Kebudayaan Yang Beragam adalah Kekayaan Bangsa

0
4611

Junua Malatatoa
Junua Malatatoa

Malam telah larut. Nyanyian mesin ketik “tiktaktiktak” masih terdengar. Seisi rumah pun tahu Prof. Dr. M. Junus Melalatoa masih bekerja, menulis laporan hasil penelitian tentang berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia.
Tak banyak cakap, bekerja keras dan semangatnya bernyala-nyala, serta total berdidikasi baik sebagai pengajar, peneliti kebudayaan maupun seniman. Itulah gambaran almarhum M. Junus Melalatoa di mata anak-anaknya dan rekan-rekan kerjanya. Kerja keras dan giat mencari ilmu itu pulalah yang diwariskannya kepada anak-anaknya.

“Dia (Junus Melalatoa) sama sekali tidak memberikan warisan harta. Dia memberikan sebuah kebanggaan dan pengabdian yang luar biasa pada ilmunya. Orangnya tidak mengejar materi. Dia cuma bekerja, bekerja, dan bekerja serta hanya hidup dari gaji sebagai pegawai negeri. Dia menulis buku.Diameninggalkan kami banyak buku, banyak ilmu, banyak pelajaran tentang hidup,” ujar putra pertamanya, Winaldha Ervino Melalatoa, yang kini bekerja sebagai kameramen dan sutradara film.

Karenaitu, ketika mendapat kabar bahwa Pemerintah Indonesia akan memberikan Penghargaan Satyalencana Kebudayaan tahun 2015 kepada M. Junus Melalatoa atas dedikasinya dalam bidang kebudayaan semasa hidupnya, anak-anaknya merasa sangat bangga dan berbahagia.

“Saya berterimakasih karena Pemerintah member penghargaan kepada orang-orang yang berdedikasi. Ini adalah penghargaan yang bias diapresiasi oleh bangsa ini. Penghargaan ini mewakili bangsa. Kami bangga karya-karya bapak dihargai, meskipun ia sudah meninggal,” kata Winaldha dengan suara yang bergetar karena haru.

Semasa hidupnya, Junus telah meneliti sekitar 520 suku bangsa yang ada di Indonesia. Salah seorang putri antropolog ini menuturkan bahwa ayahnya sangat bersemangat bercerita tentang berbagai suku yang baru saja dikunjungi dan ditelitinya serta sangat tertarik pada nilai-nilai luhur dari suku-suku itu.

Di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Junus mengasuh mata kuliah Etnografi Indonesia. Ia mempunyai pandangan bahwa “kebudayaan yang beragam adalah kekayaan bangsa. ”Pandangan itu pulalah yang memandu langkahnya dalam menekuni ilmu antropologi dan berbagai aktivitas penelitiannya.

Junus Melalatoa menyadari betapa berharganya keberagaman kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Kesatuan bangsa hanya tercipta melalui penghargaan atas keberagaman kebudayaan itu. Ia mewujudkan kesadarannya itu dengan melakukan penelitian tentang aneka suku bangsa dari Sabang sampai Merauke. Buku yang telah ditulisnya berkaitan dengan itu adalah Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (dua jilid) yang diterbitkan pada tahun 1995. “Kita ini satu bangsa tetapi beraneka ragam. Kemajemukan itu apa? Seperti apa bentuknya? Itu harus diketahui agar tidak salah dalam menata bangsa ini,” katanya.

Selain dikenal sebagai dosen dan peneliti yang ulet dan tekun, Junus juga dikenal sebagai sastrawan. Ia menulis cerita, seperti Batu Belah: Cerita Rakyat Gayo (1979) dan sejumlah cerita pendek. Buku puisinya Luka Sebuah Negeri (Yayasan Obor, 2007) diterbitkan oleh anak-anak didiknya setelah ia meninggal dunia. Ny Asiah Melalatoa membacakan sebuah puisi karya almarhum suaminya saat peluncuran buku puisi itu di FISIP UI Depok.

Junus juga sempat ikut main dalam film “Puisi Tak Terkuburkan” karya Garin Nugroho tahun 1999. Winaldha yang menjadi cameramen dalam film tersebut menuturkan, semula ayahnya diminta oleh Garin sebagai konsultan. Namun Garin kemudian meminta Junus untuk ikut main dalam film yang berkisah tentang seorang penyair didong, Ibrahim Kadir, yang dijebloskan kedalam penjara tahun 1965 di Tanah Gayo, Aceh. Pengalaman Ibrahim di dalam penjara selama 22 hari menjadi kisah film ini, sampai saat ia dilepaskan karena ternyata salah tangkap.

Junus Melalatoa yang dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Departemen Antropologi FISIP UI itu mendapat gelar Doktor pada tahun 1983 dengan disertasinya bertajuk “Peudo Moiety Gayo, Satu Analisa Tentang Hubungan Sosial Menurut Kebudayaan Gayo. ”Konsultan Penelitian pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1977-1983) ini juga pernah mengajar di Sesko ABRI Bagian Laut (1977-1982), Fakultas Pasca sarjana Universitas Sam Ratulangi, Manado (1987), Fakultas Pasca sarjana Universitas Negeri Semarang, dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Di bidang publikasi, Junus pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Berita Antropologi dan Jurnal Antropologi Indonesia terbitan Departemen Antropologi FISIP UI selama beberapa periode.