Perjalanan ke kampung ini tak butuh waktu lama dari kota Waikabubak. Setelah menanjak sebentar, tampaklah rumah-rumah asli Sumba dengan atap alang-alang atau ilalang (Imperata cylindrica) seolah ingin menusuk langit. Rumah dengan arsitektur vernakuler itu disebut uma.
Kampung ini sekilas seperti berbentuk oval, memanjang di atas bukit. Sekitar seratusan uma berdiri di kampung ini. “Panjang kampung ini bisa mencapai satu kilometer,” kata Rato Lado Regi Tera, pemimpin spiritual komunitas Kampung Tarung.
Sesuai peruntukannya, di sini terdapat uma tempat tinggal, uma ndewa yang menjadi rumah keramat untuk ritual kepercayaan Merapu (kepercayaan asli Sumba), dan uma bokulu yang menjadi tempat musyawarah adat. Di tengah kampung ada pelataran. Di sana terdapat sejumlah kubur batu berbentuk altar.
Rumah adat Sumba atau uma adalah bangunan adat arsitektur vernakular pencakar langit. Strukturnya segi empat di atas panggung yang ditopang kerangka utama berupa empat tiang lurus yang disebut kambaniru ludungu. Kemudian, ada 36 tiang atau kambaniru berupa struktur portal dengan sambungan pen memakai kayu.
Rato Lado Regi menjelaskan, uma terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama adalah atap rumah berbentuk kerucut seperti menara yang difungsikan untuk menyimpan pusaka dan hasil panen. Bagian kedua adalah tempat hunian atau bei uma yang tidak menyentuh tanah. Di sini terdapat tungku yang digunakan sebagai dapur bersama, serta ruang untuk pria dan wanita, juga beranda berlantai bambu untuk tempat bermusyawarah disebut bangga. Bagian ketiga adalah kali kabunga atau bagian bawah yang biasa dijadikan kandang ternak seperti kerbau, kuda, kambing atau babi.
“Rumah-rumah di sini harus memakai alang-alang. Bagi kami,rumah seperti manusia juga. Alang-alang itu seperti rambut manusia. Tiang-tiangnya ibarat kerangka tubuh dan syaraf-syarafnya. Ini kepercayaan Merapu kami,” katanya.
Penduduk di kampung itu, kata Rato, juga harus menggunakan tungku api. “Pengasapan dengan api tungku membuat rumah ini jadi awet. Kalau pakai kompor, pengasapan tidak cukup karena asapnya tak banyak,” jelasnya. “Tapi kami tak menolak listrik. Listrik penting bagi kami untuk penerangan. Kadang kami membuat acara pada malam hari, dan butuh penerangan listrik,” lanjutnya.
Di tengah pelataran terdapat uma ndewa, yaitu pondok ilalang berukuran kecil. Hanya Rato yang boleh masuk ke sini untuk berdoa. Di sini Rato berdoa meminta perlindungan, pertolongan, dan kesejahteraan bagi warga Kampung Tarung khususnya dan masyarakat Sumba umumnya. Juga menyampaikan ucapan syukur kepada leluhur pertama Sumba, Sudi Womanyoba, sebagai penjaga tertinggi.
Tiap rumah di sini dihuni 3-4 keluarga. Tidak kurang sekitar 400 keluarga hidup di kampung ini. Semua memeluk kepercayaan Merapu, yaitu kepercayaan asli masyarakat Sumba mengenai Tuhan. Masyarakat di sini meyakini bukit tempat Kampung Tarung berdiri merupakan tempat tinggal pertama leluhur Sumba, Sudi Wonanyoba. Ia menjaga pasangannya yang disebut Tarung.
Setahun sekali masyarakat Kampung Tarung menggelar ritual adat Wula Phodu atau bulan suci pada Oktober atau November. Ritual ini sudah berlangsung selama ratusan tahun.
“Saat menyambut acara ini kami harus menyucikan diri. Besok mau melakukan ritual, saya harus sucikan diri agar apa yang kita buat tidak boleh masuk dalam rumah suci. Semua anggota keluarga juga harus menyucikan diri. Masuk pelataran tidak boleh bawa yang kotor. Bahkan saya tidak boleh tidur bersama istri,” jelas Rato yang mulai menjadi pemimpin komunitas itu sejak 2005.
“Komunitas itu penting karena komunitas adalah penjaga, pelestari, dan pelaku budaya. Tanpa komunitas, siapa yang menjadi penjaga kebudayaan? Tanpa komunitas, siapa yang menjadi pelestari kebudayaan? Tanpa komunitas siapa yang menjadi pelaku kebudayaan?” jelas Rato dengan gaya retoris tentang pentingnya keberadaan komunitas kebudayaan di Tanah Air.