KARUNGUT

0
2096

Karungut berasal dari kata karunya yang diambil dari bahasa Sangiang dan bahasa Sangen/Ngaju Kuno. ‘Karunya’ berarti tembang. Puisi tradisional atau puisi rakyat yang dikenal di Kalimantan Tengah ini diwariskan oleh nenek moyang mereka dalam bentuk lagu dan syair yang disusun sendiri oleh penciptanya, sepanjang tidak menyimpang dari kaidah yang telah dianggap baku. Di awal perkembangannya, bahasa yang digunakan dalam karungut adalah bahasa Sangen (Ngaju Kuno), tapi kini sangat jarang dipergunakan lagi. Dahulu salah satu fungsi karungut adalah sebagai media pengajaran. Karena seorang balian (guru atau dukun) menyampaikan pengajaran kepada para muridnya dengan mengarungut. Sementara para muridnya menjawab atau melaksanakan perintah dari gurunya dengan mengarungut pula.
Sejak pertama kali karungut mulai dikenal oleh masyarakat Ngaju di Kalimantan Tengah hingga perkembangannya saat ini, telah terjadi penyebaran karungut yang dilakukan dengan berbagai cara. Dahulu penyebaran dilakukan dengan cara migrasi dari satu daerah ke daerah lain, atau melalui perkawinan antar-kelompok subsuku/suku yang berbeda. Namun dewasa ini pendokumentasian, pertunjukan dan perlombaan dijadikan pula sebagai media untuk penyebaran karungut. Dahulu karungut merupakan karya budaya yang dimiliki secara kolektif. Para pencipta karungut yang menciptakan karungut secara spontan tidak pernah mencamtumkan namanya. Namun setelah dikenalnya budaya tulis dan rekaman secara elektronik, para pencipta karungut mulai mencantumkan namanya.
Penyair-penyair karungut tidak lahir dari pendidikan formal, juga bukan dari proses pewarisan yang dilakukan secara terstruktur dari generasi tua ke generasi muda. Kemampuan menulis/menciptakan dan melantunkan karungut berlangsung secara alamiah yang didorong oleh keinginan untuk mencoba-coba, meniru dan belajar dari orang-orang tua. Dalam perkembangannya kini proses pewarisan secara tidak langsung pun telah dilakukan. Para penulis maupun perekam karungut ada yang telah memublikasikan karya-karyanya secara luas, melalui media cetak dan elektronik. Di wilayah pedalaman pun, warga masyarakat yang gemar berkarungut belajar dengan cara menirukan tuturan karungut melalui radio. Dengan demikian dimungkinkan terjadinya pengembangan dan perubahan karungut dari bentuk asalnya.
Gambar 3. Pementasan Karungut

Sumber: BPNB Pontianak, 2013
Hingga saat ini karungut masih dituturkan dengan menggunakan bahasa Ngaju, baik oleh orang Ngaju sendiri ataupun orang di luar Ngaju yang telah mengusai kebudayaan dan bahasa Ngaju dengan baik. Dahulu pelantunan karungut diiringi dengan musuk pengiring berupa kacapi (kecapi) bersenar dua dan tiga. Namun dalam perkembangannnya, musik pengiring karungut semakin beragam. Selain kacapi, terdapat pula katambung (sejenis tifa), gendang, gong, reba, seruling dan sebagainya. Fungsi instrumen ini semata-mata hanya untuk menyemarakkan pelantunan karungut. Orang yang menuturkan karungut disebut pengarungut.
Mereka dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yakni: 1) Pencipta (penyair) adalah mereka yang mampu menciptakan karungut dan pasti memiliki kemampuan untuk melantunkan karungut hasil ciptaannya sendiri ataupun ciptaan orang lain. 2) Pelantun hanya bisa melantunkan karungut, tetapi belum tentu dapat menciptakan syair-syair karungut dengan baik.
Tema-tema yang digarap untuk sebuah karungut biasanya berkisar tentang kejadian atau peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan isi syairnya, karungut itu bisa dikelompokkan menjadi beberapa jenis, di antaranya: karungut cinta, karungut dongeng atau pemujaan terhadap seseorang tokoh/benda/tempat dan karungut nasihat. Berdasarkan proses penciptaannya, karungut dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu:
• Karungut spontan (tradisional) adalah karungut yang tercipta secara spontan bersamaan dengan ketika syair-syair lagu itu dilantunkan oleh pengarungut. Si pencipta tidak menyusun konsep atau gagasannya secara tertulis, karena syair-syair karungut itu langsung mengalir dari pikiran dan perasaannya saja saat ia sedang mengarungut.
• Karungut tak spontan (modern) adalah karungut yang tercipta secara tidak spontan. Si pencipta menulis dahulu syair-syair yang akan dilantunkannya. Karungut yang dilantunkan bukan oleh penciptanya sendiri juga bisa dikategorikan sebagai karungut tak spontan. Jenis karungut tak spontan terdiri dari dua bentuk, yakni karungut tertulis dan rekaman. Mengingat di masa kini telah banyak pencipta dan pelantun karungut yang merekam karungut dalam bentuk kaset, CD atau alat rekam elektronik lainnya.
Namun demikian tidak terdapat perbedaan yang esensial antara karungut spontan (tradisional) dengan karungut tak spontan (modern), baik dari pola bentuk, struktur, lagu maupun tema. Tidak pula ditemukan adanya beragam versi karungut berdasarkan wilayah atau dialek, karena penuturan karungut selalu dilakukan menggunakan bahasa Ngaju dialek baku (Kapuas-Kahayan).
Sebagai sebuah karya sastra, unsur-unsur musikal karungut ditentukan oleh beberapa unsur bunyi, yakni unsur bunyi yang ditimbulkan oleh bentuk, tuturan dan instrumen. Unsur yang ditimbulkan oleh bentuk ditentukan oleh pola pembaitan dan pembarisan, pola suku kata pada tiap baris, pola persajakan, pola perulangan (kata, frase, baris, bait). Pola pembaitan karungut terdiri atas 4 larik atau baris. Setiap baris rata-rata terdiri dari 4-7 kata atau 8-14 suku kata. Setiap bait bersajak akhir sama. Sebuah karungut paling sedikit terdiri dari satu bait dan paling banyak 34 bait. Durasi penuturannya rata-rata 15 menit.
Karungut memiliki beberapa fungsi, yaitu: 1) Media ekspresi estetik pengarungut dan masyarakatnya. 2) Media pengajaran. 3) Media bagi seorang ibu untuk meninabobokan anaknya. 4) Media untuk menghibur diri, memberi semangat, mengurangi kebosanan dan kelelahan pada saat sedang bekerja. 5) Media untuk membangkitkan semangat kebersamaan saat bergotong royong. 6) Media hiburan di saat pesta/perayaan. 7) Media untuk menyampaikan pesan pembangunan. Saat ini fungsi karungut yang paling dominan adalah sebagai media hiburan dan ekspresi estetik pengarungut.