Tak banyak orang tahu bahwa tradisi wayang kulit juga ada di Palembang. Setelah hampir tiga dasawarsa ia tenggelam di dasar ingatan wong kito, kini wayang palembang muncul kembali ke permukaan. Tidak terkenal, memang, akan tetapi paling tidak ia telah bangkit dari mati suri-nya sejak abad lampau.
Adalah Kiagus Wirawan Rusdi, anak muda yang meng-“hidup”-kan dan menghidupi kembali
wayang kulit palembang. Apa yang dia lakukan itu ibarat (meminjam peribahasa Melayu lama) membangkitkan batang yang terendam. Itu pun tidak sekali jadi. Perlu waktu bertahun-tahun, bahkan untuk sekadar belajar bagaimana cara memegang ‘anak” wayang berikut memainkannya.
Keinginan untuk “menghidupkan” kembali wayang palembang itu, diakui Iwan (begitu ia biasa dipanggil oleh teman kerabatnya), pada mulanya tidaklah muncul begitu saja dari dalam dirinya. Kalau saja pada tahun 2002 tidak ada bantuan berupa sumbangan seperangkat wayang berikut dana pembinaan dari UNESCO bekerja sama dengan Sekretariat Nasional Wayang Indonesia (Senawangi) kepada ki dalang Rusdi Rasyid, orangtua Iwan, sangat boleh jadi nasib wayang palembang benar-benar mati untuk selamanya. Sebab, sejak rumah mereka di gang kecil di daerah Tangga Buntung, Kecamatan Gandus, terbakar pada tahun 1980-an—yang ikut menghanguskan semua peralatan wayang yang ada, sejak itu pula wayang palembang hilang dari peredaran.
Di awal milenium kedua, UNESCO—lembaga PBB untuk urusan pendidikan, sains dan kebudayaan—sedang berupaya melakukan semacam program revitalisasi terhadap sejumlah kesenian tradisi yang terancam punah. Di bidang seni pewayangan, UNESCO menggandeng Senawangi. Bagai ketiban bintang, salah satu yang dijadikan objek revitalisasi adalah wayang palembang. Ki dalang Rusdi Rasyid pun mulai mencari bakat-bakat terpendam dalam wilayah pewayangan. Namun atmosfer kesenian wayang di Palembang tak bisa disandingkan dengan di Jawa. Alih-alih untuk jadi dalang dan pengrawit, mencari penonton wayang saja bukanlah perkara gampang. Alhasil, hingga Rusdi Rasyid berpulang pada 2004, wayang palembang masih tetap tertidur pulas.
Berpulangkan ki dalang Rusdi Rasyid justru menjadi semacam titik balik bagi perjalanan wayang palembang. Dalam sebuah pertemuan keluarga, Wirawan yang merupakan sulung dari sembilan anak ki dalang Rusdi didaulat untuk menggantikan sang bapak sebagai dalam wayang palembang. “Waktu itu kato mamang (paman—pen), ‘Biasonyo di dalam suatu keluargo, begitu wongtuo kito meninggal mako yang mesti ngambil peran dan tanggung jawab, yo, anak paling tuo’,” tutur Iwan seraya mengenang awal mula ia menetapkan hati untuk menjadi dalang wayang palembang.
Tanggung jawab! Alangkah mulia kata itu, tetapi betapa sulit mengembannya. Itu pula yang dirasakan Wirawan. Berbeda sewaktu Rusdi Rasyid (alm) menjadi dalang meneruskan profesi ayahnya (Abdul Rasyid, kakek Wirawan). Ketika itu Rusdi Rasyid sudah ikut menggeluti wayang palembang semenjak sang bapak masih aktif mendalang. Ia bisa belajar langsung pada sang empu. Sementara Wirawan “dipaksa” menjadi dalang setelah sang bapak meninggal, dan jauh sebelum itu sang bapak tak lagi memainkan anak wayang alias ketika wayang palembang sedang tertidur pulas. Praktis masa kecil Wirawan tak lagi bersentuhan dengan dunia pewayangan yang digeluti sang bapak.
Namun, keberuntungan selalu memberi celah untuksebuah keberhasilan. Berbekal sejumlah kaset rekaman saat sang bapak mendalang, sedikit demi sedikit Wirawan mulai belajar menirukan suara yang ada di pita kaset. Hingga tengah malam, di saat orang lain tengah tertidur pulas, Wirawan mempelajari intonasi suara, penggunaan bahasa Palembang alusan (semacam bahasa Jawa kromo inggil) sebagai media penyampai pesan, hingga cerita yang dimainkan. Begitupun musik pengiring pertunjukan, ia pelajari hanya lewat suara dari tape recorder yang ia beli khusus untuk memutar pita kaset rekaman pertunjukan wayang peninggalan sang bapak.
“Sebetulnya pihak UNESCO mau memfasilitas saya agar mengikuti pendidikan kilat selama dua-tiga bulan belajar mendalang ke Solo atau Yogya. Akan tetapi ditolak oleh Pak Dalyono (pejabat kesenian di Kanwil Depdikbud Sumsel ketika itu yang kerap mendampingi Wirawan). Dia takut kebiasaan-kebiasaan (mendalang) di Jawa terbawa-bawa di sini. Kata
Pak Dalyono kepada orang UNESCO, ‘Biarlah dia belajar sendiri kebiasaan-kebiasaan (mendalang) di sini’,”
Dua tahun lamanya proses “menjadi” dalang itu berlangsung. Belakangan ia mendapat kiriman dari Senawangi berupa rekaman dalam bentuk kaset video (VCD) pertunjukan ayah di Jakarta. Proses belajar menjadi dalang wayang palembang pun kian “menjadi”, lantaran lewat gambar hidup itu ia bisa melihat bagaimana sang bapak memainkan anak wayang: bukan hanya sekadar lewat suara.
Pada saat bersamaan, Wirawan mengajak sejumlah orang untuk belajar menjadi pengrawit, termasuk dua adiknya: M Ali Imron dan Hidyatullah. Seperti halnya Wirawan belajar mendalang lewat suara pita rekaman, para calon pengrawit ini pun belajar membuat pukulan pada peralatan gamelan juga dengan mendengar bunyi rekaman kemudian ditirukan. Tak mudah, memang, tetapi itulah yang bisa mereka lakukan.
“Kadang sampai berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, baru dapat ‘pukulan’ yang pas sama dengan yang ada di kaset rekaman itu,” kata Ali Imran. “Pokoknyo, dicocok-cocok-kelah agar samo,” timpal M Haris, adik ipar Wirawan.dicocok-cocok-kelah agar samo,” timpal M Haris, adik ipar Wirawan. Begitulah proses “menjadi” itu berlangsung pelan, terlebih dalam mencari para pengrawit. Untuk sampai pada komposisi pengrawit yang mengiringinya setiap tampil mendalang saat ini, Wirawan mendapatkannya setelah melalui tiga gelombang perekrutan. Gelombang pertama dan kedua bubar. Pada perekrutan ketiga baru cocok. “Pengrawit generasi ketigalah yang masih ikut sampai sekarang. Namun untuk mengumpulkan mereka tidak mudah, karena kesibukan dan tempat tinggal yang jauh,” katanya.
Setelah lebih dua tahun terus belajar tapa guru, baru pada tahun 2006 Wirawan berani tampil mendalang di depan publik. “Itu pun karena dipaksa Pak Dalyono,” katanya. Momen tersebut datang pada peringatan ulang tahun Kerukunan Keluarga Palembang (KKP). “Nunggu kapan lagi? Pokok-nyo, salah-benar, maen. Lagi pulo, wong laen idak akan tau kalu itu salah,” turur Wirawan menirukan ucapan Dalyono (alm) ketika itu.
Alhasil, lakon “Petruk Munggah Ratu” pun menandai pentas pertama ki dalang Kiagus Wirawan. Sejak saat itu, kepercayaan dirinya makin tumbuh dan tekadnya untuk meneruskan tradisi mendalan wayang palembang kian mantap. Sejak itu pula, orang mulai mengenalnya sebagai dalang wayang palembang dan sesekali diundang untuk merayakan suatu hajatan. Bahkan beragam festival pun telah pula dia ikuti.
Secara umum, tak ada perbedaan mendasar antara wayang kulit versi wayang palembang dengan wayang kulit di Indonesia—khususnya di Jawa—pada umumnya. Baik cerita maupun tokoh-tokoh umumnya sama, kecuali beberapa perbedaan kecil di sana-sini. Misalnya, kalau dalam dunia pewayangan Jawa ada tokoh Togog selain Semar, Petruk, Gareng; dalam wayang palembang tokoh Togog tidak ada.
Salah satu pembeda utama adalah pada medium bahasa yang digunakan, yang narasi dan dialog disampaikan dalam bahasa Palembang; baik bahasa Palembang alusan maupun bahasa Palembang sehari-hari. Pembeda lain—dan ini menurut Kiagus Wirawan merupakan salah satu ciri khas wayang palembang—adalah barisan raja yang keluar lebih dahulu, baru diikuti bawahan-bawahannya. “Ini untuk memberi semacam pesan kepada penonton bahwa dalam kehidupan sehari-hari maka orang tua dulu yang mesti memberi contoh. Kalau di kantor, ya, pimpinan mesti datang lebih dahulu daripada bawahannya. Bukan sebaliknya,” kata Wirawan.
Jika semula ia seolah terpaksa meneruskan tradisi mendalang di keluarganya, kini perasaan itu mulai terkikis dan berganti menjadi semacam panggilan (untuk tidak menyebutkanya sebagai tanggung jawab) demi kelangsungan wayang palembang. Dia sadar betul bahwa seni tradisi ini bukanlah ladang penghasilan, mengingat dalam setahun paling hanya 2-3 kali mereka diundang untuk tampil. Bahkan ia mengaku pernah selama dua tahun vakum lantaran tak satu pun permintaan ataupun undangan pementasan wayang ke Sanggar Wayang Kulit Sri Palembang yang ia pimpin.
Namun semangat untuk melestarikan wayang palembang tak membuatnya surut. Bahkan kini ia mulai bisa tersenyum. Dua anak muda yang belia, Novi Ananda dan M Syafri Rizki, kini sudah mulai mengikuti jejaknya sebagai dalang. “Kalau satu saat ada permintaan manggung dan saya berhalangan, saya tak perlu lagi khawatir karena sudah ada yang bisa menggantikan,” kata Wirawan.
Sumber: Buku Profil Penerima Anugerah Kebudayaan 2019