Ki Ledjar Subroto, Pelestari Wayang Kancil dari Yogyakarta

0
3463

Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Pelestari 2016. Sosok kancil seringkali dipahami keliru, bahkan disimbolkan sebagai binatang yang yang licik dan kerap mengecoh lawan mainnya. Melalui tangan kreatif Ki Ledjar Subroto-lah si kancil tampil menjadi sosok pahlawan, binatang cerdas yang seringkali menebarkan inspirasi bagi yang mengikuti kisahnya. Ki Ledjar mampu menampilkan sosok kancil yang licik menjadi kancil yang inspiratif melalui media pewayangan. Melalui media wayang kancil inilah Ki Ledjar menyampaikan pesan-pesan luhur tentang kehidupan: mulai dari isu-isu persahabatan, persoalan lingkungan, budi pekerti, dan lain sebagainya.

Ki Ledjar Subroto memiliki nama kecil Djariman. Iag lahir pada 20 Mei 1938 di Desa Sapuran, Kawedanan Wonosobo (sekarang Kabupaten Wonosobo), Jawa Tengah. Ia belajar di sekolah rakyat (SR) dan lulus pada 4 Mei 1938. Setamat dari SR, pada usia 17 tahun, Ki Ledjar mengikuti ujian untuk melanjutkan ke sekolah guru bantu (SGB) dan lulus, akan tetapi ia justru memilih kembali ke bangku kelas enam SR.

Ayah Ki Ledjar bernama Budiman, berasal dari Kampung Terban, Yogyakarta. Dia adalah penabuh gamelan dan pandai mengajar karawitan. Pada waktu usia 6 tahun, Djariman pernah diajak ikut berkeliling ayahnya untuk mengikuti ke mana saja ketoprak tobong (ketoprak keliling) mengadakan pertunjukan. Namun sayang, peristiwa harmonis tersebut tidak berlangsung lama. Sang ayah tiba-tiba pergi meninggalkan keluarganya tanpa pemberitahuan apa pun. Sampai-sampai banyak yang mengira bahwa ayah Ki Ledjar sudah meninggal dunia. Ada yang beranggapan bahwa ayahnya ‘kabur’ karena istrinya, yaitu Sugiyah, berselingkuh dengan laki-laki lain, yaitu Mangun Beni. Tanpa diketahui, ternyata ayahnya, yang memiliki nama lain Hadisukarto, berada di Semarang. Ia ternyata bergabung dengan kelompok Wayang Orang Ngesti Pandhawa yang bermarkas di kota tersebut.

Djariman, alias Ki Ledjar, bertemu kembali dengan ayahnya ketika berusia 17 tahun di Magelang, saat sang ayah sedang tampil sebagai penabuh bonang penerus. Di sinilah Ki Ledjar diperkenalkan kepada Ki Nartosabdo (pengendang yang kemudian dikenal sebagai maestro dalang Indonesia) dan Ki Sastrosabdo (pimpinan Wayang Orang Ngesti Pandhawa). Pada saat itu, Ki Nartosabdo yang belum menjadi dalang sedang yasa (mengoleksi) wayang purwa. Oleh Ki Nartosabdo, Ki Ledjar disarankan agar ikut ke Semarang bersamanya, akan tetapi keluarganya tidak mengizinkan.

new-picture-5Setamat SR, Ki Ledjar pernah diminta menggambar tokoh-tokoh wayang purwa pada kertas yang kemudian hasilnya ditempelkan di tembok-tembok sekolahnya. Untuk itu, dia mendapat sekadar upah untuk membeli kertas. Selain itu, dia juga menggambar binatang-binatang dari buku-buku sekolah, yang membuat beberapa episode dongeng si kancil.

Saat ditemui di rumahnya yang artistik di tengah kota Yogya, Ki Ledjar begitu penuh semangat ketika diminta menceritakan masa-masa awal kesenimannya. Inilah kira-kira masa formatif dalam hidupnya, hingga kemudian mengantarkannya menjadi seniman yang dikenal sebagai pelestari wayang kancil.

Peristiwa hidupnya yang lain, yang ikut memberi pengaruh bagi pengembangan bakat seninya, yaitu pengalaman Ki Ledjar ketika bekerja dengan seorang pengusaha mebel asal Purwodadi bernama Tejo. Ketika ia diajak berkunjung ke rumah Tejo, ia mendapatkan sekotak wayang purwa milik ayah Tejo yang memang seorang guru kasepuhan (kebatinan). Di sana Ki Ledjar diminta untuk menyungging gebingan wayang (wayang yang belum di-sungging) dan menyungging ulang wayang-wayang Tejo yang kusam. Dari sinilah Ki Ledjar lebih mengenal mengenai dunia pewayangan. Peristiwa lain lagi yang berperanguh, yaitu ketika Ki Ledjar bekerja dengan Ki Nartosabto pada tahun 1954 sebagai penyungging gebingan wayang di rumahnya. Ketika itu, Ki Nartosabdo memberi pekerjaan kepada Ki Lendjar untuk menyungging asesoris pakaian wayang orang, misalnya praba, irah-irahan, sabuk dan sebagainya. Ketika Ki Nartosabdo mendalang, Ki Ledjar pun selalu mengikutinya ke mana pun, sampai Ki Nartosabdo wafat pada tahun 1985.

Nama “Ledjar” sendiri sebetulnya diberikan oleh Ki Nartosabdo. Kata “Ledjar” dalam bahasa Jawa artinya “senang”, karena memang Ki Ledjar sendiri suka dengan humor dan selalu membuat senang orang-orang yang berada di sekitarnya. Ketika Ki Ledjar menikah dengan Prapti, istrinya yang pertama yang kemudian cerai, ia diberi nama mertuanya, Hadisubroto. Karena itu sampai sekarang ia dikenal sebagai Ledjar Subroto.

Pada tahun 1964, Ki Ledjar menikah lagi dengan Sukarjiyah (istri Ki Ledjar sampai sekarang) yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Pada tahun 1970 mereka berdua mencoba mengadu nasib ke Yogyakarta dan menetap hingga saat ini. Pada masa awal kehidupan mereka di Yogya tidaklah mudah. Akan tetapi pengalamannya mengikuti Ki Nartosabdo ke berbagai tempat di Jawa Timur memberinya inspirasi untuk tetap bertahan hidup dalam kondisi apa pun. Ketika ramalan NALO (National Loterey) sedang ramai dan menjadi wabah di mana-mana, keahliannya menggambar dan menyungging wayang dia manfaatkan untuk membuat lembaran ramalan dan dijual kepada para pecandu nomor NALO. Ia juga sempat bekerja di Toko Tjokrosoeharto di Jalan Panembahan sebagai penyungging wayang. Orang lain yang juga memberi inspirasi untuk membuka usaha tatah-sungging wayang adalah Biman dari Bantul, yang waktu itu menitipkan wayangnya kepada Ki Ledjar untuk dijual.

new-pictureBerkat ketekunan dan keuletannya dalam melestarikan wayang, khususnya wayang kancil,  ia pernah mendapat penghargaan oleh majalah nasional GATRA pada tahun 1995. Penghargaan ini bernama Penghargaan Gatra II 1995 yang dianugerahkan pada 12 Desember 1995.  Penghargaan ini merupakan apresiasi yang diberikan kepada “seniman profesional, atau pribadi, atau lembaga yang dinilai berjasa mempertahankan, mengembangkan, atau meningkatkan harkat dan kehidupan di bidang seni”. Ketika Ki Ledjar mengetahui bahwa dirinya juga mendapatkan Anugerah Kebudayaan 2016 untuk Kategori Pelestari  dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ia lebih bersemangat lagi bercerita mengenai wayang kancil.

Ki Ledjar merasa tergugah hatinya ketika seorang berkebangsaan Belanda, yaitu Rien Bertmans, datang kepadanya untuk memesan boneka-boneka wayang milik Ki Ledjar. Rien Bertmans sendiri adalah seorang dalang wayang purwa yang menimba ilmu pedalangan di Surakarta. Ia juga memesan boneka-boneka binatang lainnya. Dari sinilah Ki Ledjar merasa perlu memopulerkan lebih jauh dunia pewayangan kepada masyarakat luas, bukan hanya kepada para ahli. Saat itu, cerita-cerita binatang sudah kurang dimanfaatkan sebagai alternatif pendidikan budi pekerti. Ia juga merasa isu lingkungan hidup yang sedang digalakkan oleh pemerintah harus pula dimasyarakatkan, terutama kepada anak-anak. Oleh karena itu, dia ingin mencari alternatif pertunjukan yang dirasa bermanfaat untuk anak-anak. Pilihan pun jatuh pada wayang kancil. Pada tahun 1980, ketika jenis binatang dalam koleksinya lengkap, ia pun mulai bergiat aktif memopulerkan wayang kancil hasil kreasinya.

Cerita wayang kancil diambil dari dongeng anak, yaitu dongeng kancil dari Jawa, cerita “Pelandoek Djinaka” dari Melayu, dan cerita rakyat lainnya. Cerita wayang kancil dapat digabung menjadi satu kesatuan yang utuh dan disesuaikan dengan tema. Durasi pertunjukkan sekitar  45 menit atau satu jam. Adapun waktu terlama pertunjukan sekitar  tiga jam. Kadang alat musik juga dipakai untuk menambah suasana dalam pertunjukan yang ditampilkan.

Bak gayung bersambut, berkat ketekunan dan konsistensi Ki Lendjar, pada akhirnya resonansi kreativitas tersebut terdengar ke mana-mana, bahkan hingga ke mancanegara. Pernah ada satu pertunjukkan di Jakarta yang sebetulnya memamerkan karya-karya Ki Ledjar, akan tetapi oleh panitia diberi nama lain, yaitu Bo Lim. Meski pada akhirnya panitia pameran memohon maaf atas kecerobohan tersebut.

Ia kini patut berbangga karena kerja kerasnya itulah ia kini sering diundang ke luar negeri. Bukan hanya itu, ia pun memiliki banyak murid yang berasal dari luar negeri, seperti  Sarah Bilby dari Australia yang jatuh cinta pada wayang kancil. Kecintaan Sarah Bilby kepada wayang kancil bermula ketika seorang gurunya di SMA di Australia memperkenalkan wayang. Karena tertarik ia kemudian belajar mengenal wayang purwa dan menekuninya secara serius kesenian Jawa ini. Dengan tekun ia mempelajari dan juga belajar mendalang. Baru ketika di Yogya ia mulai mengenal wayang kancil, yang kemudian ia jadikan sebagai bahan tesis untuk menyelesaikan pendidikan S2 pada tahun 1997. Dalam setiap pementasannya, Sarah Bilby selalu menunjukkan kebolehannya dengan mengemas cerita-cerita tentang pelajaran budi pekerti dan pengenalan lingkungan hidup. Baik pementasan di Indonesia maupun di negeri asalnya, Australia, kini ia selalu membawakan wayang kancil.

Ki Ledjar juga patut berbangga karena cucu kesayangannya,  Ananto Wicaksono atau lebih dikenal Nanang, juga memiliki kemahiran yang sama dengan dirinya. Nanang sendiri, yang kini tinggal di Jepang bersama istrinya, sering ikut Ki Ledjar dari kecil dan sangat mahir juga berdalang. Meski begitu tetap saja Ki Ledjar memiliki harapan bahwa seni wayang kancil dapat terus dihidupkan oleh generasi muda lainnya agar tidak punah di kemudian hari. Ia pun selalu terbuka untuk menerima siapa pun yang ingin belajar wayang kepadanya secara cuma-cuma. Selamat Ki Ledjar!new-picture-1

Biodata

Nama               : Ki Ledjar Subroto (nama kecil Djariman)

Lahir                : Sapuran, Wonosobo, 20 Mei 1938

Profesi             : Dalang Wayang Kancil

Penghargaan

  • Anugerah Kebudayaan Kategori Pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016
  • Penghargaan Gatra II 1995