekankan kepada materi. Ini yang sebenarnya itu yang dibangun pasar tradisi saja, tetapi lebih pada spirit semangat dari bermanusia, berkemanusaan lewat kapitalisme itu.