Komunitas Ulu Ambek Nagari Lubuk Pandan Bertahan di Tengah Arus Perubahan Zaman

0
1384

Semua mata penonton dan niniak mamak tertuju pada dua pesilat yang sudah berdiri berhadapan-hadapan di atas laga-laga, sebuah panggung tradisional terbuat dari galar bambu, beralas seng. Tangan mereka saling memukul dan menangkis dari jauh, dengan hentakan kaki: brak! Lama-lama, laga-laga dipenuhi suara sahut- menyahut brak, brak, brak, brak, brak. Diiringi musik vokal tetua adat yang melantunkan pantun dengan vibra dan teknik melodi yang unik dan magis.

Itulah secuwil pertunjukan ulu ambek yang dimainkan Komunitas Ulu Ambek Nagari Lubuk Pandan, Padang Pariaman, Sumatera Barat, Agustus 2017. Disaksikan Wakil Bupati Padang Pariaman Suhatri Bur, Camat 2×11 Enam Lingkung Azwarman, Wali Nagari Lubuk Pandan Melsy Anrany serta para warga.

Tetua-tetua adat di sana menjelaskan bahwa ulu ambek juga disebut silek bayang (silat bayangan) karena pertarungan silat khusus kaum pria yang dipimpin seorang janang (wasit pria), dilakukan oleh dua orang pendekar melalui gerakan menyerang maupun gerakan menangkis, tanpa saling menyentuh tubuh lawannya. Mereka hanya ber pedoman pada adab yang tersirat dalam ungkapan “lalu jo syarak diambek jo syarak; lalu jo adaik, diambek jo adaik (diserang dengan agama, [maka] ditangkis dengan agama; diserang dengan adat, [maka] ditangkis dengan adat).

Istilah ulu ambek berasal dari bahasa Minang, yakni lalu (menyerang) dan ambek (menangkis). Si penyerang disebut pa-alua, sedangkan si penangkis disebut pa-ambek. Keduanya bertarung untuk memperebutkan pakaian yang menjadi perlambang kebesaran serta simbol kehormatan kepemimpinan dan martabat niniak mamak, yaitu ikat kepala (detar), kain samping, dan baju yang mereka pakai. Tapi ada juga yang berbeda pandangan bahwa dalam ulu ambek , terutama saat ini, tidak lagi bicara kalah menang. Sebab, yang lebih dipentingkan adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kesabaran, keikhlasan, dan memelihara silaturrahim.

Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang penting dan menjadi alasan utama untuk menggelar permainan rakyat ulu ambek itu didasari oleh tujuan alek nagari yang bermuara pada kepentingan masyarakat, baik dalam ranah simbolik maupun kehidupan nyata. Kegiatan-kegiatan itu meliputi upacara Batagak Pangulu, yaitu pemilihan dan pengangakatan tokoh-tokoh dan pemimpin adat pangulu (pemimpin) dan rajo (raja); pemilihan dan pengangkatan Kapalo Mudo, yaitu kepemimpinan kaum muda yang selalu menjadi inisiator dalam kegiatan-kegiatan masyarakat; pemilihan pengangkatan para pemburu yang di tengah-tengah masyarakat petani berperan mengawal sistem pertanian dari serangan hama babi dan tupai kelapa, disebut Muncak Buru; peresmian balai adat nagari, dan peresmian pasar-pasar tradisional yang baru, tempat mereka berinteraksi dalam sistem ekonomi mereka.

Dalam bahasa orang Pariaman, ulu ambek diekspresikan sebagai “suntiang niniak mamak—pamainan nan mudo-mudo”. Ungkapan tradisional ini menempatkan ulu ambek sebagai simbol kebesaran adat dan kepemimpinannya. Oleh sebab itu, di tengah- tengah perkembangan dan derasnya arus perubahan sekarang ini, komunitas-komunitas yang dengan sadar memelihara dan melakukan transformasi warisan pengetahuan tradisi budaya di tengah-tengah tantangan kehidupan modern dan global seperti sekarang dinilai telah berhasil mengawal martabat dan kebesaran kepemimpinan adat yang melekat sebagai simbol di dalam tradisi ulu ambek itu. Di sisi lain, tradisi pertarungan dalam permainan ulu ambek itu sendiri merupakan metafora persaingan yang sehat melalui pertarungan gerak silat non-kontak.