Kerapan Sapi Brujul, Sebuah tradisi semacam kerapan sapi di Madura

Kerapan Sapi Brujul di Kota Probolinggo adalah sebuah tradisi semacam kerapan sapi di Madura, tapi tidak digelar di lapangan kering tapi di sawah yang penuh lumpur berair. Tradisi ini berawal dari kebiasaan petani yang selalu membajak sawahnya terlebih dahulu menggunakan sapi sebelum menanam padi. Sawah–sawah dibanjiri dengan air hingga penuh, lalu dibajak. Untuk mengusir kejenuhan, para petani ini kemudian berlomba di areal sawah yang berlumpur tersebut.

Lambat laun kebiasaan tersebut menjadi hobi baru bagi para petani. Dari situ kemudian oleh sekelompok petani dikembangkan menjadi sebuah perlombaan Kerapan Sapi Brujul antar petani setiap musim tanam padi tiba. Pada mulanya  tidak ada hadiah untuk pemenang atau juaranya karena murni hanya untuk bersenang-senang serta ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta yang dirayakan bersama-sama. Hanya saja ada ketentuan bahwa si Joki harus mengenakan udheng (ikat kepala) khas Probolinggo.

Tradisi ini sudah dilakukan  turun temurun yang diselenggarakan oleh masyarakat demi keberlanjutan ekosistem budaya di tempat ini. Berdasarkan narasumber yang diwawancarai Kerapan Sapi Brujul di Kota Probolinggo sudah ada dari tahun 1950-an.

dengan Jenis sapi yang digunakan adalah sapi dengan ras sapi brujul, sebagaimana yang digunakan untuk membajak sawah oleh para petani ketika memasuki masa tanam. Kerapan ini berbeda dengan ras sapi merah di Pulau Madura, karena menggunakan sapi bajak padi.

Ajang ini tidak semata-mata mencari kemenangan namun juga menunjukkan salah satu kehebatan sapi yang selama ini membantu para petani. Hal tersebut nampak ketika pada awal ajang ini dikenal oleh masyarakat kota Probolinggo sapi yang akan diadu diarak dari rumah petani hingga tempat perlombaan dengan menggunakan baju kebesaran sapi lengkap dengan hiasan di tanduknya, kalung leher hingga kaki dan kain yang menjuntai di badannya. Pengiringan sapi tersebut dengan baju kebesarannya menggunakan alat musik perkusi Pandalungan Probolinggoan.

Penggunaan busana kebesaran pada sapi yang akan diadu ditentukan berdasarkan pasaran tanggalan Jawa. Jika lomba tersebut jatuh pada hari pasaran Wage maka busana kebesaran yang dikenakan warna hitam, jika jatuh pada hari pasaran Pahing maka baju kebesarannya hijau, kalau jatuh pada hari pasaran Pon maka pakaian kebesarannya merah dan jika jatuh pada hari Kliwon maka memakai pakaian kebesaran berwarna kuning. Secara simbolis warna-warna tersebut mewakili dari warna khas daerah Kota Probolinggo dimana ada percampuran budaya Jawa dan Madura yang berkolaborasi dalam ruang dan waktu tertentu di tempat ini.

Kerapan Sapi Brujul dilombakan menggunakan dua sapi dan satu joki. Untuk mendapatkan hasil terbaik saat perlombaan sangat dibutuhkan harmoni yang baik antara sapi dan joki.

Penggunaan teknik pelatihan sapi di masa lalu yaitu dengan melakukan pendekatan secara emosional antara joki dan sapi. Mereka makan bersama, mandi malam bersama, menghabiskan waktu bersama merupakan trik terampuh untuk menjalin kedekatan batin dengan sapi hingga sapi mudah untuk dikendalikan.

Sapi yang diikutkan ajang tersebut memiliki kriteria kesehatan tertentu, syarat yang utama adalah minimal sapi berusia 2 tahun dan sehat berdasarkan kriteria dokter hewan. Joki melatih sapinya dengan rutin dan berdasarkan akidah norma kemanusiaan. Selain pelatihan yang diikuti, sapi diberi jamuan untuk meningkatkan stamina. Jamuan tersebut berisi rempah-rempah seperti kunci, bawang putih, jahe, telur ayam kampung, seperempat botol madu asli, setengah botol anggur keleson, larutan ini diberikan pagi dan malam.

Seiring dengan berjalannya waktu dan makin banyaknya masyarakat yang antusias sehingga terbentuklah paguyuban-paguyuban Kerapan Sapi Brujul. Diantaranya, Paguyuban Karapan Minak Jinggo, diprakarsai oleh Bapak Hairul Mustafa bersama para tokoh pecinta karapan. Pemenang lomba lantas mendapatkan hadiah. Tempat perlombaan pun berpindah-pindah dari sawah satu ke sawah yang lain.

Tradisi ini terus berkembang, terkait dengan busana kebesaran joki dan sapi serta pelatihan yang dilakukan melatih sapi agar memiliki satu tujuan dan prinsip dengan joki. Tradisi ini kemudian meluas hingga ke desa Triwung, Sumber Wetan, Kedopok dan Wonoasih, Pilang serta Ketapang.

Sang pemenang dari perlombaan ini kemudian diarak menggunakan alat musik Pandalungan yaitu kenong telok.  Perlakuan khusus terhadap pemenang tidak hanya mengenai si Joki yang sapinya sehingga harganya naik hingga 25-30 Juta rupiah.

Namun sayangnya belakangan penggunaan pakaian kebesaran berdasarkan hari pasaran Jawa Paing, Legi, Wage, Pon, Kliwon tidak digunakan lagi. Di masa kini masyarakat bebas memilih desain dan warna pakaian kebesaran untuk sapi dan joki yang akan beradu.

Di masa kini Joki melatih sapinya dengan menggunakan teknik pengenalan karakter pada sapi. Teknik ini digunakan dengan melihat titik tertentu dari sapi, dari pengamatan ini fungsinya joki lebih mengenal karakter sapi. Bagian tubuh sapi ada titik tertentu yang harus diketahui oleh Joki agar sapi dapat beradu dalam kekuatan dan tenaga yang maksimal tanpa mengurangi dan merusak harmoni ikatan batin antara Joki dan sapi. Tidak banyak juga dari pemilik sapi bahwa mereka menggunakan perpaduan antara teknik pendekatan emosional seperti di masa lalu dan gabungan teknik pengenalan karakter melalui titik-titik yang ada pada tubuh sapi pada masa kini.

Keterangan

Tahun :2019

Nomor Registrasi :201900990

Nama Karya Budaya :Kerapan Sapi Brujul

Provinsi :Jawa Timur

Domain :Pengetauhan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta

Sumber: Website Warisan Budaya Takbenda

Scroll to Top