Ketika Indonesia belum lahir dan Nusantara masih dalam cengkeraman penjajah, Sawahlunto pada tahun 1920-an telah menjadi kota industri perdagangan modern berkat berkah tambang batubara. Ironisnya, setelah penambangan berlangsung lebih dari satu abad—dimulai oleh C De Groet tahun 1850, pemerintahan kolonial Belanda , pendudukan Jepang, sampai Republik Indonesia—batubara pun habis. Tak terelakkan, kota cantik yang terletak di jajaran Pegunungan Bukit Barisan itu pada awal tahun 2000 jatuh miskin dan menuju kota hantu.
Perusahaan tambang yang mengeksplorasi batubara di sana, PT Bukit Asam (Persero), pun ikut terpuruk. Banyak orang angkat kaki. Penduduk yang tertinggal hanya sekitar 7.000-an orang. Mereka ini sebagian besar penduduk asli Sawahlunto. Pepatah lama bilang, “ada gula, ada semut”, ada benarnya. Dan, tragedi Sawahlunto mengajarkan hal sebaliknya: “tidak ada gula, tidak ada semut.” Dari titik nadir inilah Kota Sawahlunto di Provinsi Sumatera Barat bisa bangkit dalam waktu relatif cepat. Apa rahasianya?
Dari percakapan dengan salah satu tokoh Sawahlunto, Ali Yusuf, mantan ketua DPRD Kota Sawahlunto yang kini memangku jabatan wali kota Sawahlunto, kata kuncinya terletak pada tiga hal, dan semuanya bersumber dari kearifan lokal. Pertama, musyawarah. Kedua, bertolak dari warisan yang ada. Ketiga, melakukan gerakan budaya berlandaskan pepatah Minangkabau: “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”.
Musyawarah tahun 2001 yang menjadi mufakat masyarakat Sawahlunto dijadikan arah dan pegangan untuk bangkit, sekaligus visi bahwa “Sawahlunto tahun 2020 menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”. Bertolak dari yang ada, Sawahlunto memiliki banyak warisan aset berupa bekas kawasan tambang batubara yang ikonik dan populer di seluruh dunia, lengkap dengan sejarah, sarana dan prasaranya. Warisan seni budaya (tradisi multikultur) yang melimpah dan dipelihara sebagai kearifan lokal oleh berbagai suku asli dan pendatang (Minangkabau, Jawa, Batak, Tionghoa, dll) yang telah membaur rukun di masyarakat. Selain itu, tentu saja, momentum industri pariwisata yang sedang ngetren.
Dari sanalah penelitian dan kerja sama dengan berbagai pihak pun digerakkan. Di antaranya penelitian dan kerja sama dengan Balai Suaka Purbakala (sekarang Balai Pelestarian Cagar Budaya/BPCB), kerja sama dengan Badan Warisan Sumatera Barat, kerja sama dengan Institut Teknologi Bandung dan perguruan tinggi lainnya. Dan, untuk mengupayakan revitalisasi kawasan historis pusat kota lama Sawahlunto, dilakukan kerja sama penelitian dengan Programma Oitzending Managers (PUM) Belanda, ICOMOS Belanda, dan Universitas Katolik St Thomas Medan.
Upaya itu menghasilkan kekayaan ratusan Cagar Budaya yang berpotensi untuk dilestarikan, baik yang bersifat tangible (benda) maupun yang intangible (tak benda). Tinggalan budaya tangible berupa bangunan, kawasan, situs, kompleks bangunan- bangunan. Di antaranya bekas Lubang Tambang Barat dijadikan sebagai Museum Situs Lubang Tambang Mbah Soero (tokoh Samin asal Blora yang dipekerjakan di sana), bekas Dapur Umum sebagai Museum Goedang Ransoem, Perkampungan China sekarang dikenal Pasar Remaja, Ombilin Mijnen Kantor PT BA Upo. Bahkan, saat ini bekas Tambang Batubara Ombilin—berikut jalur kereta api dari Sawahlunto menuju Emma Haven alias Pelabuhan Teluk Bayur—sedang diajukan sebagai nominasi dari Indonesia untuk diperjuangkan menjadi Warisan Budaya Dunia (World Heritage) oleh UNESCO. Seiring dengan itu dilakukan regulasi dan kelembagaan, sejalan dengan cita-cita pelestarian warisan Sawahlunto sebagai jalan menuju Warisan Dunia UNESCO.