KRINOK

0
7652

Krinok merupakan salah satu seni vokal tradisi yang dimiliki masyarakat Melayu di Kecamatan Rantau Pandan Kabupaten Muara Bungo. Seniman krinok mengatakan krinok adalah kesenian tertua yang telah ada sejak masa pra sejarah dan masih dapat dijumpai hingga saat ini.

Ja’far Rassuh menduga cikal bakal krinok sebagai sebuah seni suara telah ada jauh sebelum masuknya agama Budha ke wilayah Jambi. Pada masa itu seni vokal digunakan untuk pembacaan mantra atau do’a tertentu, inilah yang kemudian berkembang menjadi kesenian krinok.
Sebagai sebuah bentuk kesenian, krinok pada awalnya merupakan seni vokal yang sangat sederhana. Krinok hanya berupa puisi lama yang dinyanyikan sedemikian rupa dengan nada-nada tinggi dan tanpa alat musik. Krinok belumlah menjadi suatu seni pertunjukan seperti sekarang, melainkan sebuah seni suara yang bersifat sangat personal dan dipenuhi emosi. M Hasan mengatakan, pada awal keberadaannya krinok hanya dilantunkan oleh kaum laki-laki saat mereka bekerja di ladang atau mencari kayu di hutan. Krinok dapat dilantunkan sendiri atau juga berbalasan dengan pelantun lain yang berjarak ratusan meter. Kesenian krinok generasi awal ini sempat mendapat pertentangan dari kalangan ulama. Krinok dinilai kurang sesuai dengan ajaran Islam karena lirik krinok pada umumnya berisi ratapan. Namun kesenian ini tetap bertahan karena dianggap memiliki fungsi tersendiri bagi masyarakat. Krinok pada masa ini memiliki tiga fungsi yaitu sebagai penghibur diri, untuk mengusir binatang buas dan untuk menarik hati perempuan yang ingin dinikahi. Karena fungsinya sebagai penghibur diri, maka tidak ada lirik krinok yang baku. Setiap pelantun bebas menyuarakan isi hati mereka, entah senang ataupun duka.
Berbeda dengan kaum laki-laki, kaum perempuan menghibur diri dengan memainkan alat musik kelintang kayu disela-sela waktu istirahat saat bekerja di sawah. Kelintang kayu ini adalah alat musik tunggal yang mampu menghasilkan nada yang harmonis. Kelintang kayu dibuat sendiri oleh kaum perempuan di Rantau Pandan menggunakan beberapa potong kayu dari pohon ngkring beluka yang sudah dikeringkan. Setelah kering, kayu di belah dua dan dipotong menurut nada yang ingin dihasilkan. Potongan kayu tersebut disusun di atas kotak kayu persegi panjang dengan diberi alas dari ban bekas. Uniknya, kelintang kayu hanya memiliki 6 potongan kayu sehingga hanya memiliki 6 nada. Pada masa dahulu masyarakat Rantau Pandan belum mengenal notasi balok kelintang kayu sehingga lebih mengandalkan naluri si pemain. Agar menghasilkan nada-nada yang indah kelintang kayu dimainkan oleh dua orang pemain.
Pada awalnya kelintang kayu dimainkan tanpa lagu, hanya alunan nada saja. Namun dalam perkembangan selanjutnya seniman krinok di Rantau Pandan memadukan vokal krinok dengan alunan nada kelintang kayu sehingga menghasilkan seni musik yang lebih menarik. Pada fase ini krinok mulai dimainkan saat bekerja di sawah, baik vokal solo maupun duet. Bahkan krinok dengan iringan kelintang kayu menjadi hiburan wajib bagi muda-mudi yang ikut serta dalam kegiatan beselang (gotong royong) di sawah maupun ladang.
Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian krinok tidak hanya diiringi dengan alat musik kelintang kayu. Beberapa alat musik mulai dipadukan dengan krinok seperti gong, gendang panjang serta biola. Keempat alat musik tersebut kemudian menjadi pakem bagi musik pengiring krinok. Dengan alat musik yang lebih lengkap, kesenian krinok semakin memikat para penggemarnya. Fase ini dapat dikatakan sebagai fase penting dalam perkembangan krinok, karena dengan bertambahnya musik pengiring krinok menjadi suatu kesenian yang lebih dinamis. Sedikitnya ada lima point perkembangan yang terjadi pada fase ini selain penambahan alat musik, yaitu : Pertama, ruang pementasan krinok semakin luas. Krinok tidak hanya dimainkan saat kegiatan beselang tetapi juga menjadi hiburan pada pesta perkawinan. Kedua, seniman krinok mulai membentuk sebuah kelompok seniman dengan anggota relatif tetap dan mulai menjadikan krinok sebagai sumber penghasilan sampingan. Ketiga, Krinok mulai mengenal lirik baku yang dikenal umum dan terpola dalam setiap pertunjukannya. Keempat, seniman krinok mulai menggunakan kostum dan tatarias. Kostum pemain laki-laki terdiri dari peci hitam, baju teluk belango beserta celana dan kain sarung sebagai kain pinggang. Sedangkan kostum untuk pemain krinok perempuan adalah kerudung, baju kurung panjang yang dipadukan dengan kain sarung. warna kostum disesuaikan dengan selera pemain musik. Kelima hilangnya bentuk awal krinok sebagai seni vokal yang bersifat ekspresif dan personal.
Gambar 3. Krinok dengan musik pakem (Biola, Kelintang, Gendang Panjang, dan Gong

Sumber : BPNB Padang, 2013
Krinok yang telah dipadukan dengan iringan berbagai alat musik menjadi kesenian yang semakin digemari terutama oleh muda-mudi. Krinok selalu dimainkan saat berselang, pada malam pesta pernikahan dan pada kegiatan lainnya. Iringan musik krinok yang menarik memikat para muda-mudi untuk menari secara bebas, saling berbalas pantun untuk mengungkapkan perasaan yang sedang kasmaran. Sejak saat itu krinok dipadukan pula dengan tari tauh yang merupakan tari pergaulan muda-mudi. Dan untuk semakin melengkapinya ditambahkan pula berbagai pantun muda-mudi sebagai lirik krinok. Pada fase ini kesenian krinok semakin lengkap dan menarik sebagai suatu seni pertunjukan, sehingga ruang penampilan kesenian krinok semakin luas.
Krinok melalui proses rentang waktu yang cukup panjang, mengalami perkembangan dan terjadi pergeseran sesuai dengan pranata sosial, ilmu pengetahuan, teknologi, alam dan geografis dimana krinok itu tumbuh dan berkembang. Pada awalnya krinok disenandungkan secara spontan dengan tidak menggunakan alat musik. Namun dalam perkembangannya yang ditemukan sekarang telah menggunakan alat musik. Begitu juga fungsi dan tempat pelaksanaannya telah bergeser. Kalau awalnya disenandungkan oleh seseorang dalam mengungkap rasa sedihnya secara spontan di sawah, di kebun atau ditempat lainnya yang sepi, kini telah dijadikan sebagai seni pertunjukan dan bahkan dapat dijadikan sebagai musik pengiring tari. Seperti halnya yang ditemukan di Rantau Pandan, musik krinok dijadikan sebagai musik pengiring tari tauh.
Tari Tauh ini menggambarkan pergaulan muda mudi yang diwariskan turun temurun dan populer di Kecamatan Rantau Pandan khususnya dan Kabupaten Bungo umumnya. Tauh biasanya ditarikan ketika menyambut Rajo, Berelek Gedang, dan Beselang Gedang (gotong royong menuai padi). Empat pasang, laki-laki dan perempuan berpakaian Melayu menari diiringi Kelintang Kayu, Gong, Gendang, dan Biola yang mengalunkan Krinok dan pantun-pantun anak muda.