Setelah melewati beberapa bukit, menuruni beberapa lembah, akhirnya perjalanan itu sampai juga di Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar. Kampung adat ini berada di “jantung” Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dan kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani.
Memang, untuk bisa samoai ke sana pengunjung harus melewati jalan yang berbukit-bukit dengan kondisi jalan berbatu. Ada bagian jalan yang telah diaspal, tentu tidak selicin jalan ber-hotmix, dan ada bagian jalan yang telah di beton. Lebar jalan pas untuk satu mobil. Mobil harus kuat agar bisa mendaki sampai di Ciptagelar. Sekadar gambaran jarak Jakarta-Ciptagelar sekitar 170 km.
Akan tetapi jarak yang relatif jauh itu akan terbayar dengan suasana kampung yang terasa damai, di mana keidupan di sini tidak terasa tergesa-gesa seperti di Jakarta.Pamoramanya sawah dan ladang yang seolah “bertengger” di lereng-lereng bukit terasa indah. Lalu, bangunan-bangunan rumah yang khas menyuguhkan pemandangan arsitektur tradisional yang menawan. Di pinggir kampung berdiri berderet lumbung-lumbung padi.
Kampun ini berada di ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Sudah pasti udaranya sejuk dan bersih, jauh dari polusi. Suhunya berkisar antara 21-28 derajat celsius. Pada musim kemarau seperti sekarang, suhunya akan bertambanh dingin pada malam hari. Ya, Ciptagelar adalah pusat Kasepuhan Adat Ciptagelar, terletak di Kampung Sukamulya, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kapubaten Sukabumi, Jawa Barat.
Abah Ugi Sugriwa Raka Siwi (34 tahun) yang menjadi pemimpin kasepuhan Ciptagelar menuturkan bahwa Kasepuhan Ciptagelar berdiri tahun 1368. Kasepuhan ini berasal dari Kerajaan Pajajaran-Bogor yang diyakini oleh masyarakat adat ini berada di seputar Batu Tulis, Bogor, sekarang. Ketika Kerajaan Pajajaran ditaklukan oleh Sultan Maulana Yusuf dari Banten, sebagian dari keturunan dari kerajaan ini memilih mengungsi ke Lebak Binong, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Selama periode yang panjang itu komunitas Kasepuhan Ciptagelar ini beberapa kali berpindah tempat.
Dari tahun 1957 sampai sekarang pusat komunitas ini mengalami beberapa kali pindah. Pada tahun 1957, Pusat Kasepuhan berada di Kampung Cikaret, Sirnaresmi, Sukabumi. Lalu pada tahun 1972, pusatnya pindah ke Kampung Ciganas, Sirnarasa, Sukabumi. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1982 pusatnya kembali pindah ke Kampung Lebak Gadok, Linggarjati.
“Tahun 1985, almarhum ayah Abah, Abah Encup Sucipta (Abah Anom) pindah ke Ciptarasa. Kemudian tahun 2001 ayah Abah mendapat wangsit pindah ke Ciptagelar. Di Kampung Ciptagelar pada awalnya hanya ada tujuh rumah, namanya Cikaranjang. Dan, pada saat perpindahan tahun 2001, pindah ke kampung ini, almarhum ayah Abah selaku pemimpin mengubah Cikaranjang menjadi Ciptagelar,” jelas Abah Ugi. Nama Ciptagelar diambil dari nama Abah Anom “cipta” dan “gelar”. Artinya, kata Abah Ugi, saatnya pusat kasepuhan ini terbuka untuk masyarakat luas.
Abah Ugi memegang tampuk kepemimpinan di kasepuhan setelah ayahnya, Abah Anom, meninggal dunia. Ia mulai memimpin saat masih berusia 23 tahun, yaitu tahun 2008. Wilayah Kasepuhan Ciptagelar saat ini tersebar di tiga kabupaten dan dua provinsi, yakni Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat) serta Kabupaten Lebak (Banten).
Salah satu titipan leluhur yang wajib dijalankan oleh warga Kasepuhan Ciptagelar, menurut dia, adalah mempertahankan budaya menanam padi. Ada 168 varietas padi yang ditanam secara turun-temurun. Pola penanamannya pun harus tetap secara tradisional. Ada dua pola penanaman, yaitu di huma (ladang) dan sawah. “Untuk bersawah kita baru kenal kira-kira 300 tahun lalu. Aslinya kita menanam padi di ladang,” jelasnya.
Dalam menanam padi itu warga Kasepuhan Ciptagelar tidak boleh menggunakan pupuk kimia, alat teknologi modern seperti traktor, dan hanya boleh menanam padi satu kali saja dalam setahun. Hasil panen juga tidak boleh dijual demi ketahanan pangan. Hasilnya disimpan di lumbung untuk stok pangan warga kasepuhan yang tersebar di 368 kampung di tiga kabupaten dan dua provinsi itu. Jumlah lumbung padi di kasepuhan itu sekitar 8.000. Itu merupakan stok bagi sekitar 30.000 warganya. Intinya, warga di kasepuhan ini tidak pernah resah akan kelaparan berkat adanya stok beras mereka.
Berkaitan dengan budaya menanam padi itu, ada serangkaian ritual yang harus diselenggarakan, yakni upacara “ngaseuk”, yaitu menanam padi di ladang, lalu diikuti menanam padi di sawah; upacara “mipit”, yaitu menuai padi di ladang, lalu di sawah; upacara “nganyaran”, yaitu menanak atau memasak nasi hasil panen; upacara “ponggokan”, yaitu perwujudan permintaan maaf kepada Ibu Bumi yang telah diolah untuk keperluan pertanian; dan puncaknya adalah upacara “Saren Taun”, yaitu bentuk syukur kepada Sang Pencipta bahwa panen telah berhasil dengan memuaskan. Pada 6-8 September 2019, komunitas Kasepuhan Ciptagelar menyelenggarakan upacara “Saren Taun” ke-651.
Kearifan lokal tersebut, kata Abah Ugi, adalah amanah dari leluhur yang diajarkan secara turun-temurun, dari orang tua kepada anak yang juga akan menjaga wasiat dari orang tuanya. “Kalau kita tidak melaksanakannya, kita akan mendapat hukuman adat. Ibaratnya kalau kita tidak patuh pad aorang tua, kuta akan kualat. Itu juga salah satu cara menjaga kearifan lokal di tempat Abah. Menanak nasi pun tidak boleh pakaiĀ rice cooker,”jelasnya.
Kalau ada yang tidak melakukan amanat yang mewariskan leluhur, menurut dia, secara tidak langsung akan dikeluarkan dari aturan adat keluarga besar Kasepuhan Ciptagelar. Abah Ugi membagi dua jenis masyarakatnya, yaitu “warga dalam” dan “warga luar”. “Warga dalam” tetap masih menanam padi secara tradisional, sedangkan “warga luar” ada yang menanam dan ada yang tidak.
Meskipun berada di “jantung” Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dan pedalaman hutan Perum Perhutani, tidaklan berarti Kampung Gede Ciptagelar jauh dari teknologi modern. Masyarakat adat di sini justru memiliki stasiun radio sendiri. Saat masih sekolah di Sukabumi, Abah Ugi yang bercanda mengaku memiliki gerlar “S3”, yaitu tamat SD, SMP, dan SMA, meminta izin kepada ayahnya agar dibolehkan membuat radio komunitas. Ia akhirnya mendapat izin untuk itu. Lalu, tahun 2004, radio komunitas FM dibuat dan masih memancar sampai sekarang.
Pada tahun 2009 Abah Ugi malah mendirikan saluran TV komunitas, yakni Ciga TV. Alasannya, masyarakt kasepuhan selama lima tahun hanya mendengar audio, sementara kasepuhan sebenarnya banyak memiliki dokumentasi video yang tersimpan begitu saja. Abah Ugi merasa sayang kalau dokumentasi video tersebut tidak digunakan.
Kemudian muncul pemikiran untuk memanfaatkan dokumentasi tersebut untuk televisi komunitas. Kontennya 60 persen untuk lokal, sisanya dari luar. Kanal TV ini juga banyak menampilkan kearifan lokal buadaya Nusantara. “Ini dibuat untuk menyeimbangkan saluran televisi lain yang masuk ke seni. Stasiun TV nasional jarang memperlihatkan kearifan lokal. Kita kasih TV muatan lokal. Warga senang.” tuturnya.
Masyarakat di Kampung Gede Ciptagelar tidak hanya dapat menikmati siaran radio dan televisi, tetapi juga bisa menggunakan alat komunikasi seperti gawai. Bahkan bagi masyarakat telah disediakan askes wifi secara bebas. Abah Ugi punya alasan untuk membolehkan warganya bebas menggunakan ponsel, khususnya generasi mudanya. Yang penting, katanya, bagaimana generasi muda atau masyarakat umumnya bisa menggunakan alat komunikasi itu dengan bijak dan ia tak bosan memberi literasi untuk itu. Itu lebih baik, katanya, daripada mereka menggunakannya secara diam-diam di belakang panggung tanpa bimbingan orang tua.
Mayarakat di sana juga menggunakan teknologi terbarukan. Untuk penerangan, misalnya, mereka menggunakan pembangkit listrik turbin dan solar. Sosok Abah Ugi yang akrab dengan teknologi berhasil membawa masuk listrik lewat kepiawaiannya merakit alih teknologi. Abah berhasil membawa kampung adat dapat menikmati modernisasi. Meski berada di tengah-tengah pegunungan, warga Ciptagelar tidak pernah kehilangan informasi. Mereka juga tetap terbuka dengan perkembangan teknologi meskipun tetap selektif dalam meyerap teknologi baru dalam kehidupan mereka.
Tapi, untuk tradisi budaya menanam padi, Abah Ugi tetap menjaganya dengan ketat. “Kalau Abah di sini cukup menjaga amanah mengenai tradisi budaya menanam padi. Itu sama sekali tidak ada ‘koma’, tetapi ‘titik’ hukumnya ketika kita berhubungan dengan padi hukumnya juga ‘titik’. Tidak boleh berubah,” ujarnya dengan tegas. Itu adalah amanah dari para leluhur yang harus dijaga kelestariannya.
Tatkala mendengar kabar Kasepuhan Ciptagelar mendapat Anugerah Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Abah Ugi mengungkapkan rasa syukurnya. Abah berharap adanya pengakuan dari pemerintah secara tertulis terhadap kasepuhan Ciptagelar yang dipimpinnya. “Kalau ada suratnya seperti apa. Kit abelum tahu. Mungkin ada di pemerintah. Kita ingin tahu seperti apa pengakuan itu. Kalau diakui kita lebih bangga lagi ke depannya,” harap Abah Ugi”