Kembul Sewu Dulur Saparan Bendung Khayangan

0
975

Upacara Adat Rebo Pungkasan Kembul Sewu Dulur di Desa Pendoworejo tidak terlepas dari keterikatan sosio historis warga terhadap sebuah bendungan yang menjadi satu satunya tempat pelaksanaan upacara bernama Kayangan. Bendungan Kayangan adalah tempat petilasan dari leluhur warga Desa Pendoworejo yang memiliki garis genealogis raja Brawijaya V (Kerajaan Majapahit) bernama Mbah Bei. Wacana yang beredar diantara warga, Mbah Bei dipercaya sebagai sosok yang memiliki kemampuan spiritual tinggi. Kepercayaan dan latar belakang dari bendungan tersebut secara tidak langsung telah membangun impresi kepada masyarakat sehingga menjadikan bendungan Kayangan sebagai tempat rujukan untuk melakukan pertapaan, pesugihan hingga ruwatan. Bendungan Kayangan oleh warga setempat juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti; irigasi pertanian, perkebunan, air minum, dan tempat wisata. Persimpangan antara dunia mitis dan praktis bukan menjadi sebuah persoalan karena bagi warga keduanya dianggap sebagai hal biasa. Benang merah antara Mbah Bei, bendungan Kayangan, dan manfaat dari empat tersebut menjadi asal mula penciptaan upacara Rebo Pungkasan Kembul Sewu Dulur.

Pelaksanaan upacara Rebo Pungkasan Kembul Sewu Dulur dilaksanakan satu kali dalam setahun yaitu tepat pada hari rabu terakhir di bulan Sapar dan konon upacara ini sudah bertahun – tahun turun menurun dilakukan oleh masyarakat Desa Pendowoharjo. Hasil penghitungan waktu pelaksanaan upacara berdasarkan kalender Jawa (saka) yang memiliki siklus 354 hari. Waktu pelaksanaan upacara hingga sampai dengan saat ini tetap dipertahankan karena warga masih menjunjung tinggi ketentuan-ketentuan yang ditinggalkan oleh pendahulunya dalam melaksanakvb an upacara Rebo Pungkasan Kembul Sewu Dulur.Upacara adat ini, juga memiliki

sebuah karya seni musik berupa tembang yang berjudul Kembul Sewu Dulur.Tembang tersebut merupakan kebudayaan material seni yang menjadi satu kesatuan dengan sejarah upacara. Sejalan dengan karakteristik dari upacara adat yang memiliki beberapa aspek yaitu estetika, ritual-religius, dan gotong-royong(Sutiyono, 2012, hlm. 18). Dalam ranah estetika, bidang ilmu yang menggarap urusan keindahan adalah seni. Keindahan yang dimaksud adalah wujud kedalaman pemaknaan manusia atas pengalaman sehingga sebuah karya seni tidak dapat terlepas dari konteks sosialnya.

Salah satu hal yang menjadi pokok perhatian adalah tembang Kembul Sewu Dulurtidak banyak diketahui oleh warga setempat sehingga hanya menjadi dokumen eksistensi upacara Rebo Pungkasan Kembul Sewu Dulur. Meskipun tembang Kembul Sewu Dulur hanya menjadi aspek pendukung upacara, akan tetapi pada dasarnya kebudayaan material seni dapat menjadi sumber penggalian informasi dari kehidupan suatu masyarakat. Informasi yang dapat diperoleh melalui kebudayaan material seni meliputi; asal-usul pemikiran dibalik sumber arsip yang tersedia, menguraikan pengetahuan masa lalu, dan patahan kejadian sejarah yang telah mengalami transformasi (Pradoko, 2015 hlm.195-196). Oleh sebab itu, tembang Kembul Sewu Dulur dapat dikatakan sebagai kerangka budaya dari warga Desa Pendoworejo yang terangkum dalam Rebo Pungkasan Kembul Sewu Dulur.

Upacara adat rebo pungkasan kembul sewu dulur bendung kayangan ini memiliki nilai, makna dan filosofi yang cukup kuat di masyarakat Desa Pendoworejo, pertama , upacara ini memiliki nilai penting di masyarakatnya yaitu nilai kerukunan yang ditinjau melalui doa yang diuangkapkan dengan bahasa jawa dan etimologi kembul sewu dulur merupakan analogi dari warga Desa Pendoworejo yang menganggap bahwa seluruh pengunjung upacara sebagai saudara. Selain itu makna yang terkandung dalam upacara ini bermakna pelestarian yang dijalankan oleh warga untuk mempertahanklan eksistensi upacara. Fungsi upacara ini bagi warga diantara lain untuk peringatan sejarah terbentuknya bendungan kayangan, kerukunan antar warga dan menghormati kebaikan leluhur kepada warga Desa Pendoworejo.

– Tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan dilakukan dengan warga makan bersama-sama sajian makanan khas daerah tersebut seperti bothok lele dan ikan mas panggang tanpa bumbu garam bersama nasi tumpeng dan sayur-sayuran. Kegiatan lainnya adalah kegiatan ngguyang jaran berupa upacara ritual memandikan kuda kepang di aliran air Bendung Kayangan. -Ritual merti bendungan ini pada awalnya hanya melibatkan 1 dusun, lalu th 2007 4 dusun, dan 2010 sedikitnya 12 dusun di sekitarnya. Warga dari dusun-dusun tersebut berduyun-duyun datang ke lokasi bendungan, dengan mengusung tenong (wadah dari bambu) berisi aneka makanan yang akan digunakan untuk kenduri sekaligus makan bersama. Setiap tahun kegiatan yang dilaksanakan acaranya berbeda. Misalnya th 2007 rangkaian acara meliputi sambutan, doa, penuangan air dari 4 sumber berdasarkan arah mata angin (Jumprit, Kaki Gunung Muria, Sumur Pagelaran Keraton Yogya, dan Sendangsari Bagelen), kembul sewu dulur, ngguyang kudang lumping, kirab kuda lumping, lelang kuda lumping, pelepasan sepasang merpati putih, melukis bersama 30 pelukis ternama, lomba lukis anak-anak, dan pementasan wayang kulit. Tahun 2011 sebgai berikut: Setelah warga berkumpul dan berbagai makanan tradisional yang dibawa masyarakat itu sudah tertata rapi di pinggir bendungan, kenduri Saparan mulai digelar. Makanan ini dibagikan pada seluruh pengunjung, setelah dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama setempat. Prosesi dilanjutkan dengan penampilan kesenian jatilan atau kuda lumping. Sesudah berpentas babak pertama mereka memandikan kuda lumpingnya ke sungai atau disebut ngguyang jaran. Ritual memandikan kuda lumping ini menggambarkan aktivitas Mbah Bei Kayangan yang berpofesi sebagai pawang kuda Prabu Brawijaya. kegiatan ngguyang jaran berupa upacara ritual memandikan kuda kepang di aliran air Bendung Kayangan. Selain itu memandikan wayang kuno, memandikan sepeda kuno, memandikan penganten baru dan penganten baru seniman. Ritual ini diyakini dapat mendatangkan pelarisan bagi kelompok kuda lumping. Selain ngguyang kuda lumping, juga topeng pun dicuci. Ini juga sebagai simbol membersihkan diri dengan air, karena air memiliki makna sebagai tirta marta atau sumber kehidupan. – rangkaian acara tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan 2011 dimulai dengan dipasang patung publik memedi sawah di sepanjang pertigaan Watu Ngurah sampai Kali Kayangan. Selasa sore dilakukan tradisi ngurung kepel (jaran), sore harinya di Sanggar Bodronoyo diadakan ngurung kepel (Jaran). Ngurung kepel artinya ?menenangkan? kuda lumping yang akan dipakai pada saat ritual ngguyang jaran yang akan dilakukan Rabu pagi di Sanggar Bodronoyo dengan diiringi gamelan (klenengan). Paginya hari Rabu pungkasan (terakhir) di bulan Sapar diselenggarakan acara utama mulai pukul 12.00 WIB . Acara pertama Kembul Sewu Dulur dilanjutkan Ngguyang Jaran, serta Ngguyang topeng kuno berusia ratusan tahun. Selanjutnya kuda kepang yang dimandikan tersebut dipentaskan di depan balai desa Pendoworejo, dan pada sore harinya pentas Tari Topeng di Sanggar Bodronoyo. Ada acara baru dalam rangkaian kegiatan tradisi Rebo Pungkasan yaitu pembacaan puisi oleh Bambang Oeban di Bendung Kayangan serta ngguyang Trimakno pelukis wayang dari Dukun Magelang.

 

Keterangan

Tahun :2019

Nomor Registrasi :201900966

Nama Karya Budaya :Kembul Sewu Dulur Saparan Bendung Khayangan

Provinsi :DI Yogyakarta

Domain :Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan

Sumber: Website Warisan Budaya Takbenda