Jaran Kepang, Jaranan atau Kuda Lumping adalah kesenian rakyat atau tarian penunggang kuda (jaran) dengan kuda mainan yang terbuat dari bilahan anyaman bambu yang dirangkai sedemikian rupa lantas dijepit di antara dua kaki penarinya. Kuda-kudaan tersebut ditambahkan asesori serta pewarnaan sehingga bentuknya menyerupai kuda sungguhan. Iringan musiknya sederhana, didominasi kenong dan terompet.
Pada mulanya Jaran Kepang bukanlah sebuah seni pertunjukan, bukan pula dinamakan kesenian karena memang zaman dulu belum dikenal istilah kesenian. Jaran Kepang adalah bagian dari ritual menolak bala, mengatasi berbagai musibah, meminta kesuburan pada lahan pertanian, mengharap keberhasilan panen, dan juga supaya masyarakat aman dan tenteram. Pada zaman primitif terdapat kepercayaan bahwa kerusakan lingkungan, wabah penyakit, bencana alam dan sebagainya terjadi karena kekuatan roh nenek moyang. Seiring dengan perjalanan waktu, setiap musibah, bencana atau berbagai masalah dalam kehidupan dihubungkan dengan roh nenek moyang itu disusun menjadi serangkaian cerita yang berkembang menjadi mitos yang diyakini oleh masyarakat. Kemudian dilakukan upacara (ritus) dengan tujuan agar musibah tidak datang lagi. Kejadian yang berlangsung berulangkali kemudian berkembang menjadi berbagai simbol yang digunakan untuk kegiatan ritual.
Sejauh ini memang belum ditemukan data tertulis atau prasasti yang membahas soal Jaran Kepang. Yang ada baru relief candi, seperti di Candi Jawi, Pasuruan, yang memperlihatkan seorang perempuan bertapa dan pasukan berkuda yang diduga merupakan Dewi Kilisuci. Jika yang disampaikan dalam cerita lisan selama ini benar, kemungkinan Jaran Kepang sebagai tari kerakyatan kuno embrionya sudah ada pada abad ke-12 dan mulai kental pada abad ke-13 dan ke-14. Pada masa kolonial telah ada catatan soal itu. Thomas Starmford Raffles dalam buku History of Java (1817) membicarakan sebuah pertunjukan di Jawa yang menggunakan imitasi kuda.
Cerita lisan tersebut adalah anggapan umum bahwa seni Jaranan merupakan visualisasi kisah-kasih Dewi Sanggalangit ketika diperintahkan menikah oleh ayahnya, Prabu Airlangga. Sanggalangit hanya bersedia menikah kalau calon suaminya mampu menciptakan kesenian yang belum pernah ada di tanah Jawa. Ternyata yang memenangkannya adalah Prabu Klanasewandono. Untuk mengenang sayembara yang diadakan oleh Dewi Sanggalangit dan pernikahannya dengan Klana Sewandana atau Pujangga Anom inilah masyarakat Kediri membuat kesenian jaranan yang disebut Jaranan Kediren. Sedangkan di Ponorogo muncul Reyog yang di dalamnya terdapat Jaran Kepang yang disebut Jathilan.
Versi lainnya lagi menyebutkan Jaran Kepang terkait erat dengan Cerita Panji, terutama episode upaya mencari hilangnya Raden Putera atau Panji Inukertapati. Karena itu dalam pergelaran Jaran Kepang digambarkan sekelompok prajurit berkuda yang diikuti anjing pelacak mencari hilangnya Sang Pangeran, masuk hutan, bertemu dan berperang melawan binatang buas. Anggapan umum seperti itu sudah diamini secara umum. Kalangan pelaku Jaranan sendiri juga menyebut cerita yang sama ketika ditanya asal usul seni Jaranan.
Ada dugaan kata “kepang” berasal dari kepung. Menurut sejarawan M. Dwi Cahyono, dalam bahasa Jawa Kuna dikenal kata ‘kêpang’, yang bersinonim arti dengan ‘kêpung’, yang menunjuk pada: mengepung (Zoetmuder, 1995: 491). Dalam arti ini, tarian yang dimainkan adalah gerak pengepungan oleh sekelompok orang prajurit berkuda. Yang mereka kepung adalah binatang buas, yaitu babi hutan (celengan), harimau (macanan atau kucingan), dan ular besar (barongan). Arti istilah ini mengingatkan kepada tradisi rampokan, misalnya pada ‘rampokan macan’, yaitu pengepungan seekor macan (harimau) oleh sekelompok prajurit.
Versi lainnya, Jaran Kepang berasal dari latihan perang pasukan Diponegoro yang disamarkan. Juga ada interpretasi yang mengaitkan dengan fakta sejarah zaman kolonial, dimana pada zaman penjajahan Belanda dulu rakyat kebanyakan memang hanya boleh memiliki dan/atau memelihara kuda. Rakyat tidak boleh menunggang kuda karena hanya Raja dan kaum bangsawan yang berhak. Kalau rakyat menunggang kuda, itu saru, karena lebih aji (terhormat) kudanya dibanding penunggangnya. Hal inilah yang kemudian menjadikan seni Jaranan diinterpretasikan sebagai bentuk perlawanan karena rakyat kecil dilarang menunggang kuda sungguhan.
Trance atau kesurupan adalah hal yang sering terjadi selama pergelaran berlangsung. Pada umumnya, kesurupan terjadi setelah formasi tarian penunggang kuda yang pada awalnya lembut lalu berubah menjadi semakin liar mengikuti irama musik pengiring, perubahan ini biasanya diawali dengan suara lecutan ‘pecut’ atau cemeti yang meledak-ledak di udara, pada saat ini biasanya pemain tidak lagi menari dalam formasi kelompok. Masing-masing akan menari dengan liar sesuai kehendak hati dengan diiringi lantunan tabuhan gending dan lagu yang semakin memberi suasana magis dengan ditambah aroma kemenyan yang menyeruak di sekitarnya.
Menurut Soenarto Timoer dalam bukunya: “Reog di Jawa Timur” bahwa pada saat itu penari Jaranan itu bukanlah menggambarkan prajurit menunggang kuda melainkan sebagai kuda itu sendiri. Maka segala ciri-ciri yang ada pada seekor kuda dicoba untuk diungkapkan serealistis mungkin, tingkah lakunya menyepak singkur, lari, nyirig, sampai-sampai harus makan rumput dan dhedak yang dilakukan oleh penari dalam kondisi tidak sadar (trance).
Dalam hal ini bisa dipahami bahwa dalam keadaan trance tersebut penari Jaranan sudah “menjelma” sebagai jaran atau kuda. Tetapi sebelum proses ndadi itu penari seakan-akan memerankan prajurit yang gagah perkasa sedang menunggang kuda dengan perlengkapan pecut (cemeti). Sehingga dalam konteks ini dapat dinilai separuh-separuh yaitu gerak kaki penari memang menirukan tingkah laku seekor kuda seperti nyirig, sepak singkur dan sebagainya, sedangkan gerak badan, tangan dan kepala masih menunjukkan seorang prajurit yang sedang menunggang kudanya.
Menyimak berbagai paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Jaranan pada masa sekarang ini berada dalam tiga genre berbeda namun dalam satu masa yang sama. Pertama, Jaranan sebagai ritual kesuburan dan menolak balak, yang merupakan ritual Totemisme prasejarah, masih tetap ada di tempat-tempat tertentu meski sudah semakin berkurang frekuensinya.
Kedua, Jaranan sebagai pertunjukan rakyat digelar di lapangan terbuka dengan ciri khasnya berupa adegan kesurupan atau ndadi (trance) yang sangat banyak terdapat di berbagai daerah bahkan terus berkembang. Jenis Jaranan sebagai pertunjukan inilah yang diperkirakan muncul sekitar abad 12.
Ketiga, Jaranan sebagai tarian lepas yang dipertunjukkan di panggung prosenium tanpa adegan trance dan semata-mata hadir sebagai karya tari yang digarap dengan pendekatan modern
Keterangan
Tahun :2019
Nomor Registrasi :20190079
Nama Karya Budaya :Jaran Kepang Jawa Timur
Provinsi :Jawa Timur
Domain :Seni Pertunjukan
Sumber: Website Warisan Budaya Takbenda