Masyarakat lebih mengenal Kiai Kanjeng sebagai sebuah komunitas alias grup musik yang beranggotakan Novi Budianto, Joko Kamto, dan Totok Raharjo, boleh dibilang itu adalah berkah dari sebuah alur sejarah perjalanan mereka berkesenian. Terlebih ketika gamelan Kiai Kanjeng bersama Emha Ainun Nadjib menelorkan album musik bertajuk Kado Muhammad dengan lagu “Tombo Ati”-nya yang sangat populer, nama Kiai Kanjeng kian terangkat. Bahkan kini nama Kiai Kanjeng tak bisa lepas dari nama Emha Ainun Nadjib bersama kelompok pengajian Padang mBulan dan jamaah Maiyah-nya Kiai Kanjeng pada dasarnya sama seperti gamelan (Jawa) pada umumnya. Bahan dan bentuknya sama-sama berangkat dari konsep atau sistem tangga nada pentatonis, yang terbagi atas dua jenis nada: pelog dan slendro. Akan tetapi pada gamelan yang diusung Kiai Kanjeng kedua jenis nada ini diperkaya—baik bilahanya maupun penggunaan instrumen biola, suling, gitar akustik, gendang dan alat-alat perkusi sehingga Kiai Kanjeng juga merambah memasuki wilayah sistem tangga nada modern: diatonis.
Sempat mengalami masa fakum, Kiai Kanjeng sebagai sebuah kelompok kemudian melahirkan semacam grup musik bernama Gamelan Kiai Kanjeng. Selain nama-nama seperti Novi Budianto, Joko Kamto, Totok Raharjo dan tentu saja Emha Ainun Nadjib, di sana juga tercatat nama Indra Tranggono, Butet Kertaredjasa, dan Djaduk Ferianto. Tiga nama terakhir ini belakangan membentuk kelompok Kua Etnika, sementara Kiai Kanjeng tetap dihidupi oleh Novi, Joko, Totok dan Emha. Hingga kini!
Sebagai sebuah konsep tangga nada, Kiai Kanjeng yang bukan pelog dan bukan slendro tersebut terus melakukan eksperimen pelarasan nada di bawah arahan Novi Budianto. Nada gamelan Kiai Kanjeng yang belum sempurna kembali diperkaya dengan instrumen saron, bonang, dan sebagainya. Lalu lahirnya apa yang mereka namaka “ngeng”, suatu metode kesepakatan bunyi yang lahir dari naluri musikal dan kepekaan akan pijakan nada. Inilah sistem notasi yang dipakai oleh musik Kiai Kanjeng. Potensi sense of ngeng inilah yang menjadi faktor mendasar dalam berolah musik. Ngeng juga menjadi partitur abstrak dalam pe-notasi-an dan acuan penciptaan musik Kiai Kanjeng. Meskipun demikian—sebagai tertuang di laman Kiai Kanjeng dan tercatat dalam dokumentasi Progress Jogja— Kiai Kanjeng tidak menutup kemungkinan penggunaan sistem notasi yang lain, sebagaimana diambil oleh para pemain musik dari berbagai latar belakang, keberangkatan, dan kemampuan musikal yang berbeda.
Sebagaimana diakui Totok Raharjo, eksplorasi musik Kiai Kanjeng hampir tidak membatasi dirinya pada jenis atau aliran musik. Karena secara musikal peralatan yang dimainkan Kiai Kanjeng memiliki berbagai kemungkinan, maka pengembaraan cipta mereka pun sangat ragam: dari eksplorasi musik tradisional Jawa, Sunda, Melayu dan China, termasuk penggalian dari berbagai etnik lain seperti Madura, Mandar, Bugis dan lainnya. Bahkan ketika berulang kali tampil dalam Festival Gamelan Internasional, Kiai Kanjeng juga tidak menutup dirinya untuk memainkan nomor-nomor musik Barat modern, pop, blues, dan bahkan warna musik jazz pun dimunculkan saat mereka tampil pada Festival Jak-Jazz. Begitu pula dangdut.
Ketika tur di enam kota di Mesir, Kiai Kanjeng mengkhususkan diri mengaransir kembali lagu-lagu “Si Bintang Timur” Ummi Kaltsum dan memperoleh sambutan tak terduga hangatnya dari masyarakat Mesir. Selain ke Mesir, Kiai Kanjeng sudah mengembara jauh ke berbagai penjuru dunia dan mendapat penghargaan luar biasa oleh masyarakat musik dan meraih penghargaan masyarakat (musik) dunia.