Seni Kriya Kulit Tatah Sungging adalah kelompok seni kriya kulit yang menggunakan bahan utama ( bahan baku ) kulit mentah (perkamen) dari kulit binatang dengan teknik ditatah (ukir) dan disungging dalam mewujudkan suatu karya. Jadi walaupun dengan mnenggunakan bahan baku kulit mentah, tetapi dalam mewujudkan karya tidak menggunakan teknik ditatah dan disungging bukanlah kriya kulit Tatah Sungging. Tatah diartikan sebagai aktivitas memahat dan Sungging diartikan sebagai aktivitas mewarnai. Jadi Tatah Sungging adalah proses untuk memahat dan mewarnai objek wayang tertentu. Makna yang terkandung pada Tatah Sungging adalah agung dan berwibawa. Maksudnya adalah sebuah gagasan tentang penciptaan karya seni yang memberi kiasan agung dan berwibawa dari penokohan atau karakter-karakter wayang yang akan ditatah sungging.
Tatah Sungging mempunyai suatu yang istimewa bila dibandingkan dengan teknik lainnya, sedangkan teknik yang khusus ini akan menghasilkan suatu karya kriya yang khusus pula ( Suatu yang tidak mungkin dicapai dengan teknik lainnya). Dalam berkarya kriya kulit memerlukan ketekunan, ketelitian dan kecermatan lebih agar menghasilkan suatu kriya kulit Tatah Sungging bernilai tinggi. Seperti yang telah dilakukan oleh kriyawan kulit pada masa lampau, di samping penguasaan teknik namun dilandasi kemauan yang keras dan rasa pengabdian yang murni dapat menghasilkan karya yang bermutu hingga mencapai tataran klasik, yang sampai sekarang masih dapat dinikmati.
Bila ditelusuri sejarahnya keberadaan kriya kulit Tatah Sungging telah lama dikenal oleh bangsa Indonesia, pada masa lampau digunakan untuk membuat suatu karya seni yang berkesan agung dan berwibawa. Umumnya dapat dijumpai di pusat – pusat pemerintahan pada masa kerajaan – kerajaan yang berkuasa dibumi nusantara ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan para raja pada masa lalu hingga kini tampak jelas pengaruhnya, misalnya adanya gaya dalam seni hias, seni pertunjukan, seni rupa lainnya yang memberikan gambaran betapa kuatnya pada masa itu dalam membentuk suatu budaya.
Seperti halnya kriya kulit Tatah Sungging bila diamati tidak sekedar memberikan teknik berkarya yang tinggi, tetapi memiliki kandungan arti yang mendalam, baik hubungannya dengan kehidupan sehari – hari maupun merupakan simbolisasi hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dengan teknik itu dapat digambarkan berbagai bentuk baik secara nyata maupun lambang – lambang yang dalam memahaminya diperlukan apresiasi yang tinggi. Tatah Sungging merupakan salah satu cabang seni yang cukup dikenal, walaupun tidak mudah untuk dipelajari.
Berdasarkan pada sejarahnya kriya kulit tatah sungging telah lama dikenal di Indonesia, bahkan jauh sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia telah dikenal dalam masyarakat. Seperti yang tersirat dalam karya sastra Harjuna Wiwaha karangan Empu Kanwa pada tahun 1019 M (Sunarto, 1989:32), tertulis istilah walulang inukir yang berbentuk tokoh digunakan sebagai pertunjukan yang membuat terpesonanya para penonton. Dari istilah itu dapatlah diartikan bahwa pada masa Raja Airlangga di Jawa Timur telah mengenal teknik ukir pada walulang ( kulit binatang) yang membentuk sesuatu, bila digunakan untuk pertunjukan membuat para penonton menjadi tertarik, bahkan ikut larut dalam suasana pergelaran itu. Walaupun masih perlu pembuktian – pembuktian lainnya, namun berdasarkan penjelasan tersebut dapat memberikan gambaran tentang adanya (awal) diketahui seni Tatah Sungging pada masa lampau.
Kriya kulit Tatah Sungging di Jawa, hingga sekarang masih berkembang terutama di Jawa Tengah, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta ( Solo). Kedua daerah ini cukup dikenal mempunyai tradisi wayang kulit dengan gaya sendiri-sendiri. Perbedaan sangat Nampak baik pada bentuk termasuk tatahan dan sunggingnya juga perbedaan itu dijumpai pula pada cerita dan cara pergelarannya. Khusunya di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat beberapa sentra, sentra adalah suatu istilah yang dipakai oleh Departement Perindustrian Republik Indonesia untuk menyebut daerah – daerah yang mempunyai perajin, misalnya sentra pande besi, sentra perajin mebel dan ukir kayu.. kriya Tatah Sungging cukup terkenal di Yogyakarta. Pada sentra tersebut ratusan kriyawan yang bergelut dalam bidang ini. Dalam upaya mengembangkan dan melatih kemandirian, bagi keluarga kriyawan sejak kecil telah dilatih untuk berkarya dalam bidang Tatah Sungging , bahkan tidak sedikit dijumpai kriyawan kecil (usia kanak) telah mampu membiayai sekolahnya dengan hasil karyanya yang berupa wayang kulit.
Pada mulanya kesenian ini merupakan kegemaran dari kalangan tertentu, khususnya para bangsawan (raja) pada masa lampau; kriya kulit Tatah Sungging ini karyanya menjadi barang klangenan (klangenan adalah suatu benda (barang) kesenian yang menjadi pilihan atau kegemaran para raja pada masa lampau) oleh karenanya memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi para kriyawannya. Dengan demikian menyebabkan terbatasnya peminat, hanya bagi bangsawan (raja) saja yang mampu memilikinya, bahkan dalam memesan kelangenan itu agar lebih sempurna diletakkan intan berbagai ukuran dan menggunakan prada yang terbuat dari emas murni.
Bila diperhatikan dalam bidang kriya kulit ini mempunyai tiga fungsi yang terkait erat dengan program pembangunan Negara (Himpunan Perajin Indonesia, 1985:3), yaitu: Pertama, fungsi sosial berarti menyangkut kemasyarakatan , dengan kriya kulit dapat memperluas lapangan kerja. Semakin berkembangnya bidang ini akan semakin banyak tenaga yang diperlukan, dengan semakin banyaknya tenaga yang tidak nganggur berarti pula dapat meningkatkan pendapatan secara merata. Kedua, mempunyai fungsi ekonomi, kriya kulit ini memanfaatkan sumber alam dan dapat menjadi salah satu komoditi untuk meningkatkan pendapatan Negara dan devisa. Ketiga, kriya kulit memiliki fungsi budaya, yang didalamnya menyangkut hal-hal peningkatan ketrampilan yang akan mencerdaskan rakyat serta mengembangkan dan melestarikan seni budaya bangsa.