KERIS INDONESIA

Keris adalah benda budaya yang eksotik dan original. Keris adalah ‘karya seni’ sekaligus ‘benda budaya’ asli Nusantara. Budaya keris terbentang dari Ujung pulau Sumatra di barat, Semenanjung Siam dan Sulu di Utara, Gugusan kepulauan Maluku di Timur dan Kepulauan Nusa Tenggara di Selatan. Keris menjadi identitas pengikat yang mendorong rasa kebangsaan itu tumbuh subur di Nusantara. Rasa kebangsaan memerlukan simbol, bukan hanya dalam pengertian simbol yang bersifat abstrak melainkan simbol nyata yang dapat mewakili hampir dari seluruh suku bangsa yang ada di Nusantara. Bukti sejarah menunjukkan pengaruh budaya keris dalam teknik tempa logam yang digunakan oleh suku-suku bangsa yang mendiami kepulauan nusantara. Budaya keris menyebar sejalan dengan perdagangan dan hubungan diplomatik diantara kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Keris merupakan senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (serat-serat lapisan logam cerah) pada helai bilah. Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan, sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Saat ini, penggunaan keris lebih banyak sebagai ornamen pelengkap dalam berbusana adat. Sebagai produk kebudayaan, keris mengandung sejumlah nilai luhur kebudayaan pembuatnya yang disimbolkan dalam berbagai bagian keris. Selain itu, keris juga marak menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah terpengaruh oleh Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, Pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan dan Filipina Selatan (Mindanao). Keris Mindanao dikenal sebagai kalis. Keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan. Keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia sejak tahun 2005.

Bagian-bagian Keris
Keris atau dhuwung terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bilah (wilah atau daun keris), ganja (penopang), dan hulu keris (ukiran, pegangan keris). Bagian yang harus ada adalah bilah. Hulu keris dapat terpisah maupun menyatu dengan bilah. Ganja tidak selalu ada, tapi keris-keris yang baik selalu memilikinya. Keris sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris atau warangka.
Bilah keris merupakan bagian utama yang menjadi identifikasi suatu keris. Pengetahuan mengenai bentuk (dhapur) atau morfologi keris menjadi hal yang penting untuk keperluan identifikasi. Bentuk keris memiliki banyak simbol spiritual selain nilai estetika. Hal-hal umum yang perlu diperhatikan dalam morfologi keris adalah kelokan (luk), ornamen (ricikan), warna atau pancaran bilah, serta pola pamor. Kombinasi berbagai komponen ini menghasilkan sejumlah bentuk standar (dhapur) keris yang banyak dipaparkan dalam pustaka-pustaka mengenai keris. Pengaruh waktu memengaruhi gaya pembuatan. Gaya pembuatan keris tercermin dari konsep tangguh, yang biasanya dikaitkan dengan periodisasi sejarah maupun geografis, serta empu yang membuatnya. Secara umum, penjelasan dari 3 bagian keris adalah sebagai berikut:

• Hulu (Pegangan Keris)
Pegangan keris memiliki motif yang bermacam-macam. Untuk keris Bali ada yang berbentuk menyerupai dewa, pedande (pendeta), raksasa, penari, pertapa hutan. Ada pula pegangan keris yang diukir dengan menggunakan emas dan batu mulia serta bertatahkan batu mirah delima. Motif pegangan keris yang berasal dari Sulawesi lebih didominasi oleh corak burung laut. Digunakannya corak burung laut dalam pegangan keris Sulawesi erat kaitannya dengan sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut. Bagi pelaut Sulawesi, burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Selain ditemui pada keris Sulawesi, motif burung juga bisa ditemui pada keris dari daerah lain seperti motif kepala burung yang ditemui pada keris Riau Lingga. Pegangan keris dari daerah lain seperti Aceh, Riau, Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu mempunyai ukiran dan menggunakan perlambang yang berbeda. Akan tetapi, secara umum bahan yang digunakan sebagai hulu keris memiliki kesamaan. Bahan-bahan yang kerap digunakan sebagai hulu keris antara lain adalah gading, tulang, logam, dan yang paling banyak digunakan adalah kayu. Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng dan bungkul.
• Wrangka (Sarung Keris)
Wrangka atau sarung keris adalah komponen keris yang mempunyai fungsi untuk membungkus keris ketika tidak digunakan . Bahan-bahan yang sering digunakan untuk wrangka adalah kayu jati, kayu cendana, kayu timoho dan kayu kemuning. Sejalan dengan perkembangan zaman terjadi penambahan fungsi wrangka sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya. Bagian atas atau ladrang-gayaman sering diganti dengan menggunakan gading.
Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut gandar atau antupan. Secara garis besar terdapat dua bentuk wrangka. bentuk yang pertama dikenal dengan wrangka ladrang. Wrangka dengan jenis ladrang yang terdiri atas beberapa bagian, yakni : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Bentuk kedua dari Wrangka dikenal sebagai Wrangka Gayaman (gandon). Wrangka gayaman memiliki bagian-bagian yang hampir sama dengan wrangka ladrang, hanya saja pada wrangka gayaman tidak ditemui adanya bagian angkup, godong, dan gandek.
Aturan pemakaian bentuk wrangka sudah ditentukan, walau pun bersifat tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi, misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang). Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman, pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana.
Gandar berfungsi membungkus wilah (bilah) keris. Gandar biasanya terbuat dari kayu karena pertimbangan untuk tidak merusak wilah yang terbuat dari berbahan logam campuran. Fungsi utama gandar sebagai pembungkus berdampak pada tidak diutamakannya detail keindahan pada gandar. Untuk menambahkan keindahannya, gandar akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok. Bagian pendok (lapisan selongsong) inilah yang biasanya diukir sangat indah , dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ), perak, bahkan emas. Untuk daerah-daerah di luar Jawa seperti kalangan raja-raja Bugis, Gowa, Palembang, Riau dan Bali, pendok terbuat dari emas dan disertai tambahan hiasan seperti sulaman tali emas dan bunga bertabur intan berlian.
Pada keris Jawa, bentuk pendok terbagi menjadi tiga jenis. Jenis pertama dikenal sebagai pendok bunton yang berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya. Jenis pendok yang kedua disebut pendok blewah (blengah) karena bentuknya yang terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat. Jenis ketiga dari pendok Jawa disebut sebagai pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah . Apabila dilihat dari hiasannya, pendok terbagi menjadi dua macam, yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).
• Wilah (Bilah Keris)
Wilah, wilahan, atau bilah adalah bagian utama dari sebuah keris. Wilah keris adalah logam yang ditempa sedemikian rupa sehingga menjadi senjata tajam. Wilah terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dhapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dhapur jangkung mayang, jaka lola , pinarak, jamang murub, bungkul , kebo tedan, pudak sitegal, dll.
Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris (ukiran). Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.
Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingga. Ganja sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled , bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut , dungkul , kelap lintah dan sebit rontal.
Luk adalah bagian yang berkelok dari wilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah, dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal dan tidak pernah genap. Jumlah luk yang terkecil adalah luk tiga dan jumlah terbanyaknya adalah luk tiga belas. Jika ada keris yang memuliki jumlah luk lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija, atau keris tidak lazim.
Menelaah tiga bagian keris (Pesi – Ganja – Wilah), menjadi sebuah pemahaman simbol dari Yoni sebagai asal muasal atau alam Purwa, dan Ganja atau Lingga yang melahirkan pemaknaan alam Madya dan selanjutnya menuju ke pucuk bilah sebagai pemaknaan alam Wusana. Yaitu sebagai penghayatan manusia sebelum berwujud, masih dalam alam Purwa, yang perlu dihayati dengan merenungkan asal sebenarnya dari manusia, kemudian dalam alam Madya, manusia bergumul dalam kehidupan masa kini yang harus dilalui dengan perenungan dan tindakan dengan segala kawicaksanan (laku bijaksana) dan berbudi, hingga menuju kematian yang sempurna.
Asal-usul dan Fungsi Keris
Asal-usul keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah “keris” telah tercantum pada prasasti dari abad ke-9 Masehi. Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di relief candi atau patung. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.
Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian dari Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan. Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuno dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan “jembatan” masuknya pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian memiliki gagang berbentuk manusia (tidak distilir seperti keris modern), sama dengan belati Dongson, dan menyatu dengan bilahnya.
Salah satu panel relief pada Candi Borobudur (abad ke-9) memperlihatkan adanya seseorang yang memegang benda serupa keris tetapi belum memiliki derajat kecondongan dan hulu/dedernya masih menyatu dengan bilah. Dari abad yang sama, prasasti Karangtengah yang bertahun 824 Masehi menyebut istilah “keris” dalam suatu daftar peralatan. Prasasti Poh (904 M) menyebut “keris” sebagai bagian dari sesaji yang perlu dipersembahkan. Walaupun demikian, tidak diketahui apakah “keris” itu mengacu pada benda seperti yang dikenal sekarang.
Dalam pengetahuan perkerisan Jawa (padhuwungan), keris dari masa pra-Kadiri-Singasari dikenal sebagai “keris Buda” atau “keris sombro”. Keris-keris ini tidak berpamor dan sederhana. Keris Buda dianggap sebagai bentuk pengawal keris modern. Contoh bentuk keris Buda yang kerap dikutip adalah keris keluarga Knaud dari Batavia yang didapat Charles Knaud, seorang Belanda peminat mistisisme Jawa, dari Sri Paku Alam V. Keris ini memiliki relief tokoh epik Ramayana pada permukaan bilahnya dan mencantumkan angka tahun Saka 1264 (1342 Masehi), sezaman dengan Candi Penataran, meskipun ada yang meragukan penanggalannya.
Gambar 1. Keris pusaka Knaud, salah satu contoh keris Buda .

Keris Buda memiliki kemiripan bentuk dengan berbagai gambaran belati yang terlihat pada candi-candi di Jawa sebelum abad ke-11. Belati pada candi-candi ini masih memperlihatkan ciri-ciri senjata India, belum mengalami “pemribumian” (indigenisasi). Adanya berbagai penggambaran berbagai “wesi aji” sebagai komponen ikon-ikon dewa Hindu telah membawa sikap penghargaan terhadap berbagai senjata, termasuk keris kelak. Meskipun demikian, tidak ada bukti autentik mengenai evolusi perubahan dari belati gaya India menuju keris buda ini.
Kajian ikonografi bangunan dan gaya ukiran pada masa Kadiri-Singasari (abad ke-13 sampai ke-14) menunjukkan kecenderungan pemribumian dari murni India menuju gaya Jawa, tidak terkecuali dengan bentuk keris. Salah satu patung Siwa dari periode Singasari (abad ke-14 awal) memegang “wesi aji” yang mirip keris, berbeda dari penggambaran masa sebelumnya. Salah satu relief rendah (bas-relief) di dinding Candi Penataran juga menunjukkan penggunaan senjata tikam serupa keris. Candi Penataran (abad ke-11 sampai ke-13 M) dari masa akhir Kerajaan Kadiri di Blitar, Jawa Timur.

Keris modern
Keris modern yang dikenal saat ini diyakini para pemerhati keris memperoleh bentuknya pada masa Majapahit (abad ke-14) tetapi sesungguhnya relief di Candi Bahal peninggalan Kerajaan Panai/Pane (abad ke-11 M), sebagai bagian dari kerajaan Sriwijaya, di Portibi Sumatera Utara, menunjukan bahwa pada abad 10-11 Masehi keris modern sebagaimana yang dikenal sekarang sudah menemukan bentuknya, selain itu uji karbon pada keris temuan yang berasal dari Malang Jawa Timur yang ditemukan utuh beserta hulu/dedernya yang terbuat dari tulang sehingga terhadap dedernya dapat dilakukan analisis karbon, menunjukan hasil bahwa keris tersebut berasal dari abad 10M.
Gambar 2. Sanggar empu pembuat keris ditampilkan dalam relief Candi Sukuh

Berdasarkan relief keris modern paling awal pada candi Bahal Sumatera Utara dan penemuan keris budha dari Jawa Timur yang sama- sama menunjukan usia dari abad 10M dapatlah diperkirakan bahwa pada sekitar abad 10 masehi mulai tercipta keris dalam bentuk nya yang modern yang asimetris. Dari abad ke-15, salah satu relief di Candi Sukuh, yang merupakan tempat pemujaan dari masa akhir Majapahit, dengan gamblang menunjukkan seorang empu tengah membuat keris. Relief ini pada sebelah kiri menggambarkan Bhima sebagai personifikasi empu tengah menempa besi, Ganesha di tengah, dan Arjuna tengah memompa tabung peniup udara untuk tungku pembakaran. Dinding di belakang empu menampilkan berbagai benda logam hasil tempaan, termasuk keris.
Perkembangan Fungsi Keris
Pada masa kini, keris memiliki fungsi yang beragam dan hal ini ditunjukkan oleh beragamnya bentuk keris yang ada. Keris sebagai elemen persembahan sebagaimana dinyatakan oleh prasasti-prasasti dari milenium pertama menunjukkan keris sebagai bagian dari persembahan. Pada masa kini, keris juga masih menjadi bagian dari sesajian. Lebih jauh, keris juga digunakan dalam ritual/upacara mistik atau paranormal. Keris untuk penggunaan semacam ini memiliki bentuk berbeda, dengan pesi menjadi hulu keris, sehingga hulu menyatu dengan bilah keris. Keris semacam ini dikenal sebagai keris sesajian.
Gambar 3. Berbagai cara mengenakan keris berdasarkan Kebudayaan Jawa.

“Penghalusan” fungsi keris tampaknya semakin menguat sejak abad ke-19 dan seterusnya, sejalan dengan meredanya gejolak politik di Nusantara dan menguatnya penggunaan senjata api. Dalam perkembangan ini, peran keris sebagai senjata berangsur-angsur berkurang. Sebagai contoh, dalam idealisme Jawa mengenai seorang laki-laki “yang sempurna”, sering dikemukakan bahwa keris atau curiga menjadi simbol pegangan ilmu/keterampilan sebagai bekal hidup. Berkembangnya tata krama penggunaan keris maupun variasi bentuk sarung keris (wrangka) yang dikenal sekarang dapat dikatakan juga merupakan wujud penghalusan fungsi keris.
Pada masa kini, kalangan perkerisan Jawa selalu melihat keris sebagai tosan aji atau “benda keras (logam) yang luhur”, bukan sebagai senjata. Keris adalah dhuwung, bersama-sama dengan tombak keduanya dianggap sebagai benda “pegangan” (ageman) yang diambil daya keutamaannya dengan mengambil bentuk senjata tikam pada masa lalu. Di Malaysia, dalam kultur monarki yang kuat, keris menjadi identitas kemelayuan.
Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Penempatan keris di depan dapat diartikan sebagai kesediaan untuk bertarung. Selain itu, terkait dengan fungsi, sarung keris Jawa juga memiliki variasi utama: gayaman dan ladrang. Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan dalam upacara-upacara kebesaran.
Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian dari Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan. Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuna dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan “jembatan” masuknya pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian memiliki gagang berbentuk manusia (tidak distilir seperti keris modern), sama dengan belati Dongson, dan menyatu dengan bilahnya.
Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme. Prasasti Dakuwu (abad ke-6) menunjukkan ikonografi India yang menampilkan “wesi aji” seperti trisula, kudhi, arit dan keris sombro. Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai “keris Buda”, yang berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal (prototipe) keris. Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan keris Buda dan keris sajen. Keris sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris.

Pembuatan dan Perawatan Keris
Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan keris ada dua macam logam adalah logam besi dan logam pamor, sedangkan pesi keris terbuat dari baja. Untuk membuatnya ringan para Empu selalu memadukan bahan dasar ini dengan logam lain. Keris masa kini (nèm-nèman, dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai logam pamor nikel. Keris masa lalu (keris kuna) yang baik memiliki logam pamor dari batu meteorit yang diketahui memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antimonium dan tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit Prambanan, yang pernah jatuh pada abad ke-19 di komplek percandian Prambanan.
Pembuatan keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya, tetapi terdapat prosedur yang biasanya bermiripan. Berikut adalah proses secara ringkas menurut salah satu pustaka. Bilah besi sebagai bahan dasar diwasuh atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk membuang pengotor (misalnya karbon serta berbagai oksida). Setelah bersih, bilah dilipat seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya. Selanjutnya lipatan ini kembali dipanaskan dan ditempa. Setelah menempel dan memanjang, campuran ini dilipat dan ditempa kembali berulang-ulang. Cara, kekuatan, dan posisi menempa, serta banyaknya lipatan akan memengaruhi pamor yang muncul nantinya. Proses ini disebut saton. Bentuk akhirnya adalah lempengan memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut kodhokan. Satu lempengan baja lalu ditempatkan di antara kedua kodhokan, diikat lalu dipijarkan dan ditempa untuk menyatukan. Ujung kodhokan dibuat agak memanjang untuk dipotong dan dijadikan ganja. Tahap berikutnya adalah membentuk pesi, bengkek (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berlekuk atau lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan.
Tahap selanjutnya adalah pembuatan ornamen-ornamen (ricikan) dengan menggarap bagian-bagian tertentu menggunakan kikir, gerinda, serta bor, sesuai dengan dhapur keris yang akan dibuat. Silak waja dilakukan dengan mengikir bilah untuk melihat pamor yang terbentuk. Ganja dibuat mengikuti bagian dasar bilah. Ukuran lubang disesuaikan dengan diameter pesi. Proses terakhir dalam dari pembuatan keris adalah penyepuhan. Penyepuhan dilakukan agar logam keris menjadi logam besi baja. Penyepuhan (“menuakan logam”) dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran belerang, garam dan perasan jeruk nipis (disebut kamalan). Penyepuhan juga dapat dilakukan dengan memijarkan keris lalu dicelupkan ke dalam cairan (air, air garam, atau minyak kelapa, tergantung pengalaman Empu yang membuat). Tindakan penyepuhan harus dilakukan dengan hati-hati karena bila salah dapat membuat bilah keris retak. Selain cara Penyepuhan yang lazim seperti diatas dalam penyepuhan Keris dikenal pula Sepuh jilat yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dijilati dengan lidah, Sepuh Akep yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dikulum dengan bibir beberapa kali dan Sepuh Saru yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dijepit dengan alat kelamin wanita (Vagina) Sepuh Saru ini yang terkenal adalah Nyi Sombro, bentuk kerisnya tidak besar tapi disesuaikan.
Pemberian warangan dan minyak pewangi dilakukan sebagaimana perawatan keris pada umumnya. Perawatan keris dalam tradisi Jawa dilakukan setiap tahun, biasanya pada bulan Muharram/Sura, meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah “memandikan” keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minyak pewangi lama dan karat pada bilah keris, biasanya dengan cairan asam (secara tradisional menggunakan air buah kelapa, hancuran buah mengkudu, atau perasan jeruk nipis). Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi warangan bila perlu untuk mempertegas pamor, dibersihkan kembali, dan kemudian diberi minyak pewangi untuk melindungi bilah keris dari karat baru. Minyak pewangi ini secara tradisional menggunakan minyak melati atau minyak cendana yang diencerkan pada minyak kelapa.
Keris mengandung ajaran dalam simbol-simbol
Keris sebagai sebuah karya merupakan penggambaran dari simbol-simbol yang merupakan kaca benggala pola tatanan hidup dan pemahaman Ketuhanan. Bentuk dhapur yang berbagai jenis adalah pengejawantahan pesan tentang apa yang dapat dihayati sebagai hasil dari penghayatan berguru kepada alam, berguru kepada kehidupan dan berguru serta manembah (menyembah) kepada Tuhan. Dhapur atau bentuk keris yang condong (condong leleh) sebagai penggambaran manusia yang membungkukkan badannya – manembah (menyembah kepada Tuhan YME). Bentuk lurus merupakan sebuah tuntunan untuk bertakwa kepada Tuhan serta bentuk berlekuk atau keluk seperti asap dupa yang berkeluk-keluk menuju ke atas sebagai manifestasi kemanunggalan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Ratusan bentuk dhapur mencerminkan apa yang dapat diharapkan sebagai sebuah keutamaan berbudi luhur. Dhapur Brojol misalnya, adalah sebuah pengejawantahan keinginan manusia untuk senantiasa dapat lancar (mbrojol) dalam hal menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya. Lalu keris lurus yang dibahasakan dengan sebutan keris berdhapur ”bener” adalah sebuah simbolisasi tantangan untuk dapat mempertimbangkan segala sesuatu yang dialaminya dengan jiwa yang lurus (bener – pener).
Simbolisasi dari jenis dhapur sangatlah panjang jika diuraikan, tetapi ada beberapa pokok yang perlu dipegang antara lain dhapur Pandawa (luk 5) adalah simbol agar senantiasa manusia berwatak ”satria-pinandita” seperti intisari kisah pewayangan pendawa lima yang dihayati sebagai sebuah rangkuman dalam hal kebijaksanaan bertindak. Watak ”satria-pinadita” bisa dibahas sebagai keadaan manusia ”pemimpin” atau sering disebut satriya pinandita sinisih wahyu. Tuntunan untuk menjadi tokoh pemimpin yang amat sangat religius sampai-sampai di dalam kisah-kisah pewayangan digambarkan bagaikan seorang resi begawan (pinandita) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum/petunjuk Gusti Allah (sinisihan wahyu), dengan selalu bersandar hanya kepada kekuasaan Gusti Allah, bangsa ini diharapkan akan mencapai zaman keemasan yang sejati. Maka tak heran pada jaman kerajaan sering seorang raja juga disebut sebagai ”Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng …….., Senopati Ing Ngalogo, Abdurahman Sayidin Panata Gomo, Kalifatulah Ingkang Kaping ………”. Hal ini menunjukan bahwa nilai-nilai kepemimpinan diharapkan dapat selalu dipegang teguh sebagai seorang yang berwatak ’kesatria’ yang pemberani, berani marah, berani menegur, berani merombak , berani menginstrospeksi diri dan berani bertindak serta berjiwa religius. Simbol-simbol pada dhapur keris selalu menjadi ’pameling’ (pesan agar diingat) yang sangat penting dan perlu dilakukan semacam penyusunan dan pengelompokan atau penulisan kembali agar penggemar keris dapat memanfaatkannya sebagai sebuah ajaran.

Scroll to Top